Pasal tersebut dinilai banyak pihak ambigu karena tidak memuat penjelasan siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan Pancasila.
Selain itu, Pasal 188 juga dinilai berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak memuat penjelasan terkait paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Pasal kontroversial selanjutnya yakni Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.Â
Pasal 240 dan Pasal 241 tentang tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah dan lembaga negara.Â
Banyak kalangan menilai Pasal 240 dan Pasal 241 ini berpotensi menjadi pasal karet karena tidak memberikan definisi yang jelas soal penghinaan dan dikhawatirkan akan digunakan untuk membungkam setiap kritik terhadap pemerintah atau lembaga negara.
Kemudian Pasal 264 tentang tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita tidak pasti, berlebihan, atau tidak lengkap. Pasal 280 tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.Â
Pasal 300, Pasal 301 dan Pasal 302 tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.Â
Pasal 436 tentang tindak pidana penghinaan ringan. Pasal 433 tentang tindak pidana pencemaran.Â
Pasal 439 tentang tindak pidana pencemaran orang mati, serta Pasal 594 dan Pasal 595 tentang tindak pidana penerbitan dan pencetakan.
Anggota Dewan Pers, Ninik Rahayu, sebagaimana dikutip dari tempo.co, Â mengatakan bahwa karena banyaknya pasal yang bermasalah dalam draf RKUHP, pengesahan RKUHP oleh Pemerintah dan DPR merupakan ancaman bagi kemerdekaan pers.Â
Menurutnya, pengaturan pidana Pers dalam RKUHP mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.Â