Mohon tunggu...
Iwan Sulaiman Soelasno
Iwan Sulaiman Soelasno Mohon Tunggu... -

Pendidikan S1 di Fisip Unas, S2 di Fisip UI. Bekerja di ADKASI (Asosiasi DPRD Kabupaten seluruh Indonesia) sejak 2002 dan menjabat sebagai Direktur Eksekutif ADKASI 2005-2011. Kini Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dan tenaga ahli di DPD RI

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ini RUU Daerah Kepulauan Inisiatif Komite I DPD RI

8 Oktober 2018   15:12 Diperbarui: 8 Oktober 2018   15:13 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DPR RI menggelar Rapat Kerja Pansus RUU Daerah Kepulauan yang dihadiri oleh Tim Kerja (Timja) RUU Daerah Kepulauan DPD RI dan pihak pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kementerian Hukum dan HAM pada Senin (8/10). 

Dalam pemaparannya, Ketua Komite I DPD RI, Benny Rhamdani mengawali dengan penjelasan bawah dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2018, RUU tentang Daerah Kepulauan termasuk salah satu di antara RUU prioritas. RUU ini menjadi tanggung jawab DPD RI untuk menyiapkan sebagai usulan inisiatif. Dengan semangat tinggi dan kesungguhan melaksanakan amanat tersebut, Benny menilai RUU Daerah Kepulauan akhirnya selesai disusun. DPD RI tentu berharap RUU ini menjadi pemacu semangat membangun daerah kepulauan, di mana selama ini Negara belum hadir secara efektif.

Penyusunan RUU Daerah Kepulauan ini, ungkap Benny, pertama-tama berangkat dari pertanyaan mengapa DPR, DPD dan Pemerintah perlu membentuk suatu undang-undang khusus yang mengatur tata kelola Daerah Kepulauan. Jika pada tingkat internasional kita sudah lama diakui sebagai Negara Kepulauan, namun tata kelola internal (internal governance and policy) sesungguhnya belum menunjukkan konsistensi untuk mengelola organisasi negara-bangsa ini dalam suatu kesadaran geografis kepulauan.

Bagi Benny, pahit untuk mengatakan bahwa sudah sangat lama negara tidak hadir, atau hadir tidak secara efektif alias setengah hati, di suatu rupa bumi tertentu yang bernama daerah kepulauan.  Undang-undang ini dibuat untuk menyambung denyut semangat kita di panggung diplomasi internasional tadi ke dalam semangat dan cara-cara pengelolaan internal organisasi negara-bangsa yang berbasis kesadaran geografis akan eksistensi Indonesia yang terdiri atas daratan besar (main land) dan daratan kecil (kepulauan).

Secara filosofis, Benny menilai ikhtiar menghadirkan Negara lewat "pintu masuk" keberadaan UU Daerah Kepulauan tentu tak lepas dari manifestasi pandangan hidup, nilai-nilai luhur masyarakat dan cita hukum yang berakar kepada falsafah bangsa sebagaimana termaktub dan bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di sini, kepulauan tidak dilihat semata sebagai penggalan-penggalan wilayah geografis saja tetapi juga ruang hidup manusia dengan segala kosmologi berpikir dan struktur komunitas sosial yang khas.

Untuk itu, filosofi hidup "manusia kepulauan" dan tantangan hidup di alam geografis nan kompleks patut memperoleh perhatian tersendiri dalam politik kebijakan teritorial negara ke depan.

Problem kebijakan dan desain program yang menjadi dasar sosiologis bagi kebutuhan dibentuknya UU tentang Daerah Kepulauan tersendiri ini adalah masih terjadinya bias pembangunan daratan dan ketidakadilan bagi Daerah Kepulauan.

Benny memaparkan bawah Daerah Kepulauan sesungguhnya masih memiliki banyak masalah, seperti: (a) terbatasnya sarana/prasarana pelayanan dasar dan pelayanan strategis lainnya, atau belum berkualitasnya berbagai layanan pemerintahan baik layanan publik maupun sipil, (b) terbatasnya kemampuan keuangan daerah dan ketergantungan fiskal yang tinggi kepada Pemerintah Pusat, (c) biaya transportasi dalam rangka pelayanan pemerintahan yang sangat mahal, (d) terbatasnya aksesibilitas dan keadilan akses bagi masyarakat secara umum, (e) masih adanya isolasi fisik, marjinalisasi komunitas sosial, disparitas ekonomi antarpenduduk (inequality) dan antardaerah (regional disparity), (f) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan minimnya intervensi layanan negara dan keberpihakan bagi pembangunan manusia melalui pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan secara memadai.

Urgensi dibentuknya UU Daerah Kepulauan juga bertolak dari fakta yuridis yaitu minim atau bahkan kosongnya pengaturan tersendiri secara signifikan terhadap pengelolaan daerah kepulauan, khususnya perihal aspek penyelenggaraan pemerintahan berbasis ruang kelola (wilayah pengelolaan laut dan darat), kewenangan tambahan atas urusan dan sub-urusan yang urgent menurut tingkat permintaan layanan publik dan kebutuhan hukum penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Kepulauan, serta dukungan fiskal yang memadai sebagai jalan keluar atas fakta amat tingginya biaya pembangunan dan ketertinggalan (keadilan) dibandingkan dengan daerah-daerah daratan (pulau besar).

Dari sisi geopolitik-kemaritiman, kebutuhan hukum ini juga perlu dilihat dalam satu tarikan nafas yang sama dengan tekad Presiden Joko Widodo: menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dalam tekad tersebut, suatu penegasan jati diri sebagai bangsa bahari dan negara maritim (Nawacita) dilakukan sebagai ikhtiar membangun Indonesia sebagai kekuatan negara-bangsa yang bersatu (unity), sejahtera (prosperity) dan berwibawa (dignity).

Benny menambahkan bahwa DPD RI yang mewakili aspirasi dan kepentingan daerah menaruh perhatian khusus pada daerah kepulauan setelah lahirnya konsep Provinsi Berciri Kepulauan yang diperkenalkan dalam Bab II Pasal 28 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Definisi Daerah Provinsi Berciri Kepulauan sesuai UU tersebut digambarkan sebagai suatu "daerah provinsi yang memiliki karakteristik geografis dengan wilayah lautan lebih luas dari daratan yang di dalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau sehingga menjadi suatu kesatuan geogragis dan sosial budaya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun