Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menggali Ide Orang Nomor Satu di Kereta Api

21 Agustus 2024   10:12 Diperbarui: 21 Agustus 2024   12:10 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesempatan berkenalan dengannya terjadi saat ia sedang berkeringat di jalanan Solo, di awal ia mengisi tempat teratas di perusahaan kereta api, beberapa tahun lalu.

Saat itu, ia sedang lari pagi dari Stasiun Purwosari ke Stasiun Palur yang berjarak lebih 10 km.

Tak terlihat kewalahan menempuh jarak sejauh itu di usianya yang sudah menginjak angka 60. Sudah tak muda, namun punya tenaga yang tak kalah dengan mereka yang jauh lebih muda.

Itu berkelebat di ingatan saya saat mendapatkan kesempatan kembali bersua dengannya, orang nomor satu di perusahaan kereta api negeri ini, Didiek Hartantyo, baru-baru ini.

Di sisi rel kereta di Manggarai, tanpa sorotan kamera TV atau kerumunan wartawan.

Bukan di ruangan megah dan "wah", tetapi di bangku panjang yang dibuat oleh pekerjanya dari kayu bekas. Hanya berjarak tiga meter dari pinggiran rel.

Ia duduk di situ, menghadap ke arah kereta api dan Commuter Line yang seliweran beberapa menit sekali.

Tak ada pengawalan selayaknya pejabat atau membawa rombongan orang-orang berpakaian necis.

Ia hanya datang menemui pekerja-pekerja yang mengurus rel, bantalan rel, hingga seabrek pekerjaan yang mengharuskan mereka sering berada langsung di bawah matahari.

Ia menunggu mereka di kursi dari kayu tua namun cukup kokoh itu.

Belasan pekerja itu terlihat sungkan bersalaman dengannya. Seperti takut bau bekas dipanggang matahari mengganggu pemilik kursi teratas di perusahaan itu.

Agaknya mereka merasa tangan yang sepanjang hari memegang berbagai alat kerja, berdebu dan kotor, tidak enak mengotori tangan pejabat tersebut. 

Instingnya terlihat bekerja cepat, mencium gelagat pekerjanya sungkan, ia yang justru berinisiatif menyalami langsung pekerja itu.

Merangkul mereka, meski ia tahu pakaian mereka terlihat berdebu dan ada bekas tanah yang mengering.

Tak terlihat ekspresi janggal di sana, bersentuhan langsung dan menjabat erat tangan mereka yang baru saja memegang palu, linggis, hingga cangkul itu. Ini menjadi pemandangan menarik perhatian bagi saya.

Mengingatkan pada pesan dari sastrawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe, "Belehrung bringt viel, aber ermutigung alles." Ya, perintah mungkin berpengaruh kuat, tapi dukungan yang menguatkan jauh lebih berpengaruh dari semua itu.

Terpikir, kalau saja petinggi di perusahaan sekelas PT KAI ini mau memanfaatkan posisi untuk menonjolkan diri, rasanya sangat gampang.

Pemandangan seperti saya saksikan sendiri itu bisa saja dipoles, didramatisasi, untuk melejitkan namanya sendiri.

Pengalaman saya sendiri pernah mengenal beberapa petinggi, bukan hanya nasional, tapi bahkan kecamatan dan kelurahan pun ada kelaziman senang dengan sorotan kamera.

Ia terbilang sangat jarang "bergenit ria" di depan kamera, kecuali sesekali saja tampil depan publik saat ada hal yang urgent.

Bahkan, media-media sosial resmi perusahaan dipimpinnya pun lebih sering menampilkan pekerja di garis depan, dari petugas cuci kereta, petugas keamanan, hingga petugas kebersihan.

Ada kata-katanya yang juga menarik dan terekam sekali di ingatan. "Saya lebih senang orang melihat apa sudah saya lakukan daripada sekadar orang mengenal nama saya," katanya dengan nada khas orang Jawa, pelan, halus, tetapi tegas.

"Itu mereka bekerja keras," katanya, memberi contoh seraya menunjuk pekerja-pekerjanya yang mengurus rel dan bangunan, hingga petugas yang mengurus keluh kesah penumpang, sampai mereka yang mengepel lantai stasiun.

"Mereka menunjukkan hasil pekerjaannya. Mereka berkeringat. Meski tak ada yang melihat, karena sering juga mereka bekerja di tempat yang tidak terlihat banyak orang. Itu integritas, dan ini lebih penting. Bekerja keras, hasilnya bermanfaat untuk banyak orang, meski tak semua orang tahu nama mereka."

Saya sendiri masih membatin, andai saja hal-hal begini dikemas, bisa saja itu jadi amunisi untuk dia mencuri perhatian petinggi-petinggi negeri ini untuk mengejar posisi lebih tinggi.

Apalagi di zaman kiwari di mana petugas kebersihan di perusahaannya pun bisa menjadi "seleb" di media sosial berkat viral.

Seorang pejabat seperti dirinya pastinya akan jauh lebih gampang mencuri atensi banyak orang.

Apalagi, dari sisi reputasi, kemampuannya memimpin kereta api sejak saat pandemi menghantam dunia, menjaga "dapur" karyawannya, seraya tetap berkontribusi untuk pemasukan negara, itu potensial untuk menjadi narasi melejitkan namanya sendiri.

Bahkan menghindari terlalu sering tampil, karena tak ingin melangkahi peran bawahan--meski ia sendiri sangat tidak suka menyebut pejabatnya atau karyawan sebagai bawahan.

Ada semacam prinsip, jika sudah mempercayakan sesuatu kepada anak buah, tak perlu terlalu direcoki.

Dari yang saya cermati dari beberapa kali berkesempatan bersua dengannya, ia tak menggunakan "aji mumpung" untuk melindungi jabatannya.

Entah lewat "personal branding" dan sejenisnya, atau pemanfaatan media untuk kepentingannya meski ada banyak torehan prestasi yang bisa saja diceritakan, terlebih melalui media.

Apalagi saat awal ia datang di tengah badai Covid-19, perusahaannya cukup tertampar keadaan itu. Rugi karena pengguna kereta berkurang drastis, mobilitas terbatas.

Sebelumnya, pengguna kereta bisa mencapai 428 juta orang dalam setahun, pada 2019. Saat pandemi menghantam, hanya ada 186 juta pengguna. Lebih dari setengah jumlah pengguna kereta hilang.

Tampaknya, siapa pun ditakdirkan ke satu tempat hanya untuk menjawab masalah yang lebih dulu datang. Termasuk kedatangannya ke tampuk pimpinan perusahaan kereta api itu.

Ia bisa membangkitkan lagi pendapatan di tengah pertarungan dengan pandemi. Dari Rp 22,96 triliun pada 2022, tembus 27,76 triliun pada tahun lalu.

Persis setahun setelah pandemi itu juga, pada 2023, KAI di tangannya sukses membukukan laba bersih hingga Rp 1,87 triliun.

Terlebih tahun ini, dalam tiga bulan pertama saja sudah mencatat laba Rp 391 miliar. Tak kurang dari 389 juta penumpang tercatat menggunakan kereta pada tahun lalu.

Belum lagi angkutan barang lewat salah satu anak perusahaan, KAI Logistik, tercatat pada 2023 sebanyak 67,3 juta ton barang terangkut, yang juga turut andil mengembalikan kondisi kas KAI kembali membaik.

Di situ, sekaligus ada "trust" atau kepercayaan publik yang terbilang sangat besar kepada angkutan berbasis rel ini.

Animo publik terhadap kereta pun kembali bangkit dan bahkan melejit. Itu juga terpantau dari suara publik yang dapat leluasa terpantau di media sosial. Nyaris segala cerita tentang kereta hampir selalu viral.

Salah satu petugas kebersihan, Fitri Anami, di TikTok bahkan mampu menggaet pengikut hingga 22 ribu.

Meskipun isi kontennya terkadang tentang kegiatannya membersihkan gate keluar masuk stasiun, membereskan tempat sampah, bahkan WC, tetap menarik atensi dan apresiasi publik.

Salah satu rekaman pekerjaannya yang menunjukkan kegembiraannya bekerja mengurus kebersihan stasiun, mencatat nyaris 1 juta views.

Potret viral ini menjadi sinyal kuat, selain magnet dari kereta dan stasiun itu sendiri, juga peran apa pun didapatkan seorang karyawan di perusahaan kereta api ini, tetap menarik bagi publik.

Sekaligus menularkan sebuah semangat bahwa pekerjaan apa pun sepanjang itu dilakoni sepenuh hati, tetap berharga dan dihargai.

Bulan lalu akun TikTok resmi KAI merilis konten "receh" bertajuk "POV Kalau Abe Jadi Announcer Kereta Api", dan itu mampu mencatat impresi hingga 4,6 juta views.

Atau, jika ditambah contoh lain, konten bertema seputar etika berkereta, mencatat impresi 2,8 juta. Juga konten berisikan tentang rahasia masinis bisa fokus menjalani kereta, itu pun tembus lebih dari 4 juta views.

Inilah kenapa setengah bercanda saya sempat berceloteh di depan pemimpin KAI yang kerap disapa sebagai "Pak DU" di lingkaran perusahaannya itu, "Kalau saja Anda sedikit lebih 'genit' dengan semua media, lebih-lebih media sosial..." Ia hanya tertawa renyah, bahkan sebelum selesai saya tuntas melempar anekdot.

"Saya lebih berpikir tentang mereka, karyawan yang jadi tanggung jawab saya, masinis yang menjalani kereta, dan semua mereka yang tidak kenal lelah setelah pandemi ikut andil dengan semua perannya, bikin kereta api ini bangkit," kata dia, di sela-sela obrolan ringan dengan pegawai-pegawai yang kerap berpanas-panas mengurus rel hingga konstruksi.

Agaknya, titik start di mana ia berhadapan dengan pandemi pada 2020 lalu, membuatnya lebih memilih memfokuskan dirinya pada sisi apa saja yang bisa dilakukan, bukan membicarakan apa yang belum dilakukan.

Di tengah kebangkitan perusahaannya selepas pandemi, ia masih terus membuka ruang untuk berbagai ide yang bisa dirasakan langsung oleh publik pengguna kereta api.

Dari urusan air minum isi ulang di stasiun, hingga tempat yang layak bagi penggemar sepeda, terutama bagi pengguna Commuter Line.

Tampaknya, jurusnya menggali ide-ide itu tak hanya dengan meminta pejabat di lingkarannya.

Ia juga terjun langsung hingga ke pelosok, sampai ke Sumatra, melihat dan mengamati sendiri, berbicara hingga dengan petugas lapangan yang terkadang sendirian di satu titik yang jauh dari keramaian. Ia mampu menjadikan dirinya sahabat hingga ke kalangan pekerja di tingkat terbawah. Tak ada sekat.

Buat saya sendiri, ini juga menjadi inspirasi bahwa mereka yang mendapat kepercayaan besar memang tak hanya karena memiliki kepercayaan diri yang besar.

Namun, juga karena mereka punya jiwa besar dan keyakinan besar bahwa dirinya mampu memimpin dirinya dan semua orang yang dipercayakan dipimpin olehnya. 

Mengutip kata-kata jurnalis Jerman abad ke-17, John Peter Zenger, "Great leaders are not defined by the absence of weakness, but rather by the presence of clear strengths."

Bukan tanpa kelemahan sama sekali, tapi seorang pemimpin tangguh punya kekuatan yang jelas--mampu menguatkan hingga ke mereka yang ada di titik terbawah.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun