Ada kata-katanya yang juga menarik dan terekam sekali di ingatan. "Saya lebih senang orang melihat apa sudah saya lakukan daripada sekadar orang mengenal nama saya," katanya dengan nada khas orang Jawa, pelan, halus, tetapi tegas.
"Itu mereka bekerja keras," katanya, memberi contoh seraya menunjuk pekerja-pekerjanya yang mengurus rel dan bangunan, hingga petugas yang mengurus keluh kesah penumpang, sampai mereka yang mengepel lantai stasiun.
"Mereka menunjukkan hasil pekerjaannya. Mereka berkeringat. Meski tak ada yang melihat, karena sering juga mereka bekerja di tempat yang tidak terlihat banyak orang. Itu integritas, dan ini lebih penting. Bekerja keras, hasilnya bermanfaat untuk banyak orang, meski tak semua orang tahu nama mereka."
Saya sendiri masih membatin, andai saja hal-hal begini dikemas, bisa saja itu jadi amunisi untuk dia mencuri perhatian petinggi-petinggi negeri ini untuk mengejar posisi lebih tinggi.
Apalagi di zaman kiwari di mana petugas kebersihan di perusahaannya pun bisa menjadi "seleb" di media sosial berkat viral.
Seorang pejabat seperti dirinya pastinya akan jauh lebih gampang mencuri atensi banyak orang.
Apalagi, dari sisi reputasi, kemampuannya memimpin kereta api sejak saat pandemi menghantam dunia, menjaga "dapur" karyawannya, seraya tetap berkontribusi untuk pemasukan negara, itu potensial untuk menjadi narasi melejitkan namanya sendiri.
Bahkan menghindari terlalu sering tampil, karena tak ingin melangkahi peran bawahan--meski ia sendiri sangat tidak suka menyebut pejabatnya atau karyawan sebagai bawahan.
Ada semacam prinsip, jika sudah mempercayakan sesuatu kepada anak buah, tak perlu terlalu direcoki.
Dari yang saya cermati dari beberapa kali berkesempatan bersua dengannya, ia tak menggunakan "aji mumpung" untuk melindungi jabatannya.
Entah lewat "personal branding" dan sejenisnya, atau pemanfaatan media untuk kepentingannya meski ada banyak torehan prestasi yang bisa saja diceritakan, terlebih melalui media.