Dalam kacamata politik, apa yang dilakukan Prabowo memang sah-sah saja sebagai bagian dari strategi politik. Sementara politik sudah bukan rahasia, menempatkan kepentingan di atas segalanya. Jadi sekilas tidak masalah.
Namun itu juga menjadi masalah jika melihatnya lagi dari sisi kebangsaan dan ketulusan sebagai anak bangsa, terlebih bagi seseorang yang berambisi ingin menjadi pemimpin sebuah bangsa.
Sebab yang ia lakukan adalah menunjukkan wajah ramah terhadap kalangan yang selama ini justru acap memamerkan wajah tidak ramah terhadap negerinya sendiri.
Bukan rahasia jika di barisannya adalah mereka yang sering memasang simbol-simbol agama, tetapi gemar membenturkan agama dengan negara. Mereka kerap menjadikan agama untuk senjata dalam berpolitik, dan sama sekali tidak peduli sejauh mana efek permainan politik yang rentan benturan dan gesekan tersebut.Â
Jika dalihnya adalah ini hanya bagian dari strategi untuk mencapai tujuan, sejatinya tidak juga bisa dijadikan pembenaran. Sebab jika begitu, ada dua hal yang dilukai sekaligus; pemeluk agama tertentu yang ditunggangi dan nasionalis yang mencintai negeri ini.
Bahwa di kubu Prabowo pun masih banyak yang nasionalis, memang ini tak dapat dimungkiri. Namun jika melihat gelombang yang selama ini ditunggangi Prabowo, justru kelompok nasionalis di kalangannya terbilang tidak cukup berpengaruh.Â
Maka itu, kalau berharap bahwa keberadaan kalangan nasionalis di kubu Prabowo kelak akan menetralkan anasir lain yang cenderung radikal, rasanya muskil. Pasalnya, beberapa orang nasionalis takkan bisa leluasa membendung satu kelompok besar yang lebih punya warna di satu kelompok itu.
Maka dari itu, upaya beberapa pihak yang mendesak Prabowo untuk memperlihatkan wajah sebenarnya dalam melihat agama, menjadi penting. Kenapa penting? Supaya siapa saja kelak yang memilih atau tidak memilihnya betul-betul karena pijakan yang jelas. Bukan karena "berjudi" akibat ketidakjelasan.
Demokrasi memang membuka pintu untuk segalanya. Jika suara kemarahan, kebencian, dan dendam lebih memiliki gaung, maka pemilik-pemilik suara itu dapat saja menjadi penguasa. Pertanyaannya, apakah negeri ini akan tetap berdiri tegak di bawah kaki-kaki mereka yang berlari mengejar kekuasaan dengan semua motif itu? Kembali kepada kita masing-masing.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H