Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Ribut-ribut Capres dan Agama, Mau Apa?

4 Maret 2019   21:43 Diperbarui: 4 Maret 2019   21:48 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Fajar.co.id

Sampai hari ini persoalan politik yang dikait-kaitkan dengan agama memang masih berembus kencang. Jika diibaratkan badai, siapa saja akhirnya hanya dapat menyesuaikan diri dengan tren itu daripada terempas dan terlempar. 

Harian Kompas, Sabtu 13 Oktober 2018, merilis sebuah opini menarik bertajuk: "Politik Identitas dan Resesi Demokrasi." Di antara sisi yang dibidik di artikel itu tidak jauh-jauh dari pemandangan yang juga terpampang di Indonesia sendiri.

Di artikel yang dituliskan Eko Sulistyo tersebut disebutkan, sekitar separuh (49,3 persen) populasi dunia hidup dalam suasana demokratis meski hanya 4,5 persen yang mengalami "demokrasi penuh", turun dari 8,9 persen di 2015. 

Bahkan negara seperti Amerika Serikat turun peringkat dari "demokrasi penuh" ke dalam "demokrasi cacat" pada 2016. Sekitar sepertiga dari populasi dunia masih di bawah rezim otoriter, seperti China. 

Tak hanya itu, ada catatan dikutip artikel itu, bahwa 76 dari 167 negara atau 45,5 persen dapat disebut negara demokrasi. Jumlah negara demokrasi penuh tinggal 19, sama dengan 2016. 

Potret disinggung di artikel itu memang menyorot persoalan realitas politik identitas dan bagaimana pemandangan itu melanda negara-negara yang buruk secara demokrasi, atau bahkan punya catatan demokrasi yang bagus. 

Itu disinggung dalam bahasan tentang apa yang disebut sebagai politik tradisional. Menurut Eko Sulistyo, tidak cukup menjelaskan manifestasi politik identitas dalam bentuk "politik kebencian". Namun seorang pemimpin politik memobilisasi pengikutnya di sekitar persepsi bahwa martabat kelompok telah diremehkan dan diabaikan. Dalam hal ini, menurutnya, nasionalisme dan agama tidak akan hilang sebagai kekuatan politik dunia. 

Menurut penulis tersebut, sebuah negara yang merasa diremehkan akan membuahkan nasionalisme agresif, demikian juga para penganut agama yang merasa imannya direndahkan akan menjadi agresif. 

Dibawa ke pemandangan di Tanah Air, tampaknya pemetaan seperti itu cukup memperlihatkan bagaimana budaya berpolitik yang pernah sangat mengemuka akhir-akhir ini. Basuki Tjahaja Purnama terpental dari pertarungan politik, menjadi salah satu bukti dari bagaimana pengaruh kuat politik identitas. 

Sosok Joko Widodo dapat dikatakan sebagai figur yang mampu menghadapi badai itu dengan tepat. Ia tidak mengikuti ke mana angin melemparnya, tapi menyesuaikan diri dengan arah angin hingga badai tadi. 

Terlebih lagi karena ia memang dengan mudah dapat menunjukkan bahwa dari kecilnya pun memang tak terpisahkan dengan keislaman. Selain juga bisa membuktikan bahwa keislaman di matanya bukanlah cara beragama yang mementingkan diri sendiri atau kalangan sendiri. 

Sejak jadi wali kota di Solo, hingga menjadi gubernur di Jakarta, ia mampu menampilkan wajah Islam yang teduh, bisa menyatu dengan siapa saja, dan bisa menghargai perbedaan. 

Maka ketika ia berpasangan dengan F.X Hadi Rudyatmo di Solo, mereka bisa membuat kota tersebut berlari kencang hingga menjadi buah bibir hingga ke berbagai daerah. Termasuk ketika ia berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama, lagi-lagi ia bisa menampilkan harmoni dengan cukup baik. 

Di sinilah seorang Jokowi mampu menerapkan cara berislam yang mengindonesia. Menjadikan keislaman untuk membawa kebaikan ke siapa saja secara setara di Tanah Air. Tidak melebihkan satu kelompok di atas kelompok lainnya. Tidak melebihkan satu pemeluk agama di atas pemeluk agama lainnya.

Di sinilah ia menunjukkan ciri pemimpin yang dibutuhkan Indonesia. Bahwa beragama bukanlah untuk mengangkat satu kelompok agama dan menjatuhkan kelompok agama lainnya. Semua mesti diposisikan sama-sama sebagai anak bangsa, yang memiliki hak yang setara. 

Berbicara apa yang menjadi mimpi founding fathers di awal berdirinya Indonesia, itulah yang selama ini sukses ditampilkan oleh Jokowi. 

Mengulik sejarah awal berdirinya Indonesia, bisa dengan mudah ditemukan bagaimana para pendiri negeri ini saling bertukar pikiran, berdebat, bersitegang, namun tetap dalam ruh persaudaraan. Padahal latar belakang mereka, berdasarkan agama, memang berbeda-beda. 

Namun mereka tidak mempertentangkan perbedaan itu, melainkan lebih mencari apa yang menjadi titik temu yang bisa semakin merekatkan satu sama lain. Jadi, ketika mereka berbicara tentang Indonesia, mereka menggunakan sudut pandang sebagai orang Indonesia. Tidak sekadar memaksakan ego bahwa satu agama lebih baik dibandingkan dengan agama lainnya. 

Sebab, secara realistis, jika perbedaan itu justru dibenturkan, yang lahir hanyalah permusuhan hingga perpecahan. Apa yang jadi hasil akhirnya cuma kehancuran. 

Berbeda ketika perbedaan itu diletakkan dan diikat dengan harmonis, maka itu menjadi kekuatan. Kekuatan itu yang akhirnya menyatukan dan menguatkan. Terbukti akhirnya negara yang ratusan tahun menjadi koloni Belanda, akhirnya menyatu hingga menjadi negara bernama Indonesia.

Wajah orang Sumatra berbeda dengan Papua. Dialek orang Bali jauh berbeda dengan Ambon. Karakter orang Batak akan berbeda jauh dengan orang Sunda. Namun ketika mereka bertemu sebagai orang Indonesia, perbedaan itu dikesampingkan, seringkali melahirkan banyak hal positif.

Inilah yang mesti diakui masih gigih ditampilkan oleh seorang Jokowi. Ia tetap apa adanya menampilkan diri sebagai seorang muslim, tetap berkontribusi pada kegiatan-kegiatan keislaman, namun tidak menutup keran kesempatan baik untuk anak bangsa yang berbeda. 

Tidak berlebihan jika karakter kepemimpinan ditampilkan Jokowi memang merupakan karakter yang dapat dikatakan "sangat Indonesia" sekali. Sebab baginya beragama bukanlah untuk menzalimi orang yang berbeda agama, melainkan beragama justru jadi spirit untuk membawa kebaikan jauh lebih luas.

Dalam Islam, cara beragama seperti ini acap digambarkan dengan akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketika ia bertemu dengan seorang masyarakat yang tetap memilih agama lamanya, menolak ajaran Muhammad, namun tetap mengedepankan akhlak. Bahkan beliau sering terlihat membawa makanan dan menyuapi dengan tangannya sendiri ke mulut masyarakat yang menolak ajarannya. 

Menjadi sebuah pesan, bahwa berislam bukanlah untuk menzalimi. Kebaikan tidak perlu dipagari hanya untuk kalangan sendiri. 

Itu juga pernah ditampilkan oleh Umar bin Khattab, sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar. 

Ada salah satu warga penganut agama Yahudi mendatangi Umar melaporkan bahwa ada salah satu gubernurnya yang memaksa supaya menyerahkan tanahnya--dalam salah satu catatan disebut, tanah itu mau digunakan untuk membangun masjid.

Umar yang acap dilabeli sebagai khalifah yang keras, memilih tidak mentang-mentang bahwa ia adalah penguasa, atau agamanya sedang memiliki pemeluk lebih banyak. Ia tetap melihat warga penganut Yahudi tersebut sebagai warganya, yang harus dilindunginya, dan harus mendapatkan hak setara.

Alhasil, ia hanya memberikan satu tulang kepada warga tersebut. Di tulang ini hanya ada goresan lurus yang dibuat dengan ujung pedangnya. "Berikan tulang ini kepada gubernur itu!" 

Warga tersebut pun pulang. Ia menyerahkan tulang itu kepada sang gubernur, dan warga ini mendapatkan kembali tanahnya. Gubernur yang berkuasa di daerahnya tidak berani mengusik tanahnya itu lagi. 

Sebab sang gubernur mendapatkan pesan kuat dari tulang yang digores dengan pedang tadi, bahwa jika ia tidak bersikap lurus dan adil kepada warga tersebut, terlepas berbeda agama, maka Umar sendiri yang akan turun tangan "meluruskan" sang gubernur. 

Kedua kisah yang acap disampaikan oleh guru-guru keislaman di pesantren hingga khutbah-khutbah Jumat tersebut, menjadi penegas seperti apakah wajah Islam yang ingin dibawa oleh seorang Muhammad. Di sinilah Jokowi terlihat menegaskan sikapnya sebagai seorang muslim. Bahwa keislaman tidak melulu seberapa banyak berbicara tentang Islam, namun cara berpikir dan berperilaku sejauh mana bisa membuktikan sikap lurus sebagai orang Islam.

Mau tak mau di sini mesti dibandingkan dengan lawannya, Prabowo Subianto yang memang hingga kini cenderung terkesan petantang-petenteng sebagai bagian agama mayoritas. Selain itu, jamak diketahui acap berada di kelompok pemeluk agama yang menginginkan mereka harus diprioritaskan melebihi umat agama lainnya.

Dalam kacamata politik, apa yang dilakukan Prabowo memang sah-sah saja sebagai bagian dari strategi politik. Sementara politik sudah bukan rahasia, menempatkan kepentingan di atas segalanya. Jadi sekilas tidak masalah.

Namun itu juga menjadi masalah jika melihatnya lagi dari sisi kebangsaan dan ketulusan sebagai anak bangsa, terlebih bagi seseorang yang berambisi ingin menjadi pemimpin sebuah bangsa.

Sebab yang ia lakukan adalah menunjukkan wajah ramah terhadap kalangan yang selama ini justru acap memamerkan wajah tidak ramah terhadap negerinya sendiri.

Bukan rahasia jika di barisannya adalah mereka yang sering memasang simbol-simbol agama, tetapi gemar membenturkan agama dengan negara. Mereka kerap menjadikan agama untuk senjata dalam berpolitik, dan sama sekali tidak peduli sejauh mana efek permainan politik yang rentan benturan dan gesekan tersebut. 

Jika dalihnya adalah ini hanya bagian dari strategi untuk mencapai tujuan, sejatinya tidak juga bisa dijadikan pembenaran. Sebab jika begitu, ada dua hal yang dilukai sekaligus; pemeluk agama tertentu yang ditunggangi dan nasionalis yang mencintai negeri ini.

Bahwa di kubu Prabowo pun masih banyak yang nasionalis, memang ini tak dapat dimungkiri. Namun jika melihat gelombang yang selama ini ditunggangi Prabowo, justru kelompok nasionalis di kalangannya terbilang tidak cukup berpengaruh. 

Maka itu, kalau berharap bahwa keberadaan kalangan nasionalis di kubu Prabowo kelak akan menetralkan anasir lain yang cenderung radikal, rasanya muskil. Pasalnya, beberapa orang nasionalis takkan bisa leluasa membendung satu kelompok besar yang lebih punya warna di satu kelompok itu.

Maka dari itu, upaya beberapa pihak yang mendesak Prabowo untuk memperlihatkan wajah sebenarnya dalam melihat agama, menjadi penting. Kenapa penting? Supaya siapa saja kelak yang memilih atau tidak memilihnya betul-betul karena pijakan yang jelas. Bukan karena "berjudi" akibat ketidakjelasan.

Demokrasi memang membuka pintu untuk segalanya. Jika suara kemarahan, kebencian, dan dendam lebih memiliki gaung, maka pemilik-pemilik suara itu dapat saja menjadi penguasa. Pertanyaannya, apakah negeri ini akan tetap berdiri tegak di bawah kaki-kaki mereka yang berlari mengejar kekuasaan dengan semua motif itu? Kembali kepada kita masing-masing.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun