Sejak jadi wali kota di Solo, hingga menjadi gubernur di Jakarta, ia mampu menampilkan wajah Islam yang teduh, bisa menyatu dengan siapa saja, dan bisa menghargai perbedaan.Â
Maka ketika ia berpasangan dengan F.X Hadi Rudyatmo di Solo, mereka bisa membuat kota tersebut berlari kencang hingga menjadi buah bibir hingga ke berbagai daerah. Termasuk ketika ia berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama, lagi-lagi ia bisa menampilkan harmoni dengan cukup baik.Â
Di sinilah seorang Jokowi mampu menerapkan cara berislam yang mengindonesia. Menjadikan keislaman untuk membawa kebaikan ke siapa saja secara setara di Tanah Air. Tidak melebihkan satu kelompok di atas kelompok lainnya. Tidak melebihkan satu pemeluk agama di atas pemeluk agama lainnya.
Di sinilah ia menunjukkan ciri pemimpin yang dibutuhkan Indonesia. Bahwa beragama bukanlah untuk mengangkat satu kelompok agama dan menjatuhkan kelompok agama lainnya. Semua mesti diposisikan sama-sama sebagai anak bangsa, yang memiliki hak yang setara.Â
Berbicara apa yang menjadi mimpi founding fathers di awal berdirinya Indonesia, itulah yang selama ini sukses ditampilkan oleh Jokowi.Â
Mengulik sejarah awal berdirinya Indonesia, bisa dengan mudah ditemukan bagaimana para pendiri negeri ini saling bertukar pikiran, berdebat, bersitegang, namun tetap dalam ruh persaudaraan. Padahal latar belakang mereka, berdasarkan agama, memang berbeda-beda.Â
Namun mereka tidak mempertentangkan perbedaan itu, melainkan lebih mencari apa yang menjadi titik temu yang bisa semakin merekatkan satu sama lain. Jadi, ketika mereka berbicara tentang Indonesia, mereka menggunakan sudut pandang sebagai orang Indonesia. Tidak sekadar memaksakan ego bahwa satu agama lebih baik dibandingkan dengan agama lainnya.Â
Sebab, secara realistis, jika perbedaan itu justru dibenturkan, yang lahir hanyalah permusuhan hingga perpecahan. Apa yang jadi hasil akhirnya cuma kehancuran.Â
Berbeda ketika perbedaan itu diletakkan dan diikat dengan harmonis, maka itu menjadi kekuatan. Kekuatan itu yang akhirnya menyatukan dan menguatkan. Terbukti akhirnya negara yang ratusan tahun menjadi koloni Belanda, akhirnya menyatu hingga menjadi negara bernama Indonesia.
Wajah orang Sumatra berbeda dengan Papua. Dialek orang Bali jauh berbeda dengan Ambon. Karakter orang Batak akan berbeda jauh dengan orang Sunda. Namun ketika mereka bertemu sebagai orang Indonesia, perbedaan itu dikesampingkan, seringkali melahirkan banyak hal positif.
Inilah yang mesti diakui masih gigih ditampilkan oleh seorang Jokowi. Ia tetap apa adanya menampilkan diri sebagai seorang muslim, tetap berkontribusi pada kegiatan-kegiatan keislaman, namun tidak menutup keran kesempatan baik untuk anak bangsa yang berbeda.Â