Kematian putih, berkaitan dengan laku menahan amarah dan menghindari dendam dalam diri sendiri.
Kematian merah, bertalian dengan laku kesuhudan yaitu, laku pasrah melalui sabar, tawakhal, dan ikhlas, serta menjalani hidup secara moderat, maju meningkat tahap demi tahap.
Kematian hijau, berhubungan dengan laku menanggalkan seluruh perhiasan lahiriah dan mulai mengenakan pakian bathiniah berupa akhlak yang mulia.
Kematian hitam, adalah berupa laku tidak lagi mementingkan diri sendiri, yaitu berupa laku kasih sayang kepada seluruh ciptaan, meskipun mereka tidak tahu membalas budi, bahkan mungkin malah memusuhi kita.
[caption caption="Koleksi Pribadi"]
BUSANA SANG WERKUDARA
Selain kain poleng yang sudah sedikit diurai di atas, mari kita berselancar menelusuri “ageman” atau busana Sang Werkudara yang lain.
1) Gelung Minangkara. Berbentuk seperti udang besar, tinggi di belakang dan rendah di depan. Maknanya, Sang Werkodara tidak suka sombong apalagi memamerka ilmu yang dimilikinya. Ia selalu mendudukkan dirinya sebagai makhluk yang tidak memiliki pengetahuan apa-apa sebab sejatinya pengetahuannya berasal dari Sang Pemilik Pengetahuan, sehingga ia selalu menyatukan dirinya dengan Sang Pemberi kehidupan. Tidak berani mencela orang lain apalagi merendahkannya. Sebab, mencela dan merendahkan orang lain berarti mencela dan merendahkan Penciptanya.
2) Pupuk Mas Rineka Jaroting Asem. Merupakan cahaya emas yang terdapat di dahi Werkudara. Sebuah perlambang watak budi luhur yang termaktub dalam laku “hambeg adil paramaarta – berbudi bawa laksana, mangasah mingising bubi – mamasuh malaning bumi, mamahayu hayuning bawana”. Maknanya berperilaku adil terhadap siapapun, selalu memaafkan kesalahan orang lain, satunya kata dengan tindakan, selalu mengasah ketajaman budi, membersihkan keangkaraan di bumi, dan aktif membuat kedamaian seluruh semesta.