[caption caption="Kain Batik Motif Poleng padupadan dengan Kebaya Jogja Enggal Pas Lancip, bahan sutera, warna mutiara. {foto koleksi pribadi Nunuk Setiawati Susanto}"][/caption]BATIK MOTIF POLENG
Batik dengan motif poleng berasal dari “agemannya”, atau busananya Sang Werkudara, tokoh pewayangan ”Panenggaking Pandhawa ” atau pelindung dari keempat saudaranya yang dikenal dengan Pandawa Lima. Puntadewa, Werkudara, Harjuna, Nakula, dan Sadewa.
Motif Poleng pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) warna, yakni hitam dan putih. Ini dipakai oleh Werkudara muda yang acap disebut Bimasena. Hitam dan putih melambangkan bahwa Sang Bimasena memiliki karakter yang kokoh. Yang buruk akan dikatakan buruk, yang baik dikatakan baik.
Sifat dan watak seperti itu menjadi landasannya untuk menjalankan dharma, atau kuwajiban hidup berupa menegakkan kebenaran, memberantas angkara murka, melindungi rakyatnya. Keteguhan seperti itulah yang kemudian mendorong Sang Bimasena berproses bertemu dengan Sanghyang Nawaruci atau Sang Marbudyèngrat, yang di dalam pertemuannya di tengah samudera luas, menjelaskan apa yang tengah dicari Sang Bimasena yaitu Banyu Suci Perwitasari atau Tirta Mahapawitra.
Setelah Sang Bimasena memahami maknawiyah Tirta Mahapawitra, maka kain dodot poleng yang tadinya hanya 2 warna, yakni: hitam dan putih, lalu ia boleh mengenakan dodot polengnya yang terdiri dari 5 (lima) warna, yang acap disebut kain Bang Bintulu Aji, yang, terdiri atas warna: merah, hitam, kuning, dan putih.
Akan tetapi, makna poleng sebagai busananya Sang Werkudara tidak bisa dipisahkan dengan busana lainnya. Ia merupakan kesatuan yang menjadi cermin utuh bagi Sang Werkudara.
TENTANG MAKNA POLENG
Empat warna poleng merupakan simbol dari sedulur papat. Bahwa ketika manusia dilahirkan kedunia, Tuhan sudah menyertainya, bahkan menyiapkan 4 saudara yang bisa kita mintai tolong tanpa kita harus membayar. Yaitu: bumi, api, angin, dan air.
Bumi sebagai lambang kekuatan dan sekaligus sifat dermawan. Ia siap memberikan apa saja yang dikandungnya atau yang tumbuh di atasnya untuk keperluan seluruh makhluk hidup, tanpa kecuali.
Api adalah lambang enerji, yang sifatnya menyempurnakan segala sesuatu yang belum sempurna, agar memiliki daya yang lebih luhur. Dalam kehidupan sehari-hari, api berdaya guna melahirkan enerji untuk keperluan apa saja. Misalnya menjalankan mesin, memasak, dan juga membakar benda-benda yang bersifat buruk agar menjadi bersih.
Angin adalah simbol kecepatan. Kecepatan dan ketepatan bertindak perlu dimiliki setiap insan, karena disana ada hukum alam yang apabila dilanggar akan menjadi bencana bagi manusia. Angin, juga menjadi ruh kehidupan. Ia akan mengisi ruang-ruang kosong dengan daya hidup yang dimilikinya. Sebab, tanpa angin, segala sesuatu akan berhenti bernafas alias mati.
Air adalah simbol intelektualisas. Oleh karena Tirta Mahapawitra itulah yang dicari oleh Sang Bimasena, maka sessungguhnya, air merupakan sumberdaya hidup, karena intelektualitas itu sendiri merupakan sumber daya hidup. Intelektualitas itulah yang menempa, membentuk, dan memproses seseorang agar menemukan jatidirinya sebagi sumber petunjuk hidup.
Dalam pemaknaan yang lebih lengkap, air sebagai simbol intelektualitas memiliki beberapa intisari.
Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Artinya: rendah hati, penuh perhatian kepada sesama manusia terutama yang berada di bawahnya, tidak melihat ukuran selera yang berada di atasnya, tidak berprasangka, tidak takabur, dan tidak menyombongkan diri.
Air selalu menjaga alirannya agar tidak tertahan. Dibendung akan naik, dihalangi akan pindah, dipukul akan menghindar. Artinya, selalu menjaga diri agar tidak berbenturan dengan orang lain: baik dalam bentuk berselisih ucap, berselisih fikir, apalagi berbenturan fisik.
Air bisa berubah bentuk sesuai iklimnya. Panas, menguap – dingin, menjadi es. Maknanya, mampu menyesuaikan dan menempatkan diri dalam segala keadaan dan masalah yang dihadapi.
Air, bisa digunakan sebagai alat ukur, water pass dalam ilmu bangunan, air ketinggiannya selalu sama, bermakna memelihara hubungan dan menghormati sesama. Air adalah satu faktor utama untuk menumbuhkan. Selalu menumbuhkan dan memberi dorongan yang positif.
Air juga pandai beradaptasi. Di dalam butir kelapa bernama air kelapa, di sungai disebut air sungai, di laut disebut air laut, di danau – air danau, di sawah – air sawah. Mengandung arti mampu menyesuaikan dimanapun ia berada. Dan tentu saja, air adalah anasir yang paling dekat dengan kehidupan manusia dimanapun berada.
MAKNA WARNA DALAM MOTIF POLENG
Hitam, merupakan perlambang kekuatan. Sang pemilik kekuatan selalu memiliki watak, perkasa, mudah marah dan tersinggung, serta berwatak berangasan. Apabila dibiarkan, akan menghalangi perbuatan keutamaan.
Merah bermakna tabiat penuduh, hatinya mudah panas, dan selalu mengajak perselisihan. Jika dibiarkan, akan menutupi kewaspadaan .
Kuning, sebagai lambang birahi. Birahi disini bukan hanya birahi dalam hal seksualitas, tetapi juga dalam hal kepemilikan harta benda, jabatan, dan kekuasaan.
Putih, menuntun ke arah hidup suci. Mumpuni didalam olah spiritualitas dan mampu menerima ilmu ma’rifat dari Sang Maha Pencipta.
POLENG SEBAGAI INSPIRASI MENYEMPURNAKAN HIDUP PEMAKAINYA
Dalam kehidupan di dunia fana ini, manusia selalu berusaha hidup dalam tatanan dan hukum-hukum yang disebut: kedaulatan akal pikiran, kedaulatan alam semesta, dan kedaulatan illahi.
Kedaulatan akal pikiran bermakna bahwa, manusia harus menggunakan akal pikirannya semata-mata untuk mengubah benda-benda alam menjadi benda-benda budaya.
Kedaulatan alam berupa hukum tabur tuai yang tidak bisa ditawar. Siapa yang melanggar hukum alam, maka ia akan terkena akibatnya. Apa yang dituai – berasal dari apa yang ditabur.
Kedaulatan illahi, adalah kekuasaan mutlak yang disebut takdir, dimana orang yang sudah mencapai puncak religiusitasnya, akan mampu menguraikan takdirnya sendiri.
Untuk itu, manusia harus belajar mati di dalam hidup. Untuk apa? Untuk menjadi manusia yang purba diri. Sebab, dalam khasanah hidup spiritual ada disebut 3 jenis manusia.
Kaum berilmu, terhalang karena keluasan ilmunya. Ia tidak bisa bertemu kepada Sang Pencipta, justru karena sangat kaya dengan ilmu. Orang yang ilmunya sangat luas selalu cenderung mengedepankan ilmunya agar supaya dipandang sebagai orang yang pandai. Artinya ia lebih mengutamakan ilmunya daripada Tuhannya.
Para ahli hukum, tak mampu menembus karena kehalusan hikmahnya. Orang yang sudah tuntas mempelajari hukum, setiap keputusan selalu ditimbang hingga seadil dan sebijaksana mungkin. Akibatnya ia menempatkan diri sebagai sang adil dan yang bijaksana itu sendiri. Akhirnya ia mengesampingkan Sang Maha Adil dan Sang Maha Bijaksana.
Yang tidak terhalang hanya orang-orang arif, sebab ia menempatkan hatinya dalam cahaya cinta kasih Illahi. Jika sedang tidak diperlukan. Oleh Tuhan ia diletakkan pada kedudukan diatas segala kedudukan. Jika Allah memerlukannya, ia akan diterjunkan kedalam masyarakat, dengan membawa cinta kasih, kehormatan, dan kebahagiaan.
Untuk sampai ke tataran arif, maka manusia bisa belajar mati di dalam hidup. Adapun tataran latihan mati di dalam hidup itu ada 4:
Kematian putih, berkaitan dengan laku menahan amarah dan menghindari dendam dalam diri sendiri.
Kematian merah, bertalian dengan laku kesuhudan yaitu, laku pasrah melalui sabar, tawakhal, dan ikhlas, serta menjalani hidup secara moderat, maju meningkat tahap demi tahap.
Kematian hijau, berhubungan dengan laku menanggalkan seluruh perhiasan lahiriah dan mulai mengenakan pakian bathiniah berupa akhlak yang mulia.
Kematian hitam, adalah berupa laku tidak lagi mementingkan diri sendiri, yaitu berupa laku kasih sayang kepada seluruh ciptaan, meskipun mereka tidak tahu membalas budi, bahkan mungkin malah memusuhi kita.
[caption caption="Koleksi Pribadi"]
BUSANA SANG WERKUDARA
Selain kain poleng yang sudah sedikit diurai di atas, mari kita berselancar menelusuri “ageman” atau busana Sang Werkudara yang lain.
1) Gelung Minangkara. Berbentuk seperti udang besar, tinggi di belakang dan rendah di depan. Maknanya, Sang Werkodara tidak suka sombong apalagi memamerka ilmu yang dimilikinya. Ia selalu mendudukkan dirinya sebagai makhluk yang tidak memiliki pengetahuan apa-apa sebab sejatinya pengetahuannya berasal dari Sang Pemilik Pengetahuan, sehingga ia selalu menyatukan dirinya dengan Sang Pemberi kehidupan. Tidak berani mencela orang lain apalagi merendahkannya. Sebab, mencela dan merendahkan orang lain berarti mencela dan merendahkan Penciptanya.
2) Pupuk Mas Rineka Jaroting Asem. Merupakan cahaya emas yang terdapat di dahi Werkudara. Sebuah perlambang watak budi luhur yang termaktub dalam laku “hambeg adil paramaarta – berbudi bawa laksana, mangasah mingising bubi – mamasuh malaning bumi, mamahayu hayuning bawana”. Maknanya berperilaku adil terhadap siapapun, selalu memaafkan kesalahan orang lain, satunya kata dengan tindakan, selalu mengasah ketajaman budi, membersihkan keangkaraan di bumi, dan aktif membuat kedamaian seluruh semesta.
3) Sumping Kastuba Jati atau Sumping Pudhak Sinumpet. Adalah sumping yang dikenakan Werkudara di telinganya. Bentuknya seperti gajah yang sedang berguling, dihiasi bunga pudhak bermarna putih dan harum baunya. Jadi Werkudara dalah makhluk yang memiliki hati yang suci lahir batin seputih bunga pudhak. Bunga pudhak yang disumpet menghadap ke bawah, bermakna bahwa Werkudara memiliki pengetahuan kehidupan yang dalam dan seluas samudera, tetapi tidak pernah untuk menyombongkan diri. Disimpan untuk diri pribadinya. Dirahasiakan rapat-rapat, dan berpura-pura bodoh. Ia sudah bisa memenjarakan hawa nafsunya sehingga tidak terombang-ambing oleh keadaan dan lingkungannya.
4) Anting-anting Panunggal Sotya Maniking Warih. Berbentuk anting-anting sebagai perlambang bahwa Sang Werkudara memiliki kebijaksanaan kare ia sudah tahu segala sesuatu meskipun belum diajari. Oleh karenanya ia tidak khawatir terhadap segala seuatu yang akan terjadi. Sang Werkudara sudah mencapai pencerahan dan tidak lagi tergiur oleh keinginan duniawi.
5) Sangsangan atau Kalung Nagabanda. Kalung berbentuk naga ini sebagai keadaan bahwa Werkudara memiliki kekuatan seperti naga. Jika ia berperang, ia pantang kalah, kecuali mati. Dengan demikian, ia tidak takut terhadap siapapun juga marabahaya sebesar apapun.
6) Kelat Bahu Balebar Manggis kang Binelah Sakkendhagane. Gelang yang dikenakan di lengannya ini seperti buah manggis yang dibelah sehingga tampak isi di dalamnya. Sang Werkudara selalu teguh didalam janji, berhati suci lahir dan batinnya, seperti putihnya buah manggis, jujur luar dalam, berhati emas.
7) Gelang Candrakirana. Werkudara memiliki ilmu yang cemerlang seperti cahaya bulan purnama. Ini melambangkan perasaan Sang Werkudara yang mampu menjadi suluh penerang di dalam gelap gulita. Mengajak seluruh makhluk untuk menyembah kepada Sang Pencipta dalam kepasrahan dan cinta.
8) Sabuk Cindhe Wilis Kembar. Ikat pinggang berwarna hijau yang dipakai Werkudara melambangkan bahwa ia telah memiliki tekad kuat untuk melepaskan hubungan keterikatan dengan keduniawian. Ia memegang teguh kebenaran tetapi tidak menolak kritik, sebab sejatinya kritik itu mnerupakan jalan untuk menyempurnakan ilmunya.
KAIN POLENG SEBAGAI AGEMAN PENGHAYATAN HIDUP
Hidup yang tidak pernah dipertanyakan – tidak layak dijalani. (Socrates 350 SM)
Banyak manusia telah menginvestasikan motivasinya secara besar-besaran tanpa tahu apa tujuan hidupnya. Akibatnya, bukan kebahagiaan yang ditemui tetapi justru tekanan nhidup yang semakin mengerikan. Jika ada keberhasilan yang sangat besar, ia bukan keberhasilan yang membuat kebahagiaan, tetapi membuat hidup tak bermakna, hidupnya selalu melompat dari krisis kebahagiaan ke krisis kebahagian yang selanjutnya. Maka manusia perlu memiliki ageman yang bisa dijadikan panduan dalam hidup, seperti yang dipakai oleh Sang Werkudara, yakni kain atau dodot poleng. Jika kain poleng yang mempunyai warna empat: yaitu hitam, merah, kuning, dan putih, maka dalam perwujudan kain batik menjadi hanya berwarna 2, yakni hitam dan putih, atau coklat tua dan putih. Ini sebuah perlambang bahwa kain batik sebagai kitab kehidupan berusaha menyederhanakan perwujudan agar mudah dipahami oleh sang pemakainya.
Warna hitam melambangkan bahwa sang pemakai harus memiliki kesadaran: untuk apa menjalani hidup di dunia - dan dengan cara bagaimana. Secara religiusitas, manusia mestinya memiliki pedoman hidup yang sederhana tetapi mencakup keseluruhan:
1. Aku ini milik Tuhan, hanya selalu mengabdi kepada Kehendak Tuhan.
2. Aku tidak akan memiliki yang berlebih, segala yang berlebih akan aku kembalikan kepada Tuhan melewati alam dan kebudayaan, dengan kesadaran: bahwa aku harus dermawan di dalam pikiran, dalam perasaan, dalam jiwa, dalam perkataan, dan dalam perbuatan.
3. Aku setia pada hati nuraniku.
4. Aku setia pada jalannya alam.
5. Aku hidup dengan menjunjung tinggi dan selalu terlibat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan.
Jika kita membaca paragraf pertama, kita tentu harus mengajukan sebuah pertanyaan: “Bagaimana kita tahu bahwa segala apa yang kita lakukan sudah cocok dengan kehendak Tuhan”? Jawabnya ada di paragraf 2 – yaitu kalau: “Kita tidak akan memiliki yang berlebih, segala yang berlebih akan kita kembalikan kepada Tuhan melewati alam dan kebudayaan, dengan kesadaran: bahwa kita harus dermawan di dalam pikiran, dalam perasaan, dalam jiwa, dalam perkataan, dan dalam perbuatan.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana kita bisa menjalankan paragraf yang ke-2? Jika kita setia pada hati nurani.
Bagaimana caranya kita setia pada hati nurani? Kalau kita setia pada jalannya alam.
Apa kongkritnya kita setia pada jalannya alam? Kalau kita hidup dengan menjunjung tinggi dan selalu terlibat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan.
MENGUTUHKAN DIRI DI SAAT KRITIS
Akan tetapi, sekuat-kuatnya kita, kita tidak pernah terbebas dari situasi kritis. Lalu bagaimana cara kita mengutuhkan diri di saat kritis?
1. BERHENTI, mandheg¾mengendurkan ketegangan¾Sabar
2. BERSILA, silo¾kontemplasi, mengerahkan kesadaran¾Terbuka
3. TIDAK LARI, madhep¾menghadapi persoalan, mengerti¾Analisa
4. MEDITASI, menep¾mengendapkan kesadaran, menghayati¾Kristalisasi
5. BERDIRI, ngadeg¾melahirkan sikap¾Berpendirian
6. BERJALAN, lumaku¾melahirkan perbuatan¾Komitmen
7. TAQWA, tansah eling Gusti¾bumi, langit, dan aku: satu, vertikal¾Transenden
Tujuh jalan kesadaran di atas merupakan cara-cara kita menempa pribadi agar menjadi manusia yang tidak cengeng di dalam menghadapi situasi krisis. Nah dalam situasi normal, apa yang bisa kita lakukan sehingga kita boleh disebut manusia yang proaktif, bukannya manusia yang reaktif?
1. Menanggapi kewajiban seketika
2. Cepat, Rapih, Teliti
3. Finishing yang bagus, mencerminkan stamina yang prima
4. Bersih
5. STOIC¾suatu energi untuk mengarahkan dan membina daya hidup
6. Daya ensembel terjaga
7. Check dan rechek
8. Tidak membenarkan yang salah, dan pantang membenci.
Jadi, orang yang memakai kain dengan motif poleng – adalah manusia yang sudah memiliki sifat-sifat Sang Werkudara:
1. Pantang membenci
2. Pantang mendendam
3. Pantang merusak, destruktif
4. Pantang anarki
5. Pantang berlebihan
6. Pantang asosial
7. Pantang menindas
Semua sikap dan perilaku kita, disandarkan dan sekaligus diperuntukkan hanya untuk: hambeg adil paramaarta – berbudi bawa laksana, mangasah mingising budi, mamasuh malaning bumi – mamayu hayuning bawana, dengan cara terus meningkatkan pengetahuan spiritualitas kita agar pengetahuan tersebut seterang bulan purnama untuk memberikan pencerahan kepada sesama manusia dalam bingkai kasih sayang, kehormatan, dan kebijaksanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H