Mohon tunggu...
Soebhans Raiders
Soebhans Raiders Mohon Tunggu... -

Dengan berjalan Orang akan menemukan sesuatu yang akan Memanja Mata kita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Sukma Bunglon

21 Februari 2014   05:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sukma Bunglon


“Hai, Apa yang kamu cari?”  Ujar suara tak bertuan.

“Siapa disana?”Sembari kudekati suara itu. Ku dapati hanya bigora terpang-pang besar dihadapanku. Dengan bantuan lampu kecil aku terangi bigora itu.

Kudapati fotonya WsRenda. Sang Burung Merak. Memakai baju pendek yang terbelah kancingnya.  Hanya kaos kuning tua melapisi badantengahnya. Dengan jari telunjuk mengacung keatas menjadi ciri khasnya. Kerutdahi yang terpecah. Bola mata menatap tajam kesudut atas. Tangan kiri memegangerat kertas putih yang entah, tulisan apa dibalik kertas itu.

Andai aku terciptaseperti Sang Burung Merak. Khayalanku mulai memburu. “...Bisa menciptakan puisifenomenal yang tak akan di lupakan torehan sejarah. Karyaku banyak yang telahdi translit  ke berbagai bahasa asing. Bahkan,  aku bisa menjadi pemain teater piawai yangdijadikan cermin utama bagi pemula-pemulanya. Tapi, apa modal pertama yangharus aku lakukan? Lalu, dengan apa aku harus menghiasi kata-kataku agar nampakelok seperti sang burung merak?.

“Hai...!”

“Siapa?” Peranjatku memutus paksalamunanku. Kudapati ada telunjuk kekar menyentuh keningku.

“Jangan hanyaberkhayal saja masuklah kejasadku!” Ajak Renda yang tetap menempelkan  jari telunjuknya di jidatku.

“Bagaimana caranya?”Cetusku seketika.

Sekejap, terasa akumenjadi molekul sinar kecil, dengan halusnya aku memasuki relung kelenjar, uratnadi, telunjuk  jari hingga aku terjatuhditempat yang amat menyengat bau kedamaiannya. Ku dapati aku telah berada dijasad Renda. Menyatu. seakan penuh nafsu kata demi kata terasa terlempar darimulut kita berdua. Suaraku adalah suaranya dan gemaku menjadi gemanya. Kamibenar-benar menyatu dalam nyata. Atauentah apa itu.

MaknaSebuah Titipan

Sering kali aku berkata,

Ketika semua orang memuji milikku

Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan

Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya

Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya

Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi,mengapa aku tak pernah bertanya;

Mengapa Diamenitipkan padaku ?

Ya allah. Tak tersa air mataku leleh tak taujatuh kemana. Ungkapan puisinya sangatlah begitu menyibak hati nuraniku .Entahapa karena aku telah melebur bersamanya. Sehingga apa yang dirasanya jugakurasa.  Dan selanjutnya, aku hanyamenjadi pendengar saja dengan air mata yang tetap meleleh mendegar  Renda melanjutkan puisinya hanya sendirisaja

Untuk apa Diamenitipkan ini padaku ?

Dan kalau bukan milikku,apa yang harus kulakukan untukmilik-Nya itu ?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?

...?

Setelah Renda membaca sampai akhir. Akukeluar dari ujung jarinya. Seketika aku terduduk dengan kepala lunglaisambil memeluk kedua kakiku.  Gema SuaraRenda semakin hilang ditelan kegelapan ruang. Hanya bisikan tangisanku mewarnairuangan ini. Subhanallah...

Entah berapa lama aku duduk terpekur takpaham dengan apa yang terjadi.

“ YaIkhwan. Ta’al! [1]” apa lagi ini? Kutolehkan wajahku. Gelap. kelam menyelimutiruang.

Dengan kepala menunduk aku berjalan mendekati sumber suara itu. Ku lap mataku dengan baju lenganku. “kelg”senter lampu kecil ditanganku ku nyalakan kembali. Lukisan besar Gus Mus dengan songko’ hitam dan baju takwa menatap keatasseperti ada sesutu yang menjadi perhatiannya. Mengikuti asap rokoknya yangmengepul ke awang-awang.

“Bukankahhari ini kamu ingin bertemu denganku? Dan ingin bisa seperti aku?”  Ucapnya tanpa mengalihkan pendangannyakepadaku.

“Apakahsukmaku harus masuk jua seperti kejadian dengan Sang Burung Merak barusan?”Tanyaku.

“Akuakan tuntun seperti apa yang terjadi di Gua Hira’ saat malaikat jibril pada NabiMuhammad. ini terimalah!” ia menjulurkan kertas yang ada torehan tintanya kehadapanku. “Ingat! tirukan apa kataku saat huruf telakhir telah lepas daribibirku”

“Na’am”[2] jawabkupendek menganggukkan kepalaku kebawah.

KALAU KAU SIBUK KAPAN KAUSEMPAT

Kalau kau sibuk berteori saja

Kapan kau sempat menikmati mempraktekkan teori?

Kalau kau sibuk menikmati praktek teori saja

Kapan kau sempat memanfaatkannya?

Kalau kau sibuk mencari penghidupan saja

Kapan kau sempat menikmati hidup?

Kalau kau sibuk menikmati hidup saja

Kapan kau hidup?

“Resapilah Nak dan lepaskan suara dari relung hatimu”Pinta Gus Mus di sela-sela ucapanku yang tetap menirukan apa yang terucap darinya.

Kalau kau sibuk dengan kursimu saja

Kapan kau sempat memikirkan pantatmu?

Kalau kau sibuk memikirkan pantatmu saja

Kapan kau menyadari joroknya?

Kalau kau sibuk membodohi orang saja

Hingga terakhirmataku tetap mengeja per-kata di atas kertas putih di genggamanku. Tak sedetikpun suaraku tertinggal darinya.

Kapan kau sempat memanfaatkan kepandaianmu?

Kalau kau sibuk memanfaatkan kepandaianmu saja

Kapan orang lain memanfaatkannya?

Kalau kau sibuk pamer kepintaran saja

Kapan kau sempat membuktikan kepintaranmu?

Kalau kau sibuk membuktikan kepintaranmu saja

Kapan kau pintar?

Kalau kau sibuk bertanya saja

Kapan kau mendengar jawaban!”

...?

Fffuh...! Suara nafas kelegahan saat barisan palingbawah sendiri telah terucap dari mulutku.

“Apa yang dapat kaupetik dari puisi barusan, Nak? Paparkanlah!”Pintanya seakan tak memberiku waktu sekejap untuk diam.

Em.. pikiranku mereka-reka ulang apa yangharus ku paparkan. ”Mungkin... janganlah kau serahkan nafas kita pada waktu.Namun kitalah yang harus memformat dengan apa yang tersirat di otak kita. Laksanakanlah,itulah kunci untuk membuka pintu kesusksesan kita. Dan tak boleh terlupakan.  Jangan pernah kau lupakan untuk sekejap berdiridi depan cermin memikirkan pada diri kita dan sekeliling kita, bisakah  menuai apa yang sudah kita dapatkan?......” Paparkupendek.

Em... em... em...  kulirik Gus Mus, mengangguk-anggukkankepala. “Saya maklumi hanya itu yang dapat kamu tangkap. Tapi, itu bisa dibuatmodal perdana agar kamu bisa menjadi seoarang  yang piawai yang tak kan dipandang sebelah mataoleh sejarah, Nak. Tapi,yang terpenting bagaimana hati kita bisa merasakan terhadap apa yang  telah ada pada sekitar kita. Dan, ingatlah bukan sebuahkebaanggan jika kamu mejadi bayanganku, banyanganya Sang Burung Merak. Percayaahkalau kamu pasti bisa. Tonjolkan karya sejatimu sendiri. Berusahalah, nak. Danjemputlah jasadmu” Jari telunjuknya mengarah pada jasadku yang terbaringdisudut selatan ruang.

Soebhans Muniefs                                                      Sidogiri. 20-12-1434 MalamJum’at 02.40 Malam

[1] Wahai saudaraku kemarilah.

[2] Iya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun