Kapan kau mendengar jawaban!”
...?
Fffuh...! Suara nafas kelegahan saat barisan palingbawah sendiri telah terucap dari mulutku.
“Apa yang dapat kaupetik dari puisi barusan, Nak? Paparkanlah!”Pintanya seakan tak memberiku waktu sekejap untuk diam.
Em.. pikiranku mereka-reka ulang apa yangharus ku paparkan. ”Mungkin... janganlah kau serahkan nafas kita pada waktu.Namun kitalah yang harus memformat dengan apa yang tersirat di otak kita. Laksanakanlah,itulah kunci untuk membuka pintu kesusksesan kita. Dan tak boleh terlupakan. Jangan pernah kau lupakan untuk sekejap berdiridi depan cermin memikirkan pada diri kita dan sekeliling kita, bisakah menuai apa yang sudah kita dapatkan?......” Paparkupendek.
Em... em... em... kulirik Gus Mus, mengangguk-anggukkankepala. “Saya maklumi hanya itu yang dapat kamu tangkap. Tapi, itu bisa dibuatmodal perdana agar kamu bisa menjadi seoarang yang piawai yang tak kan dipandang sebelah mataoleh sejarah, Nak. Tapi,yang terpenting bagaimana hati kita bisa merasakan terhadap apa yang telah ada pada sekitar kita. Dan, ingatlah bukan sebuahkebaanggan jika kamu mejadi bayanganku, banyanganya Sang Burung Merak. Percayaahkalau kamu pasti bisa. Tonjolkan karya sejatimu sendiri. Berusahalah, nak. Danjemputlah jasadmu” Jari telunjuknya mengarah pada jasadku yang terbaringdisudut selatan ruang.
Soebhans Muniefs Sidogiri. 20-12-1434 MalamJum’at 02.40 Malam
[1] Wahai saudaraku kemarilah.
[2] Iya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H