Hari ini saya mendapatkan beberapa broadcast dan obrolan di group-group WhatsApp yang berisi tentang kegeraman dari salah seorang akuntan publik “Dwi Wahyu Daryoto”. Sebagai seorang seorang akuntan yang telah bekerja lebih dari 30 tahun dan hingga 2014 masih bekerja sebagai akuntan publik di salah satu KAP anggota big 4, Dwi Wahyu Daryoto merasa tersinggung dengan pemberitaan di tempo.co “Proyek Blok Masela, Rizal Ramli Sindir Tiga 'Akuntan'”
Alangkah baiknya jika disini, saya sajikan saja surat protes dari Dwi Wahyu Daryoto yang saya terima dari broadcast di group WhatsApp saya. Saya sendiri merasa ini perlu karena ini adalah era keterbukaan yang memberikan kesempatan kepada kita untuk berpikir dan bersikap secara terbuka pula bukan?. :D
“Bapak Rizal Ramli, Saya ajak Anda Menjadi Pemimpin yang Bijak”
Saya, Dwi Wahyu Daryoto, seorang akuntan, dan sudah bekerja lebih dari 30 Tahun. Sampai tahun 2014 saya bekerja sebagai akuntan publik di salah satu KAP anggota big 4. Tidak seluruh pekerjaan saya berkaitan dengan akuntansi. Saya meneruskan pendidikan di Jurusan Psikologi terapan UI, sekarang sedang menempuh program S3 strategi bisnis.
Sama seperti halnya pekerjaan sarjana bidang lain, yang juga banyak diantaranya tidak berhuhungan langsung dengan latar belakang pendidikannya. Tidak semua sarjana hukum bekerja selamanya di bidang hukum. Tidak semua wartawan hebat lulusan sekolah jurnalistik. Tidak semua insinyur bekerja di bidang keteknisan. Banyak bankir hebat berlatar belakang insiyur.
Bill Gates adalah jebolan Yale Law School yang tidak menyelesaikan sekolah hukumnya. Mc Namara menteri pertahanan legendaris Amerika adalah akuntan dan meneruskan studinya di sekolah bisnis dan manajemen. Pak Jokowi Presiden yang hebat, jujur, dan berani ini lulusan Fakultas Kehutanan yang tak ada urusan dengan pengelolaan negara yang rumit ini. Ignatius Jonan seorang akuntan yg berhasil membuat transformasi di PTKAI sehingga lebih sehat dan bisa menyediakan jasa transportasi kereta api dengan baik.
Pak Rizal Ramli, ketahuilah bahwa kompetensi yang harus dimiliki seorang profesional leader itu memang berbeda-beda. Di level bawah yang dibutuhkan adalah keahlian teknis. Di level menengah, teknisnya makin kurang berganti menjadi managerial. Di level atas, teknis makin sedikit lagi dan yang hrs dibangun adalah kompetensi konseptual dan memperkuat kompetensi kepemipinan. Di semua level pemimpin harus memiliki keahlian interpersonal yang kuat. Tidak bisa seseorang menjadi pemimpin yang efektif jika tak punya empati dan respek, terlebih menjadi pemimpin di era keterbukaan dan egaliter seperti saat ini.
Saya rasa Rizal Ramli mengalami kekacauan berfikir dalam menyikapi berbagai isue pembangunan. Dia mengalami kompleks rendah diri yang akut yang dikompensasi dengan seolah-olah berani menyerang apa saja, sambil terus menerus melecehkan pihak lain. Sikap merasa benar sendiri yang ditunjukkan terlalu sering sejatinya adalah merefleksikan rasa rendah diri dan perasaan TIDAK AMAN terhadap otoritas dan kapasitasnya.
Sebagai akuntan saya terhina dengan pernyataan Rizal Ramli. Saya mengajak seluruh akuntan indonesia untuk menyikapi sikap seorang menteri kordinator yang tidak saja jauh dari tata etika, kepatutan, tetapi juga tidak mencerminkan keteladanan sebagai seorang pemimpin.
Membahas bahwa akuntan konyol, lelucon, dan berbahaya ketika mengomentari hal teknis adalah penghinaan akal sehat, kemampuan kolega dalam bidang manajerial, kapasitas kepenimpinan dan pemahaman akan proses perumusan kebijakan publik.
Ingat bahwa Pak Rizal Ramli adalah jebolan ITB yang tidak lulus, dan meneruskan sekolah sebagai ekonom di amerika. Sepanjang karirnya, sampai sekarangpun tidak ada satupun karya yang patut diingat dan dihargai rakyat, kecuali pernyatan pernyataan kontroversial sebagai seorang pengamat.
Pak Rizal Ramli, Anda sebaiknya mengubah sikap dengan lebih menghargai kolega yang memang secara otoritas, tanggung jawab dan kompetensi leadershipnya memiliki legitimasi. jangan membawa persoalan substansi ke arah pertentangan pribadi apalagi membawa bawa profesi akuntan.
Prof. Dr. Nasir benar beliau seorang akuntan, tetapi dia seorang pemimpin yang pernah jadi Rektor Universitas besar. Bapak Amien Sunarjadi benar beliau seorang akuntan tetapi keahlian utama beliau adalah membangun sistem kelembagaan, termasuk merancang sistem kelembagaan KPK yang hingga kini masih diakui kredibilitas dan efektivitasnya.
Bapak Sudirman Said benar akuntan, tetapi keahlian utamanya adalah memimpin transformasi suatu lembaga, dan apresiasi publik atas langkah langkah beliau mentransformasi sektor ESDM menjadi bukti dari kompetensi sebagai Pemimpin Perubahan.
Sebagai akuntan yang mengenal baik ketiga orang di atas, saya berani bertaruh bahwa kemampuan intelektual, kepemimpinan, kematangan, integritas dan kompetensi sebagai pengelola urusan publik dari ketiga akuntan tersebut jauh lebih baik dari pada Pak Rizal Ramli.
Sebaliknya saya tidak menemukan rekam jejak yang mengesankan dari seorang Rizal Ramli, ekonom yang sekarang mengaku ahli teknis LNG dan perpipaan. Saya tidak menemukan apa prestasi besar Anda, baik selama menjadi ekonom bebas maupun selama menjabat menteri di masa lalu maupun masa sekarang,
Kepada seluruh akuntan Indonesia saya mengajak agar terus mengamati sepak terjang Rizal Ramli dan suatu saat kita harus menyikapinya.
Salam,
Dwi Wahyu Daryoto, Certified Public Accountant
Selang beberapa saat setelah kabar ketersinggungan Dwi Wahyu Daryoto itu beredar, muncul berbagai komentar yang secara umum menilai bahwa apa yang disampaikan oleh si akuntan publik Dwi Wahyu Daryoto hanya kebawa-perasaan aja, yang oleh anak-anak muda saat ini sering dibilang “baper”.
Namun ada komentar menarik yang di-forward oleh salah satu anggota groups WhatsApp saya dalam menanggapi surat protes Dwi Wahyu Daryoto tersebut. Selain juga ada yang menyampaikan sebuah berita tentang pandangan salah seorang peneliti di Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) yang mensinyalir adanya penguasaan sektor migas nasional oleh beberapa akuntan, komentar menarik ini mengajak kita untuk melihat sejarah patriotisme yang dulu berkembang di masa VOC mulai menancapkan kuku penjajahan di bumi nusantara.
Sampai disini, kita tentu mengingat bagaimana gairah antusiasme masa ini mulai bangkit di era pemerintahan Jokowi yang memperoleh dukungan aktif dari para sukarelawan-sukarelawan yang menginginkan perubahan Indonesia menjadi lebih baik. Inilah cita-cita menjadi negara yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam budaya yang terangkum dalam Revolusi Mental dan Trisakti-Nawacita nyata ajak kita untuk mengangkat pelajaran berharga dari para founding fathers kita. Ya, politik massa mengambang yang dikembangkan oleh Orde Baru atau orde otoritarian Soeharto mulai ditinggalkan oleh kebangkitan partisipasi massa atau sukarelawan.
Kembali kepada komentar yang menurut saya cukup menarik diatas, komentar itu datang dari seorang alumni sekolah pertukangan berlabel institut teknologi di Bandung yang bernama Hanief Adrian. Saya menilai komentar insinyur pertukangan ini cukup dapat menarik karena mengangkat patriotisme dari Tumenggung Bahureksa yang dikenal berani dalam melawan VOC di Batavia tahun 1628.
Begini kata si insinyur pertukangan itu:
“Surat Terbuka Untuk Sudirman Said”
Surat Untuk Sudirman Said dan Rejim Para Akuntan yang Tersinggung dengan Pernyataan Rizal Ramli dari Rejim Para Insinyur ...
Tuan, saya menulis dari sebuah tempat yang dulu sekitar tahun 1620-an kalender Gregorian, menjadi tempat menyusupnya pasukan khusus yang terdiri dari para tukang besi, tukang kayu dan tukang batu pribumi Jayakarta, dipimpin Tumenggung Bahureksa, panglima pasukan terdepan yang bersiap melawan pasukan VOC pimpinan Jan Pieterzoon Coen di Benteng Batavia, sebuah sejarah kecil tak tertuliskan di buku sejarah resmi mana pun, kecuali berbentuk fragmen singkat, hanya novel sejarah kecil yang pernah mengangkatnya. Novel yang tak laku ini pernah saya baca di perpustakaan SMP saya ...
Ah, Tuan Sudirman pasti kenal siapa sebenarnya Mur Jangkung aka JP Coen ini, wong ndeso kelahiran Hoorn, Belanda. Orang kampung yang awalnya cuma jadi bahan ejeken Tujuh Belas Tuan-Tuan Dewan Komisaris VOC ini berlatar pendidikan sama dengan Tuan, Akuntansi. Coen merantau berjalan kaki dari kampungnya di Hoorn menuju Venesia, belajar langsung dari mahaguru akuntansi, Luca Pacioli.
Di ibukota Republik Maritim terkuat Eropa inilah, Coen belajar dasar pembukuan. Mana sisi debit, mana sisi kredit, saldo bertambah dan berkurang. Melalui rumus sederhana Aset = Utang + Modal, Coen si orang ndeso ini memulai karir sebagai pegawai administrasi VOC, petualangan pertamanya adalah berlayar menuju Kepulauan Banda. VOC memilih berdagang langsung ke pusat produksi rempah-rempah di Maluku, ketimbang di bandar besarnya, Banten. Dulu pertama kali Cornelis de Houtman datang dengan kapalnya 4 biji langsung disikat habis orang Banten, maklum lah orang-orang bule itu sombongnya minta ampun. Sementara orang Banda cenderung ramah ...
Eh ternyata Tuan Sudirman, si JP Coen ini tak beda sikap dengan pendahulunya. Ketika rakyat Banda itu mulai membaca sikap JP Coen yang megalomaniak itu, ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah. Dulu mereka bebas saja bisa berdagang dengan pelaut Bugis, Ternate, Sulu, Brunei, Surabaya, Cina Semarang, Cina Lasem, Banten, hingga orang-orang Melayu. Tapi tiba-tiba Coen melarang orang Banda berdagang selain dengan VOC. Ribuan rakyat Banda yang berontak dibantai VOC, tidak peduli tua-muda-lelaki-perempuan, yang menyerah kalah digantung, ratusan orang Banda yang masih kuat bermanfaat bagi VOC dijual sebagai budak, diangkut ke Jayakarta.
Sikap megalomaniak JP Coen tidak usai sampai di Banda saja, dia provokasi rakyat Kadipaten Jayakarta yang kembali ramai itu, yang dulu pada waktu bernama Sundakalapa tidak berhasil direbut Fransisco De Sa karena kalah cepat datang dari Fatahillah. Awalnya JP Coen kalah dari rakyat Jayakarta, tersingkir ke Ambon. Namun dia kembali dengan puluhan kapal dan prajurit bayarannya, dibakarnya keraton dan seluruh kadipaten Jayakarta ...
Rupanya JP Coen ini berinovasi dengan ilmu akuntansinya, dia isi kolom debet dengan hasil bumi dari tanah air Nusantara paling mahal saat itu, rempah-rempah, lalu dia isi kolom kredit dengan darah rakyat. Semangkin sehat dan kaya-rayalah VOC itu :D
Siapa yang berani memberontak melawan JP Coen? Sultan Mataram? Sultan Banten? Sultan Cirebon? Para Raja lain dan Tumenggung yang cuma ingin menambah upeti dan perbendaharaan kerajaan?
Tidak!! Para tukang besi, tukang kayu dan tukang batulah yang berani menjadi pasukan terdepan. Mereka yang kalah perang, berlari menyelamatkan diri ke Mataram, hampir dihukum di daerah kekuasaan Tumenggung Bahureksa dengan dimasukkan ke kandang macan jawa. Untung saja mereka selamat, dan berhasil membuat sang Tumenggung terpesona. Tidak ada yang berubah dari sifat birokrat daerah, mereka ingin naik pangkat dengan cara menginjak rakyat. Karena ingin naik pangkat pula, Si Tumenggung menawarkan diri kepada Sultan Agung untuk memimpin pasukan menaklukkan Batavia, dengan modal orang-orang sebangsa (bahkan seagama) yang hampir dia bunuh itu.
Di bangsa manapun di dunia, tidak ada yang istimewa dari para tukang ini, Tuan Sudirman, termasuk para tukang yang bergabung menjadi pasukan khusus Mataram penyerbu Batavia, kecuali mereka hanya ingin tanah airnya kembali menjadi milik mereka, bukan dikuasai semena-mena oleh orang asing. Mereka perlu menyabung nyawa untuk menyadarkan para penguasa yang sudah jelas dari dulu wataknya hanya ingin memperluas daerah kekuasaan saja.
Hanya bangsa si JP Coen saja yang membuat profesi para tukang ini pada abad-abad selanjutnya menjadi lebih tinggi, dibikinkan sekolah-sekolah yang lebih bergengsi di Delft, Aachen, Hamburg, Bremen dan lain-lain untuk para tukang, yang dilabeli dengan gelar-gelar bergengsi Ingenieur alias Ir atau Ing, yang dibaca orang kita dengan lafal Insinyur. Padahal mah tetap saja mereka itu tukang-tukang juga.
Lalu orang Londo itu tak suka dengan tukang-tukang dari bangsa mereka sendiri, gajinya mahal banget, Tuan. Mereka rekrut anak-anak terbaik dan terpintar di bangsa ini, untuk menjadi tukang! Bukannya mereka si Londo penjajah itu mendidik anak-anak terpintar bangsa kita memahami ilmu hukum, ilmu politik, ilmu kesusasteraan yang merupakan ilmu-ilmu tinggi, malah mereka jadikan tukang, tukang menghadapi wabah pes, tukang bikin saluran irigasi, tukang bikin bangunan.
Sudahlah Tuan Sudirman, tidak ada urusan antara anda para akuntan dan para tukang insinyur soal profesionalisme. Ini soal keberpihakan saja, anda dapatkan aset berupa minyak, gas, batubara, dan kekayaan alam lainnya, masuk kolom debet. Lalu apakah anda akan mengisi kolom kredit dengan modal asing, teknologi asing dan tenaga kerja asing, lalu meningkatkan utang dari menghisap darah dan tanah air milik rakyat?
Ini bukan soal profesionalisme anda para akuntan yang sukses memperbaiki kelembagaan negara dua windu belakangan lho, ini soal bagaimana anda yang sedang berkuasa mampu menghadirkan negara bagi pemilik sahnya, yakni rakyat, entah rakyat di Riau, di Mahakam, di Saumlaki, di Timika, pokoknya di seluruh penjuru Republik lah. Jangan pula anda pikir mereka cuma butuh uang-uang tunai, yang pada hakikatnya terbentuk dari hasil menambah utang anda, hasil menghisap darah dan tanah rakyat ...
-Hanief Adrian-
Membaca secara berulang-ulang komentar si insinyur pertukangan diatas, saya menjadi ingat Sajak Pertemuan Mahasiswa yang pernah dikumandangkan oleh si Burung Merak, WS. Rendra, dalam buku puisi “Potret Pembangunan dalam Puisi” yang ditulis pada 1 Desember 1977. Begini “Sajak Pertemuan Mahasiswa” yang dipersembahkan oleh WS Rendra kepada para mahasiswa UI dan menajdi salah satu adegan dalamfilm “Yang Muda Yang Bercinta” karya Syumandjaya yang sempat dilarang peredarannya oleh Orde Baru itu:
Matahari terbit pagi ini
Mencium bau kencing orok di kaki langit
Melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan
Lalu kini ia dua penggalah tingginya
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
Memeriksa keadaan
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
Orang berkata : “Kami punya maksud baik”
Dan kita bertanya : “Maksud baik saudara untuk siapa ?”
Ya !
Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang terlimpah, ada yang terkuras
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan
Tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
Tanah – tanah di gunung sudaj menjadi milik orang – orang kota
Perkebunan yang luas
Hanya menguntungkan segolongan kecil saja
Alat – alat kemajuan yang diimport
Tidak cocok bagi petani yang sempit tanahnya
Tentu saja kita bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?”
Kita mahasiswa tidak buta
Sekarang matahari semakin tinggi
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu – ilmu diajarkan disini
Akan menjadi alat pembebasan
Ataukah akan menjadi alat penindasan ?
Kita menuntut jawaban..
Sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
Cicak – cicak berbunyi di tembok
rembulan berlayar
Tetapi pertanyaan-pertanyaan kita tidak akan mereda
Akan muncul di dalam mimpi
Akan tumbuh di kebon belakang
Dan esok hari
Matahari akan terbit kembali
Sentiasa hari baru menjelma
Pertanyaan – pertanyaan kita akan menjadi hutan
Atau masuk ke gali
Menjadi ombak di samodra
Di bawah matahari ini kita bertanya :
“Ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis”
Dan maksud baik kita,
memihak yang mana.
WS. Rendra,
Jakarta, 1 Desember 1977
Entah karena kebetulan atau memang sejarah mempertemukan pandangan-pandangan kami. Di tanggal 16 Januari 2016 ini memang bertepatan dengan 38 tahun paska peluncuran Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 di kampus ITB, Bandung. Buku yang diluncurkan 2 hari paska dideklarasikannya sikap politik mahasiswa ITB yang menyatakan “TIDAK MEMPERCAYAI DAN TIDAK MENGINGINKAN SOEHARTO KEMBALI SEBAGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA” itu, berisi tentang uraian MENGAPA KITA HARUS BERJUANG dan APA YANG HARUS DIPERJUANGKAN? Ya, Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 inilah kemudian oleh seorang Profesor dari Cornell University yang beberapa waktu lalu meninggal dunia, Ben Anderson, diterjemahkan kedalam beberapa bahasa asing. Menurut Ben Anderson, Buku Putih Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1978 merupakan kritik pertama yang sistematis terhadap sistem otoriter Orde Baru dan jelas menyampaikan alasan dan visinya apa.
Ya, saya memang sedikit merasakan apakah ini kebetulan atau memang takdir sejarah yang mempertemukannya. Pada malam peringatan 42 Tahun Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1974 yang diselenggarakan oleh Indonesian Democracy Monitor, 15 Januari 2016, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta semalam, para pengunjung memperoleh pembagian gratis Buku Puisi-Puisi “si Ali Topan Anak Jalanan, Teguh Esha. Didalam buku puisi itu, ada satu puisi yang menurut saya dapat mewakili pandangan saya dalam menilai cara pandang si akuntan publik Dwi Wahyu Daryoto diatas.
Begini salah satu Puisi si Ali Topan Anak Jalanan itu:
Yunani bankrupt!
Eropa bangkrut!
Amerika bangkrupt!
Asia bangkrut!
Afrika bankrupt!
Indonesia bangkrut!
Semua negara bangkruuuuuut!
:
Turun kalian semua dari menara-menara kesombongan!
Kaluar kalian semua dari istana-istana kegelapan!
Gulung karpet kalian! Bakar di reruntuhan peradaban kepalsuan!
Copot gelar-gelar akademik kalian! Kubur di kampus-kampus kebebalan!
Hentikan celoteh-celoteh kalian di depan para mahasiswa dan para mahasiswi yang selama ini terkagum-kagum, terkentut-kentut dan terberak-berak dengar omong-kosong dan bualan-bualan kalian!
Dan bertobatlah semua kalian untuk pemujaan kalian kepada berhala-berhala bebal kalian…
Dan ‘tuk kesesatan prakiraan-prakiraan yang kalian ajarkan yang meng menyampuli Kebenaran Pengetahuan Sejati, yang bikin hina dan bikin keji dan bikin hancur kemanusian!!
Teguh Esha,
Pasar Kaget, Jakarta Selatan, April 2014
Menurut saya pribadi, setelah akhirnya saya berselancar dalam dunia daring beberapa waktu di hari ini, Bapak Dwi Wahyu Daryoto (Certified Public Accountant) adalah keliru dalam menilai menilai pernyataan Dr Rizal Ramli terkait berita di tempo "Proyek Blok Masela, Rizal Ramli Sindir Tiga Akuntan" tersebut.
Menurut saya, letak kekeliruan Dwi Wahyu Daryoto adalah karena ia justru tidak menyentuh substansi persoalan dalam pengelolaan gas di Blok Masela, yaitu perdebatan publik yang berkaitan dengan multiplier effect Blok Masela. Disini, saya menyarankan untuk membaca pidato pengantar Presiden Jokowi dalam rapat terbatas Blok Masela pada 29 Desember 2015 lalu. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa bahwa kita harus betul-betul memperhatikan amanat konstitusi yang menyatakan dengan jelas, menyatakan dengan tegas bahwa bumi dan air, serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu mengandung arti bahwa apa yang dihasilkan dalam pemanfaatan sumber daya alam itu, harus benar-benar untuk rakyat, untuk semua masyarakat Indonesia, untuk semua orang, dan bukan untuk segelintir atau sekelompok orang,” Presiden Jokowi seperti yang dilansir oleh laman setkab.go.id
Masih menurut Presiden Jokowi, dirinya perlu menekankan hal itu, karena ini sebuah pengembangan proyek yang sangat besar. Oleh sebab itu, Presiden Jokowi meminta jangan tergesa-gesa, tetapi keputusannya harus benar, karena ini menyangkut sebuah waktu yang sangat panjang.
Menurut Presiden, kita harus menyadari bahwa kekayaan sumber daya alam kita, baik minyak bumi, gas bumi, yang terkandung di bumi pertiwi ini suatu saat juga akan habis. Oleh sebab itu, Presiden meminta agar diberikan kalkulasi, diberikan paparan yang detil, sehingga pada saat kita memutuskan itu betul-betul sebuah keputusan yang benar.
“Saya ingin agar proyek besar ini memberikan manfaat kepada ekonomi langsung, dan juga menciptakan sebuah nilai tambah yang memberikan efek berantai (multiplier effect) pada perekonomian nasional kita,” tutur Presiden Jokowi, setkab.go.id
Tentang aspek teknis yang juga gagal dipahami oleh Dwi Wahyu Daryoto, sesungguhnya maksud dari Menko Rizal Ramli bukanlah menganggap diri Rizal Ramli sebagai orang yang ahli di bidang teknis LNG dan perpipaan. Rizal Ramli yang selama ini melawan sikap inlander menginginkan agar diberikan kesempatan kepada insinyur-insinyur Indonesia yang juga tak kalah pengalamannya dari para insinyur-insinyur bule. Ya, bagi saya, tidak selamanya yang “asing” selalu diatas segalanya. Karena jika demikian, justru bisa buat kita terjebat untuk terus minder (inlander).
Dalam berbagai pemberitaan, saya tidak menemukan berita yang menyatakan bahwa Rizal Ramli mengaku sebagai ahli teknis LNG dan perpipaan. Yang disampaikan Rizal Ramli tentang aspek-aspek teknis dalam pengelolaan Blok Masela adalah membuka peluang kepada insinyur Indonesia untuk adu ide dan pengalaman soal pengolahan gas Masela.
Terakhir, Apabila Bapak Dwi Wahyu Daryoto belum mengetahui apa saja yang sudah dikerjakan oleh Rizal Ramli selama 5 bulan, terhitung sejak 12 Agustus 2015, berikut ini saya ingin berbagi informasi yang bisa menambah keseimbangan cara pandang Anda :
Untuk menutup tulisan ini, baik juga untuk menampilkan klarifikasi langsung dari Menko Rizal Ramli di salah satu media dengan judul “Rizal Ramli: Tidak Ada Niat Saya Melecehkan Profesi Akuntan”
Terima kasih. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H