Tidak hanya ciri fisik dan kecerdasan, trauma juga bisa diturunkan dari orang tua. Intergenerational trauma adalah trauma yang diwariskan dari mereka yang secara langsung mengalami kejadian traumatis ke generasi berikutnya. Ini mengakibatkan adanya rantai ikatan trauma yang menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tali ini akan terus memanjang dan tidak terputus, kecuali ada upaya yang dilakukan untuk memutusnya.
Mengenal Intergenerational Trauma
Intergenerational trauma atau trauma antargenerasi adalah konsep yang dikembangkan untuk membantu menjelaskan tantangan yang dihadapi generasi selama bertahun-tahun, baik dalam keluarga maupun suatu kelompok. Konsep ini menjelaskan tentang transmisi sebuah trauma yang diturunkan ke generasi berikutnya [1]. Menurut American Psychological Association (APA), trauma antargenerasi ditunjukkan ketika keturunan seseorang yang mengalami peristiwa traumatis menghadirkan reaksi dan tantangan emosional yang mirip dengan leluhur atau kerabat mereka di generasi sebelumnya [2]. Trauma ini didasari oleh peristiwa besar pada masa lalu yang dapat diturunkan oleh orang tua melalui pola pengasuhan anak, perilaku yang menyimpang, kekerasan, dan gangguan kesehatan mental.Â
Dosen Psikologi Konseling di Santa Clara University Amerika Serikat Ling Lam menjelaskan, bahwa Intergenerational Trauma berakar pada tiga masalah utama. Pertama, trauma yang timbul karena ada di kelompok tertentu seperti genosida, perang, pemindahan paksa, serta diskriminasi ras dan gender. Kemudian, trauma interpersonal seperti kekerasan pasangan, pelecehan, atau penelantaran. Terakhir datang dari  trauma pribadi seperti penyalahgunaan obat atau kecelakaan traumatis yang mengubah hidup [3].
Pada tahun 2010, untuk mempelajari fenomena ini, Brent Bezo (seorang peneliti) melakukan studi percontohan untuk memahami dampak Peristiwa Holodomor di Ukraina terhadap generasi selanjutnya. Setelah mewawancarai 45 orang dari tiga generasi yang berbeda, diketahui bahwa kejadian dan penderitaan yang ditimbulkan dari peristiwa ini menyebabkan berkembangnya coping mechanism dalam tiga generasi. Mereka menjalankan hidup dalam "mode bertahan hidup", yang membuat mereka kesulitan mempercayai orang, timbulnya mentalitas kelangkaan, harga diri yang rendah, permusuhan sosial, dan kondisi kesehatan yang berisiko [4].
Bagaimana Trauma bisa Diturunkan?
Trauma antargenerasi dapat diturunkan melalui hubungan keterikatan di mana orang tua telah mengalami trauma relasional yang berdampak signifikan pada kehidupan mereka, termasuk kecenderungan untuk mengalami trauma lebih lanjut. Keunikan trauma antar generasi terletak pada keberadaannya sebagai proses relasional. Alih-alih merupakan trauma dari suatu peristiwa yang dialami secara individual dan berhenti pada diri mereka sendiri, trauma antargenerasi merupakan trauma terdahulu dan hasil dari trauma yang berikatan (Salberg, 2015) [5].
Proses transmisi sebuah trauma dapat digambarkan seperti pada gambar berikut:
Gambar ini menjelaskan bahwa trauma atas suatu peristiwa dalam hidup dapat diturunkan melalui dua cara. Yang pertama melalui tingkah laku atau tindakan individu yang akan meningkatkan resiko untuk menyakiti diri sendiri, adiksi, masalah kelekatan dengan orang lain, bunuh diri, penyakit jantung dan hati, serta penyakit kanker. Yang kedua, trauma juga dapat diturunkan secara biologis, namun hal ini sebetulnya masih menjadi perdebatan para peneliti [6].
Contoh dekat yang bisa kita ambil misalnya, nenek dan kakek kita tentu saja pernah melewati masa-masa sulit dan peristiwa-peristiwa traumatis seperti perang dunia ke-2, krisis keuangan, peristiwa PKI, era dengan demokrasi yang lemah, dan sebagainya. Contoh lainnya, seseorang pernah mengalami peristiwa personal yang bersifat traumatis seperti mengalami pelecehan, kekerasan, atau penelantaran.Â
Besar kemungkinannya bahwa peristiwa-peristiwa ini menimbulkan gejala-gejala permasalahan kesehatan mental, seperti post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi, gangguan kecemasan, dsb. Â
Nantinya, peristiwa-peristiwa ini akan berpengaruh pada pembentukan pola perilaku yang merespons trauma-trauma tersebut. Dampaknya akan tecermin pada pola pengasuhan relasional orang tua-anak.Â
Pola pengasuhan yang terikat oleh trauma inilah yang bisa menimbulkan efek jangka panjang pada perkembangan anak yang diasuh. Segala tindakan yang didasar pada respon trauma sebelumnya dan akan terus menurun ke generasi-generasi berikutnya.
Efek Trauma Antargenerasi
Orang tua dapat menularkan kerentanan genetik bawaan yang dipicu oleh pengalaman traumatis mereka sendiri atau melalui gaya pengasuhan yang terikat oleh trauma orang tua mereka.Â
Para penyintas trauma menghadapi banyak tantangan saat mereka menjadi orang tua, termasuk kesulitan menjalin ikatan dan menciptakan keterikatan emosional yang sehat dengan anak-anak mereka.Â
Yael Danieli, seorang psikolog klinis, mengategorikan empat cara adaptasi pada keluarga yang terikat trauma berdasarkan kondisi para penyintas dengan traumanya: mereka yang seakan menjadi mati rasa, mereka yang menjadi korban, mereka yang sedang berjuang, dan mereka yang berhasil pulih dari traumanya.Â
Para penyintas yang mati rasa akan memiliki toleransi yang sangat rendah terhadap apa pun dan akan sedikit keterlibatan nya dalam membesarkan anak-anak mereka. Penyintas yang memposisikan dirinya sebagai korban akan selalu merasa takut, sulit menumbuhkan kepercayaan, dan rentan mengalami depresi.Â
Mereka yang sedang berjuang akan berfokus memulihkan dirinya dari trauma dengan membentuk tameng yang membuat mereka intoleran terhadap kelemahan dan rasa kasihan.Â
Terakhir, Â mereka yang berhasil pulih akan berusaha untuk meraih kesuksesan dalam aspek sosial-ekonomi dan akan cenderung menjauhi segala sesuatu yang berkaitan dengan trauma masa lalunya.
Selanjutnya anak-anak juga bisa menjadi penerima efek dari trauma antargenerasi. Seperti yang kita tahu, orang tua dan keluarga merupakan agen sosialisasi pertama atau primer bagi anak. Anak-anak akan meniru perilaku orang tua mereka.Â
Cara mereka menjalin hubungan dengan orang lain juga akan dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat dan rasakan dalam hubungan mereka dengan orang tua. Itulah mengapa, ikatan trauma pada orang tua dapat berimbas langsung pada anak.Â
Pengaruhnya dapat dilihat  pada  masa  dewasa. Anak yang diasuh dalam ikatan trauma akan memperlihatkan ketidakmampuannya untuk  mengembangkan  kemampuan coping yang efektif.Â
Kebanyakan  anak-anak  ini akan  menjadi  orang orang  dewasa  yang  rentan  terhadap  penyakit mental, tindakan kekerasan,  dan menunjukkan gejala-gejala lain nya,  hingga  akhirnya  mereka melakukan hal yang sama kepada anak mereka [7].Â
Dari sini, kita bisa mengetahui apakah ada keterlibatan trauma antargenerasi di dalam keluarga kita dengan memperhatikan ciri-cirinya, yaitu:
Sebuah keluarga tampak mati rasa secara emosional atau memiliki keraguan yang kuat untuk mendiskusikan perasaan satu sama lain;
Sebuah keluarga mungkin melihat diskusi tentang perasaan atau memperlihatkan kerentanan diri sebagai tanda kelemahan;
Orang tua dalam keluarga memiliki masalah kepercayaan dengan "orang luar" dan punya kecenderungan terus-menerus berkonflik;
Orang tua sering tampak cemas dan terlalu protektif terhadap anak-anak atau anggota keluarga mereka, bahkan ketika tidak ada ancaman bahaya;
Sebuah keluarga memiliki batas-batas hubungan yang tidak sehat dan keluarga secara tidak sadar mempelajari perilaku bertahan hidup yang tidak sehat. [8]Â
Gunting Pemutus Ikatan Trauma ada di Tangan Kita
Rantai ikatan trauma akan terus bersambung hingga generasi-generasi berikutnya jika tidak ada upaya untuk memutusnya. Kunci utama dalam pencegahan transmisi trauma adalah dengan "menyelesaikan trauma parental" dan "memperbaiki ikatan orangtua dan anak" [9]. Upaya ini bisa kita mulai dari diri kita sendiri.
Di sinilah kita juga bisa melihat pentingnya peran kesadaran kesehatan mental. Dengan adanya kesadaran kesehatan mental, kita dapat mengetahui dan berusaha memperbaiki gangguan kesehatan mental yang kita miliki agar transmisi gangguan mental tersebut tidak terjadi pada generasi selanjutnya.Â
Kemudian, mempelajari ilmu parenting juga tidak kalah penting, sehingga kita bisa membangun jembatan yang kuat antar hubungan orang tua dan anak.
Selanjutnya, Elizabeth Dixon, pekerja sosial klinis berlisensi dan peneliti dari Universitas South Carolina, membagikan beberapa cara untuk bisa memutus rantai generational trauma, yaitu:
Membangun hubungan komunikasi yang transparan dengan orang tua tentag pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka menyelesaikan masalah-masalahnya di masa lalu.
Perhatikan pola, sikap, atau narasi apa pun yang tertanam di keluargamu yang sering muncul ketika sedang membicarakan keluarga.
Jika intergenerational trauma teridentifikasi dalam keluarga, bicaralah mengenai hal ini dengan teman, anggota keluarga, atau terapis yang tepercaya dan pertimbangkan cara alternatif untuk mengatasi atau berkomunikasi tentangnya.
Tumbuhkan rasa empati dan kasih sayang untuk keluarga kamu dan perjuangan yang mereka alami.
Menumbuhkan kepekaan dalam keluarga dan menciptakan lingkungan keluarga yang saling mendukung. [10]
Memutus rantai trauma tentu bukan perkara yang mudah. Namun, tentunya bisa dimulai dengan langkah kecil seperti menghadirkan kasih sayang dan kehangatan dalam keluarga. Mari putuskan rantai tersebut untuk menciptakan generasi masa depan yang lebih baik.
REFERENSI
[1] "Inter-generational Trauma: 6 Ways It Affects Families | Office for Institutional Equity." OIE, Duke, https://oie.duke.edu/inter-generational-trauma-6-ways-it-affects-families. Accessed 4 January 2023.
[2] Boland, Matthew, et al. "Intergenerational Trauma: How It Affects Families." Psych Central, https://psychcentral.com/lib/how-intergenerational-trauma-impacts-families. Accessed 5 January 2023.
[3] Mawarni, Nadia Lutfiana. "Belajar dari film Encanto: Apa itu trauma antargenerasi." Alinea.ID, 25 March 2022, https://www.alinea.id/gaya-hidup/belajar-dari-film-encanto-apa-itu-trauma-antargenerasi-b2fgK9Ckk. Accessed 9 January 2023.
[4] Das, Jyoti. "Intergenerational Trauma: Representation Around The Globe And Effects." LinkedIn, 29 July 2021, https://www.linkedin.com/pulse/intergenerational-trauma-representation-around-globe-effects-das. Accessed 4 January 2023.
[5] Furness, Trentham Furness, et al. "Preventing intergenerational trauma transmission: A critical interpretive synthesis." 2018. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/jocn.14735.
[6] "Intergenerational Trauma." Jennifer Nurick, 5 June 2020, https://jennynurick.com/intergenerational-trauma/. Accessed 9 January 2023.
[7] Franco, Fabiana. "Understanding Intergenerational Trauma: An Introduction for Clinicians." GoodTherapy, 8 January 2021, https://www.goodtherapy.org/blog/Understanding_Intergenerational_Trauma. Accessed 9 January 2023.
[8] Tungari, Karina. "Generation Trauma: Ketika Orang Tuamu Mewariskan Trauma." Magdalene, 22 February 2022, https://magdalene.co/story/ketika-kita-diwariskan-trauma-dan-bagaimana-mengatasinya. Accessed 9 January 2023.
[9] Furness, Trentham Furness, et al. "Preventing intergenerational trauma transmission: A critical interpretive synthesis." 2018. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/jocn.14735.
[10] Tungari, Karina. "Generation Trauma: Ketika Orang Tuamu Mewariskan Trauma." Magdalene, 22 February 2022, https://magdalene.co/story/ketika-kita-diwariskan-trauma-dan-bagaimana-mengatasinya. Accessed 9 January 2023.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI