Strategi sentimen agama tersebut menyebabkan Ahok tersangkut masalah dugaan penistaan agama dan menyebabkan masyarakat muslim di Indonesia menggelar unjuk rasa serta menyerukan agar Gubernur Jakarta, Basuki Tjahja ditangkap.
Disisi lain, hal ini membawa dampak positif terhadap Anies Baswedan, seorang kandidat yang didukung oleh banyak kelompok garis keras dan koalisi paratai-partai oposisi yang terdiri dari Gerindra (Prabowo Subianto) dan Partai Keadilan dan Sejahtera Islam (PKS). sehingga hal ini menjadi salah satu faktor kemenangan dari Anies Baswedan.
Kejadian tersebut menimbulkan kekhawatiran pada kita karena ternyata kelompok garis keras ini telah masuk ke dalam politik arus utama. Kelompok ini tidak lagi menjadi elemen pinggiran terhadap pemerintahan Presiden Jokowi dengan menggunakan kebencian dan pesan yang berapi-api tentang radikalisme agama.
Kelompok tersebut sekarang sudah menemukan sekutunya yaitu Prabowo Subianto, calon kredibel yang mungkin menjadi pesaing Jokowi pada pemilihan di tahun 2019. Â
Namun kasus tersebut tidak membuat Presiden Jokowi mundur. Hal ini dibuktikan langsung setelah Ahok dijatuhkan pada bulan Mei, Jokowi mengubah peraturan tentang organisasi-organisasi massa, yang membuat pemerintah lebih mudah untuk melarang kelompok yang dianggap menentang ideologi negara Pancasila dan UUD 1945 yang melindungi keanekaragaman etnoreligius.
Pemerintah juga mencabut izin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang merupakan sebuah kelompok Islam yang memiliki tujuan mendirikan sebuah kekhalifahan. Tidak hanya itu, Jokowi juga secara efektif mengerahkan pasukannya sendiri yang didukung kuat oleh organisasi muslim moderan terbesar di Indonesia, Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Namun, dengan tindakan pemerintah yang seperti itu, ternyata beberapa masyarakat berpendapat bahwa Jokowi telah melapaui batas. Meskipun larangan HTI disambut baik oleh masyarakat, ada kekhawatiran yang timbul di masyarakat jika pemerintah dapat membuat peraturan baru untuk meredam kelompok masyarakat sipil yang dianggap tidak bersahabat terhadap pemerintah.
Terlebih lagi, rencana Jokowi untuk menanamkan kembali Pancasila di sekolah juga telah dilihat oleh sebagian orang sebagai harking kembali ke rezim orde baru.
Dengan segala dinamikanya, langkah yang diambil oleh Jokowi untuk membendung gelombang pasang sentimen garis keras dan membatasi kemampuan kekuatan politik lawan dalam memanfaatkan sentimen tersebut telah memperkuat posisi Jokowi untuk pemilihan 2019 yang akan datang.
Selain bentuk pencegahan yang dilakukan oleh Jokowi untuk mempertahankan posisinya pada pemilu 2019, ia juga memantau suara masyarakat sementara dengan memperhatikan survei yang dilakukan oleh Alvara Research Centre yang berbasis di Jakarta pada Oktober 2017 dan menampilkan bahwa 29% dari 4.200 responden pelajar SMA dan Mahasiswa Muslim tidak akan mendukung pemimpin non-muslim jika mereka terpilih.
Sekitar 22% dalam survei yang sama mengatakan bahwa mereka mendukung pendirian peraturan pemerintah berdasarkan Syariah agama, sementara hampir 20% mendukung pembentukan khalifah Islam di Indonesia.