Presiden Soeharto sebagai Presiden ke-2 RI, berkuasa selama 32 tahun, sejak  1967-1998, ternyata baru menetapkan HGN, 4 tahun sebelum lengser.
Pertanyaannya, ke mana saja Presiden Soekarno selama kurang lebih 22 tahun menjabat sebagai Presiden RI ke-1, (1945-1967)? Selama 22 tahun apa betul tidak tergerak hati memikirkan nasib guru? Bahkan Soeharto pun ikutan meneruskan estafet tidak memikirkan nasib guru, lebih dari 28 tahun selama berkuasa?
79 tahun usia Indonesia, 79 tahun pula PGRI sudah lahir. Tetapi, keberadaan guru selama 49 tahun tidak berharga dan tidak dihargai. Entah kesadaran apa yang membuat Presiden Soeharto baru menetapkan HGN pada tahun 1994.
Kini, setelah dihargai, baru 30 tahun, apa yang terus terjadi dan apa yang terus melilit guru? Benang kusut menyoal guru tidak pernah tuntas terurai. Bahkan, saat ini, masih terus terjadi hal ironis menimpa guru karena masih ada kejadian pengancaman, bahkan perlawanan dari siswa terhadap guru yang mendidik mereka. Orang tua siswa pun ikutan bertingkah seperti siswa, gagal mengajar (mendidik) anaknya di rumah, saat di sekolah, anaknya tidak dapat dijinakan oleh guru, lalu terjadi berbagai peristiwa, orang tua pun mempermasalahkan hingga mempolisikan guru.
Sementara kondisi guru pun terus berkutat pada lemahnya kompetensi guru dan standar guru yang seharusnya memenuhi kriteria. Lebih miris, demi guru-guru mendapatkan selembar sertifikasi guru, ada program sertifikasi guru yang disesuaukan kebutuhan dan zaman, hingga hasilnya, guru yang tersertifikasi itu, apa sesuai harapan dan kebutuhan?
Ujung tombak pendidikan
Mengapa pendidikan Indonesia terus tercecer dan tidak pernah lepas dari benang kusut? Jawaban yang pasti adalah karena ujung tombak pendidikan di Indonesia, yang bernama guru dalam arti sebenarnya sesuai KBBI, kurang diperhatikan dan ditangani dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah.
Menyoal guru di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan standar dan kompetensi, sudah ratusan artikel saya tulis di berbagai media cetak dan online. Tetapi hingga detik ini, menjadi guru, tetap menjadi profesi/pekerjaan yang levelnya "rendah".
Terlebih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, juga membuat makna guru menjadi menyempit, yaitu orang yang mengajar. Dengan demikian, orang-orang yang profesinya mengajar disebut guru. Baik itu guru di sekolah maupun di tempat lain. Dalam bahasa inggris guru disebut juga teacher yang artinya pengajar.
Kembali ke tema HGN 2024, saya kembali bertanya, benarkah tema HGN dibuat dengan proses yang matang? Tidak instan? Apalagi untuk sekadar gaya-gaya-an?
Yakin, si pembuat tema paham terhadap persoalan guru? Paham makna hebat dan kuat? Coba baca ulang!