Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(14/2/2024), Hati Nurani Terdidik: Retrospektif dan Prospektif

13 Februari 2024   10:30 Diperbarui: 13 Februari 2024   11:11 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Lolly Suhenty anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengungkapkan, pihaknya menemukan 355 pelanggaran konten internet selama masa kampanye Pemilu 2024, yaitu 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.

"Kategorinya ada tiga hal. Pertama, adalah soal ujaran kebencian. Kedua, adalah soal berita bohong. Dan soal politisasi suku, ras, agama," kata Lolly seperti dilansir oleh berbagai media pada Senin malam (12/2/2024). Disiarkan pula dalam pemberitaan televisi Selasa pagi (13/2/2024).

Bila Bawaslu menyatakan menemukan hanya 355 pelanggaran, yang juga hanya terkait pada tiga katogori. Lalu, di kategori lain, apa Bawaslu tidak menemukan?  Lalu, mengapa Bawaslu tidak merilis, berapa banyak menerima laporan pelanggaran di luar konten internet?

Terlepas masalah pelanggaran dan kecurangan dalam proses Pemilu 2024, yang dilakukan oleh pihak tertentu secara tersistem, terstruktur, dan masif, serta menabrak tatanan moral dan etika, nyatanya tetap dapat mengantar para pelanggar, terutama paslon Capres-Cawapres hingga ke depan Pintu Gerbang Pencoblosan (PGP) pada Rabu (14/2/2024).

Selasa pagi (13/2/2024), saat saya membaca berita di berbagai media dan menonton televisi, terkait persiapan pencoblosan ini, berbagai pihak yang "waras" hanya dapat pasrah dan mengingatkan, agar rakyat dapat mencoblos Capres-Cawapres, sesuai hati nuraninya.

Hati nurani, adalah dua kata klise, yang mau tidak mau, dijadikan sandaran, sekadar untuk menghibur diri, bagi manusia-manusia yang dapat menempatkan dirinya sebagai pribadi yang cerdas otak dan cerdas hati, sebab pada praktiknya, memang hati nurani setiap rakyatlah yang akan menentukan mereka mencoblos Capres-Cawapres, termasuk Caleg yang mana.

Seberapa besar hati nurani rakyat yang diskenario tetap bodoh, miskin, dan menderita, disentuh oleh pihak yang licik dan menghalalkan segala cara, di situlah hati nurani rakyat berbicara.

Namun, bagi rakyat jelata yang selama ini telah diskenario untuk tetap hidup bodoh, miskin, dan menderita, alam kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan yang konsisten, hati nuraninya tentu akan sangat tersentuh untuk berterima kasih dan membalas budi, kepada pihak yang telah "membantu meringankan" hidupnya. Semisal sekadar uang recehan dan sembako yang tidak seberapa, dan itu juga dari uang mereka, maka rakyat tidak akan sadar.

Di dalam hati nuraninya, rakyat akan tetap berpikir dan bertindak, berterima kasih dan membalas budi kepada pihak yang sudah memberi uang recehan dan sembako yang hanya dimakan kelurganya untuk 1 hari/2 hari atau paling lama 1 minggu dengan mencoblos mereka.

Rakyat jelata tidak berpikir, minggu-minggu berikutnya hingga 5 tahun periode kepeminpinan akan terus dibikin bodoh, miskin, dan menderita oleh pihak yang telah dipilih.

Jadi, hati nurani rakyat cukup dicolek di masa pemilu, demi dapat suara. Sesudahnya, dibikin bodoh, miskin, dan menderita lagi, agar saat pemilu tiba lagi, hati nuraninya bisa disentuh lagi dengan "murah" pula.

Hati nurani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun