Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tahu Diri, Hidup Tak Bisa Sendiri

2 Februari 2020   22:26 Diperbarui: 3 Februari 2020   06:33 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup tidak bisa sendiri. Setiap tangga kesuksesan dan keberhasilan pasti ada pihak lain yang terlibat. Maka, sekadar berkabarlah sudah cukup membahagiakan dan doa akan terus mengiringi. (Supartono JW.02022020) 

Bicara balas budi, tentu cara-cara para pemimpin bangsa atau para elite partai politik dengan rakyat biasa tidak akan sama. 

Terkini, para pemimpin bangsa, terutama Presiden dan kabinetnya, sedang menunjukkan drama balas budi yang dapat dilihat dan ditonton rakyat. 

Balas budi kepada para partai koalisi dan pendukungnya tentu dengan cara  yang murah dan tanpa harus susah-susah, karena sedang memegang tampuk kekuasaan, maka tinggal bagi-bagi kursi dan jabatan gratis dengan gaji dan tunjangan fantastis dari uang rakyat, mumpung hidup sedang di awang dan terbang, tidak membumi. 

Sementara, rakyat biasa tak mungkin dapat melakukan hal seperti itu, karena tetap berpijak di tanah, tak dapat terbang dan mengawang. 

Pengalaman pribadi 

Untuk itu, dalam kesempatan ini, saya coba mengungkap persoalan balas budi untuk kalangan rakyat biasa saja. 

Menyoal balas budi ini, mungkin sedikit pengalaman saya pribadi bisa sebagai deskripsi. 

Sepanjang hidup saya, alhamdulillah, selain memohon dan senantiasa berdoa kepada Allah, selain orang tua dan saudara yang berperan utama, di ingatan saya masih terpatri siapa sosok yang sejak saya memasuki dunia pendidikan, olahraga, dan seni, benar-benar menjadi teladan saya dan wajib menjadi tempat saya membalas budi. 

Bila harus menyebut sosok-sosok itu misalnya, maka tak akan lepas dari memori saya Ibu Las (Guru TK), Bapak Mustam dan Bapak Jamiran (Guru SD), Bapak Syukur (guru SMP), Bapak Sunarto (guru SMA sekaligus pelatih bola), Bapak J.D. Parera (Dosen S1), Bapak Sumardi (Dosen S2), N. Riantiarno (Suhu Teater Koma), Ronny Pattinasarany (pembimbing dan panutan sepak bola). 

Karenanya untuk mereka itulah, saya coba abadikan ungkapan terima kasih itu dalam sebuah lagu, yang hanya direkam sederhana dan sudah saya upload dalam youtube supartonojw. 

Ku Tahu Diri (by Supartono JW 14042019) 

Tak akan terlupakan siapa saja orang. Yang telah mengantarku hingga sampai di sini. 

Meski ku tahu pasti Mereka tak pernah. Berpikir tentang balas budi. Sebab mereka orang-orang yang selalu berpikir untuk berbagi. Sebab mereka orang-orang yang tahu bahwa hidup tak bisa sendiri 

Reff. Bersyukurnya aku pernah bertemu. Dengan mereka yang telah berbagi ilmu. Bahagianya aku pernah menjadi bagaian dalam catatan hidup mereka. 

Dengan lagu itu, saya terus terbayang bagaimana sosok-sosok itu hadir dan menjadi bagian hidup saya. 

Paradigma balas budi 

Sebenarnya siapa yang pernah membuat aturan bila hidup harus "saling berbalas budi?" Bila semua kehidupan berjalan sesuai dengan aturan, etika, tata krama, maka budaya berpikir tentang balas budi mungkin tidak akan ada.

Kesadaran dan fakta bahwa setiap manusia yang hidup di dunia, tentu tidak akan dapat hidup sendiri. Pasti butuh dukungan, bantuan, pertolongan, bimbingan, didikan dan lain sebagainya dari manusia lain. 

Mulai dari lingkungan terkecil, yaitu di dalam keluarga, saudara, rukun tetangga, rukun warga, hingga di semua lingkungan tempat manusia bersosialisasi. 

Mengapa kata balas budi akhirnya muncul, karena saat seseorang belum mampu berdiri di atas kaki sendiri, sebelum kehidupannya berhasil dan sukses, maka dukungan, bantuan, pertolongan, bimbingan, didikan, dan lain sebagainya dari orang tua, saudara, kerabat, teman, sahabat, guru, dosen, dll tak dapat langsung dibalas tuntas. 

Karena itulah, setiap manusia akhirnya akan merasa berhutang budi pada pihak lain yang telah membuatnya menjadi sukses dan berhasil. 

Namun, banyak pula manusia yang sampai tidak dapat mewujudkan balas budinya, karena kehidupannya pun belum berhasil dan sukses. 

Sehingga, banyak orang berpikir bahwa, balas budi itu harus menunggu sampai kehidupannya berhasil dan sukses. 

Inilah paradigma yang salah. Padahal, akar dari balas budi itu ada pada kata "terima kasih". 

Berterima kasih, bersilaturahmi 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terima kasih bermakna rasa syukur. Sementara arti berterima kasih adalah mengucap syukur, melahirkan rasa syukur atau membalas budi setelah menerima kebaikan dan sebagainya. 

Jadi, bagi setiap orang, untuk membalas budi atas dukungan, bantuan, pertolongan, bimbingan, didikan, dan lain sebagainya dari orang tua, saudara, kerabat, teman, sahabat, guru, dosen, dll, tak harus menunggu memiliki kecukupan materi. 

Namun cukup berterima kasih. Selain dengan berterima kasih, agar dukungan, bantuan, pertolongan, bimbingan, didikan, dan lain sebagainya dari orang tua, saudara, kerabat, teman, sahabat, guru, dosen, dll dapat terus bermakna meski mereka semua tidak berharap ada balas budi, maka tetaplah menjalin tali silaturahmi. 

Sesuai KBBI, silaturahmi adalah tali persahabatan (persaudaraan) dan bersilaturahmi bermakna mengikat tali persahabatan (persaudaraan). 

Sehingga siapapun yang pernah mendukung, membantu, memberi pertolongan, bimbingan, didikan, dan lain sebagainya apakah itu orang tua, saudara, kerabat, teman, sahabat, guru, dosen, dll, tentu bila kita selalu menjadi orang yang tahu diri, maka kata terima kasih dan berterima kasih tak akan pernah jauh dari hidup kita. 

Berikutnya, agar balasan kepada orang-orang yang telah mendukung kita yang bisa jadi tak dapat diukur oleh materi, maka silaturahmi dan bersilaturahmi akan menjadi pelangkapnya. 

Betapa bahagianya orang-orang yang telah membantu memberikan dukungan, bantuan, pertolongan, bimbingan, didikan, dan lain sebagainya seperti orang tua, saudara, kerabat, teman, sahabat, guru, dosen, dll bila sekadar dibalas oleh ucapan berterima kasih dan adanya jalinan silaturahmi dan bersilaturahmi secara konsisten selama masih hidup di dunia. Itu lebih dari cukup. 

Tak tahu diri, lupa diri 

Sayangnya, yang terjadi kini, banyak sekali manusia-manusia yang lupa diri, tak tahu diri, sombong, pongah. Lupa kacang akan kulitnya. Jangankan silaturahmi dan bersilaturahmi, mengucapkan terima kasih atau berterima kasih saja tidak. 

Apalagi harus memberikan sedikit materi atau hartanya. Padahal tanpa dukungan, bantuan, pertolongan, bimbingan, didikan, dan lain sebagainya dari orang tua, saudara, kerabat, teman, sahabat, guru, dosen, dll, orang-orang semacam ini tak akan jadi apa-apa, tak akan jadi siapa-siapa. 

Menghalalkan segala cara 

Untuk membalas budi, juga tak perlu menghalalkan segala cara. Tak perlu mengorbankan orang lain, Tak perlu menciderai hati dan perasaan orang lain. Tak perlu menghalalkan segala cara, seperti yang kini sedang dipertontonkan oleh para pemimpin bangsa. 

Sebab, balas budi itu tidak harus menunggu kita menjadi kaya harta dan materi. Tak harus menunggu kita sukses dan berhasil. Dengan mengucap terima kasih, berterima kasih, silaturahmi dan bersilaturhami yang terjalin baik, maka tidak akan ada yang merasa hutang budi, karena siapapun yang telah  mendukung, membantu, memberi pertolongan, bimbingan, didikan, dan lain sebagainya kepada kita, sejatinya tidak berharap lebih. 

Yakin mereka itu ikhlas melakukan semuanya karena ridho Nya, demi kebaikan dan keberhasilan kita. Meski tak terucap, mereka juga selalu berharap agar kita menjadi orang-orang yang tahu diri, karena pasti, hidup tak bisa sendiri. 

Ridho, rela. Mencari Ridho Allah artinya mencari apa yang membuat Allah rela pada kita. Maka, seorang yang memiliki prinsip hidup mencari ridho Allah adalah mereka yang menuhankan Allah sekaligus memiliki prinsip Lailahaillallah.

Terima kasih ya, Allah. Terima kasih semua "guruku".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun