Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Purnama Kapat di Jakarta

15 Oktober 2019   01:43 Diperbarui: 16 Oktober 2019   17:08 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta tertutup mendung. Usai dari berolah raga di GBK, Galuh dan Kumara memilih tidak langsung pulang. 

"Ngopi aja", usul Galuh, "Blok M aja ya.. Filkop!"

"Tidak terlalu sehat untuk orang yang niat diet dan sudah jalan kaki beberapa putaran di GBK sih, sebenernya. Tapi ya gak papa ...." sahut Kumara. "Soalnya kamu pasti jajan cake coklat kesukaanmu itu. Kopinya affogato. Es krim dan lelehan coklatnya yang tebel itu lho.. belum lagi kentang gorengnya. Galuh Madhudaka, kenapa kamu tuh jadi orang selalu kontradiktif beginiiiiii....?" 

Galuh terbahak menyimak reaksi sahabatnya yang hitam manis bermata bola dan berrambut cepak dengan ekstra poni menutupi dahi. Galuh masih ingat, suatu kali Kumara bilang, gaya potongan rambutnya tuh nyontek Sheila Roosewithaputri, idola gadis jangkung itu di dunia sketching.

Tak urung, Kumara bertanya, "Jadi kemana kita?"
Dan Galuh semakin terbahak sambil menjawab panjang, "Filkoooooppp...!"

Nggak sampai seperempat jam, mereka sudah sampai di tempat ngopi itu. Senin, tapi penuh. Mereka akhirnya memarkirkan pantat di kursi seng di teras. 

Angin berhembus pelan. Jakarta mendung. Awan-awan rendah seperti menjadi tabir atas sinar bulan yang malam ini bulat penuh. 

Kumara benar. Galuh memesan affogato plain tanpa tambahan alpukat maupun durian. Seiris cake coklat dengan balutan coklatnya setebal bantal. Setumpuk gengsi mengalahkan keinginan Galuh untuk memesan kentang goreng. Kumara justru yang memesannya. Gadis berhidung mancung ini memesan capuccino sebagai teman gorengan yang diwadahi apik dalam tempat berbentuk seperti ember kecil berwarna perak kelabu.

"Bagus kita dapat tempat di luar gini", ujar Kumara. 

"Kenapa tuh, Ra?"

"Hari ini, Purnama Kapat. Disebut juga Kartika. Saat Kartika ini, matahari di garis khatulistiwa. Posisi matahari pas di ubun-ubun. Titik nol. Titik nol ini disebut juga Sunya atau Niskala."

"Sunya? Aku suka nama itu. Sunya. Suwung. Zero. Kedengarannya menyejukkan. Damai.", Galuh menimpali Kumara sambil menyendok es krim yang mengapung di atas espresso pada gelas affogatonya.

Kumara mengangguk sekilas. 

"Purnama Kapat, juga pas waktunya musim semi, saat bunga-bunga bermekaran."

"Oooohhh... pantas! Rumputan Lily-ku cantik banget pagi ini. Bunga-bunganya mekar. Padahal Agustus-September lalu kayak udah mati kekeringan.."

"Itu sih karena kamu malas menyiram tanaman aja. Jangan suka gitu atuh, Nyit. Kasian taneman-nya. .." Kumara, sudah mengenal Galuh sejak mereka sama-sama kuliah di Undip. Kunyit. Itu nama panggilan Galuh di kos-kosan di Jalan Pleburan Raya. Dan Kumara hafal sekali kebiasan Galuh yang pembosan. Termasuk pada kegiatan berkebun. 

Galuh nyengir. 

"Jadi kita keren dong Ra, pas Purnama Kapat, pas enggak hujan, pas bisa berada di luaran gini, langsung mandi cahaya bulan" ujar Galuh mengalihkan perhatian Kumara. Galuh tahu banget, Kumara ini sangat mencintai tanaman.

Suka banget terlibat di kegiatan yang berhubungan dengan menanam pohon, membuat kompos, konservasi alam, sangat mengagumi tokoh perkopian Indonesia bernama Eko Purnomo Widhi yang kuat pada konsep menjaga keseimbangan alam untuk perkebunan kopi, dan Kumara bahkan ikutan group komunitas "Talk to the tree". Beberapa kali Kumara ikut kegiatan penanaman bakau di beberapa pesisir pantai Pulau Jawa. Jadi, begitu tahu Galuh melakukan kesalahan tentang tanaman, bakal tidak ampun ia menerima omelan. Bisa hilang mood kalau Galuh dengar ocehan Kumara bernada omelan.

"Ya mustinya sih, kita tuh duduk diem, hening. Dengerin suara alam. Kontemplasi ke dalam diri. Bukannya nyemil kentang goreng gini.." Jawab Kumara sambil mencomot sebatang kentang goreng, mencolekkannya ke saos sambal berwarna oranye di tempat plastik putih susu yang sangat mungil berdiameter sebesar uang perak pecahan Rp 1.000,- yang bergambar angklung itu.

"Tapi ya nggak papa lah, Ra. Toh kita juga enggak 'ghibah'. Kita kan lagi ngobrolin tentang bulan purnama. Apa tadi namanya? Purnama Kapat. Purnama ke empat. Gitu kan ya?"

Kumara mengangguk mengiyakan.

"Tuhan kan Maha Energi. Dan Beliau Maha Pemurah, Maha Penyayang. Beliau pasti memberikan energinya untuk ciptaan-Nya. Termasuk benda langit. Termasuk bulan. Energi cahaya bulan, di Purnama Kapat ini punya vibrasi yang lembut untuk jiwa. Energi bulan menjadi penyeimbang dari energi matahari. Kata Eyang Putri dulu, cahaya bulan tuh selain bisa membuat jiwa lebih halus, energi bulan juga membuat awet muda."

"Beneran Ra? Kalau gitu bagus dong kalau sering-sering berjemur di bawah cahaya purnama? Emang sih ya, bawaannya kan happy dan  teduh, kalau di bawah cahaya bulan purnama.."

"Betul banget tuh, Nyit. Pada Purnama Kapat, cahaya dan energi bulan sangat besar. Terutama di Indonesia yang letak geografisnya di ekuator. Soalnya, posisi matahari berada pas di khatulistiwa. Jadi, pantulan cahaya matahari dari bulan sampai ke bumi sangat tinggi. Gravitasi pas saat Purnama Kapat juga sangat bagus."

Galuh memejamkan matanya. 

"Kenapa meremm ..?"

"Lagi bayangin bunga-bunga Lily-ku di halaman depan, Ra. Mereka memang tidak seperti manusia yang diberi akal pikiran, yang bisa menghitung secara matematis dan presisi tentang pembagian kala. Tapi mereka dikaruniai Tuhan naluri untuk merasakan dan mengerti bahwa hari ini, malam ini, adalah waktunya Purnama Kapat. Jadi, aku bayangin tuh, mereka mekar, indah, berjemur cahaya bulan purnama, dan mengakses seluruh energi Purnama Kapat"

Kumara tertawa. Memandang Galuh yang sudah ia anggap seperti saudara perempuannya sendiri. 

"Kalau malam begini, rumputan Lily bunganya tidak mekar penuh, Nyit.. antara kuncup dan mekar gitu deh."

"Tapi kubayangin mereka, rumpun-rumpun itu, berdiri anggun, khidmat, dan hening berselaras dengan cahaya bulan"

"Iya gitu deh gambarannya. Mana tau juga kan kita, kalau sesungguhnya mereka sedang berdzikir. Atau bershalawat. Atau sedang mengirimkan blessings untuk sesama  makhluk hidup di alam semesta ini. Yang pasti, mereka tidak dipenuhi hasrat yang berlebihan. Mereka itu sak madya. Mengambil seperlunya, mengakses secukupnya. Sebatas yang dibutuhkan untuk keseimbangan dengan selalu 'mendengarkan' suara alam".

"Kita lagi 'ghibahin' bunga Lily dan rembulan nih dari tadi," celetuk Galuh.

Kumara tertawa. 

"Yaahh paling enggak, obrolan kita bisa jadi gantinya meditasi atau tafakur untuk mulai belajar mengenal diri kita sendiri sih. Moga-moga dengan mandi cahaya bulan di teras Filkop gini, kita bisa mulai belajar melembutkan karakter. Kan sifat bulan itu lembut. Jadi kita nantinya bisa memberikan kesejukan bagi makhluk lain. Paling enggak, tanaman yang kita tanam. Jangan cuman seneng lihat pas dia berbunga aja. Tanaman juga perlu disiram, dan diberi kasih sayang ....."

Galuh buru-buru meneguk air putih penawar kopi yang sedari tadi masih utuh. Menghilangkan rasa haus yang tiba-tiba muncul karena sindiran sahabatnya.

"Yaaaahhh... aku kena sindir lagi dehh.."

Dua sahabat itu tertawa. Awan mendung dari selepas Maghrib masih betah menyelimuti purnama. Angin menyibaknya terus menerus seperti tak rela cahaya Purnama Kapat tak menyinari Jakarta. Mungkin nanti di selepas tengah malam, awan-awan mendung tak lagi berlarian. Saat lingsir wengi, Purnama Kapat lebih leluasa menyapa bumi Jakarta.

Kramat Pela, 15 Safar 1953.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun