Kumara tertawa.Â
"Yaahh paling enggak, obrolan kita bisa jadi gantinya meditasi atau tafakur untuk mulai belajar mengenal diri kita sendiri sih. Moga-moga dengan mandi cahaya bulan di teras Filkop gini, kita bisa mulai belajar melembutkan karakter. Kan sifat bulan itu lembut. Jadi kita nantinya bisa memberikan kesejukan bagi makhluk lain. Paling enggak, tanaman yang kita tanam. Jangan cuman seneng lihat pas dia berbunga aja. Tanaman juga perlu disiram, dan diberi kasih sayang ....."
Galuh buru-buru meneguk air putih penawar kopi yang sedari tadi masih utuh. Menghilangkan rasa haus yang tiba-tiba muncul karena sindiran sahabatnya.
"Yaaaahhh... aku kena sindir lagi dehh.."
Dua sahabat itu tertawa. Awan mendung dari selepas Maghrib masih betah menyelimuti purnama. Angin menyibaknya terus menerus seperti tak rela cahaya Purnama Kapat tak menyinari Jakarta. Mungkin nanti di selepas tengah malam, awan-awan mendung tak lagi berlarian. Saat lingsir wengi, Purnama Kapat lebih leluasa menyapa bumi Jakarta.
Kramat Pela, 15 Safar 1953.