Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Purnama Kapat di Jakarta

15 Oktober 2019   01:43 Diperbarui: 16 Oktober 2019   17:08 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sunya? Aku suka nama itu. Sunya. Suwung. Zero. Kedengarannya menyejukkan. Damai.", Galuh menimpali Kumara sambil menyendok es krim yang mengapung di atas espresso pada gelas affogatonya.

Kumara mengangguk sekilas. 

"Purnama Kapat, juga pas waktunya musim semi, saat bunga-bunga bermekaran."

"Oooohhh... pantas! Rumputan Lily-ku cantik banget pagi ini. Bunga-bunganya mekar. Padahal Agustus-September lalu kayak udah mati kekeringan.."

"Itu sih karena kamu malas menyiram tanaman aja. Jangan suka gitu atuh, Nyit. Kasian taneman-nya. .." Kumara, sudah mengenal Galuh sejak mereka sama-sama kuliah di Undip. Kunyit. Itu nama panggilan Galuh di kos-kosan di Jalan Pleburan Raya. Dan Kumara hafal sekali kebiasan Galuh yang pembosan. Termasuk pada kegiatan berkebun. 

Galuh nyengir. 

"Jadi kita keren dong Ra, pas Purnama Kapat, pas enggak hujan, pas bisa berada di luaran gini, langsung mandi cahaya bulan" ujar Galuh mengalihkan perhatian Kumara. Galuh tahu banget, Kumara ini sangat mencintai tanaman.

Suka banget terlibat di kegiatan yang berhubungan dengan menanam pohon, membuat kompos, konservasi alam, sangat mengagumi tokoh perkopian Indonesia bernama Eko Purnomo Widhi yang kuat pada konsep menjaga keseimbangan alam untuk perkebunan kopi, dan Kumara bahkan ikutan group komunitas "Talk to the tree". Beberapa kali Kumara ikut kegiatan penanaman bakau di beberapa pesisir pantai Pulau Jawa. Jadi, begitu tahu Galuh melakukan kesalahan tentang tanaman, bakal tidak ampun ia menerima omelan. Bisa hilang mood kalau Galuh dengar ocehan Kumara bernada omelan.

"Ya mustinya sih, kita tuh duduk diem, hening. Dengerin suara alam. Kontemplasi ke dalam diri. Bukannya nyemil kentang goreng gini.." Jawab Kumara sambil mencomot sebatang kentang goreng, mencolekkannya ke saos sambal berwarna oranye di tempat plastik putih susu yang sangat mungil berdiameter sebesar uang perak pecahan Rp 1.000,- yang bergambar angklung itu.

"Tapi ya nggak papa lah, Ra. Toh kita juga enggak 'ghibah'. Kita kan lagi ngobrolin tentang bulan purnama. Apa tadi namanya? Purnama Kapat. Purnama ke empat. Gitu kan ya?"

Kumara mengangguk mengiyakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun