Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Prabangkara: Dahana Tanpa Asmara

5 September 2019   05:27 Diperbarui: 30 Maret 2020   12:15 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi, koleksi pribadi fotografer Uus Trie.

"Aku tahu sekarang"
Ujarmu.

Kamu menatapku dengan mata bintang kejora yang selalu kukagumi.

Kualihkan pandangku dari tali kekang kuda yang kuhela. Bedjo, nama kudaku. Ia berdiri diam di sampingku. Sedangkan kamu -gadis bermata bintang kejora itu- tepat di hadapanku. Wangi parfummu kenanga. Kulitmu seputih susu. Lehermu jenjang. Rambutmu kau ikat ke belakang. Anak-anak rambutmu halus melingkari lehermu yang menyangga kepala. Wajahmu tanpa riasan. Hanya lipstik warna nude di bibir. Wajah yang sangat Jawa. Rambut di tengah dahi membentuk ujung lancip. Kubayangkan bila kau kelak menjadi pengantin putri, paes hitam menutupi dahimu yang agak bidang. Berlekuk lengkung cembung hitam indah.

Namaku Satya. Aku bekerja di pantai ini sejak lama. Bekerja sama dengan Bedjo, aku menyewakan jasa berkuda untuk para wisatawan yang mengunjungi Pantai Selatan yang berpasir putih. Selain menyewakan kuda, aku juga menawarkan jasa live sketching dengan menggunakan pensil dan kertas Canson. Aku pemuda yang masih tertarik melajang. Sebuah kedai kopi sederhana kukelola untuk kehidupan sehari-hariku. Untung ada Rangga, sepupuku, yang mau menunggui kedaiku. Aku sendiri lebih senang bergerak ke sana ke mari di bawah sinar matahari, mencari penumpang untuk Bedjo. Dengan begitu aku jadi bisa ngobrol dengan orang-orang dan menambah teman baru. 

Orang-orang bilang aku memiliki wajah yang menarik. Enak dilihat. Warna kulitku kecoklatan. Aku lebih sering mengenakan atribut koboi saat jalan-jalan bersama Bedjo.  Seperti kamu, wajahku wajah Jawa. Itu kata orang-orang. Ya, karena memang kedua orang tuaku orang Jawa yang merantau di Tanah Sunda ini. Kami bukan penduduk asli. 

Sekitar dua minggu lalu aku berjumpa dan mengenal kamu. Di 'Kedai Kopi Badranaya', milikku, tak jauh dari pantai Karang Hawu. Sekarang aku mengenalmu sebagai wisatawan dalam negeri yang dua minggu ini mencari inspirasi dari aroma ganggang laut, natrium klorida, pasir laut, dan gelombang ombak Pantai Selatan untuk sebuah proyek korporasi yang meski telah kau jelaskan berkali-kali tetap saja aku tak paham. Dan aku tak mau berusaha untuk paham. Satu-satunya yang aku paham adalah kamu selama dua tahun ini -sebelum kita betulan bertemu di kedai kopiku- sudah datang di mimpiku. Beberapa kali tapi random. Dalam mimpi itu, kau terkadang datang bersama lelaki yang kau panggil "Kangmas". Namun rasaku mengabariku bahwa lelaki itu berjuluk Prabangkara.

Di mimpiku, kau berkain batik dan berkebaya. Prabangkara juga sama, berkain. Kadang memakai ikat kepala, kadang tidak. Kadang berblangkon. Mata bintang kejoramu menjadi satu ciri utamamu bagiku mengenalimu. Selain tahi lalat kecil di sudut bibir.

Seperti aku, kau punya kemampuan membuat sketsa dengan pensil hitam. Kamu selalu membuatku iri karena selain karakter sketsamu yang halus, Tuhan pun menganugerahkan padamu kemampuan menulis yang berjiwa, selain paras indah dan gesture yang anggun. Setiap puisimu kurasakan memiliki energi yang seringkali membuat merinding sisi belakang kepalaku. Aku tahu itu, karena saat pertama bertemu denganmu, aku tak sengaja menumpahkan kopi Gayo V60 pesananmu ke buku puisi karyamu yang tergeletak di atas meja. Kamu marah sekali saat itu. Aku takut setengah mati. 

"Nggak becus!" desismu. Menatap wajahku yang pias. Pias karena telah menumpahkan kopi pesananmu di buku puisimu. Dan pias karena aku mengenalimu sebagai Gusti Ayu yang beberapa kali hadir di mimpiku.

"Maafkan. Maafkan saya, Teh. Saya akan ganti pesanan Teteh dengan yang baru"

"Ya kalau itu, emang harus!" katamu. Sangat ketus.

"Tapi buku saya gimana? Kamu mau ganti juga?! Teledor amat sih." rentetmu, "Buku ini sangat berarti buat saya! Tinggal satu-satunya. Sekarang basah dan kotor kau tumpahi kopi!"

"Saya akan bantu mengeringkan dan bersihin buku Teteh ..."

"Nggak usah!!" sergahmu.

Matamu mendelik. Alismu bertaut. Sebentuk lekukan antara dua alis terlihat nyata. Bibirmu meruncing. Aku pasrah. Tak bisa lagi berkata-kata. Hanya diam menunduk di hadapanmu. Sebelum akhirnya tiba-tiba saja, mulutku terbuka dan mengucapkan kata-kata asing yang sering kudengar darimu di dalam mimpiku.

"Hastungkara. Svaha. Tathastu." Aku mengucapkannya perlahan. Cenderung seperti mengeja kata-kata. Kuulangi lagi. 

"Hastungkara. Svaha. Tathastu." Di mimpiku, kau sering mengucapkan tiga kata itu dengan suaramu yang lembut syahdu.

Dan terakhir kali, kuucapkan lagi.

"Hastungkara. Svaha. Tathastu."

Tiba-tiba bahumu yang tadinya menegang seakan dalam posisi hendak menerkamku perlahan menjadi tenang, diiringi hela napasmu yang berat.

Kamu duduk lagi di kursimu.  

"Nih! Keringkan bukuku!" Katamu sambil mengangsurkan bukumu kepadaku. "Pastikan tiap lembarnya kering dan tak ada noda kopi lagi sebercakpun." ujarmu tetap ketus, "Satu lagi. Kopi Gayo V60. Dua. Free. Sebagai ganti kopiku yang kau tumpahkan." 

Bukumu menginap di Badranaya beberapa hari. Kau, terpaksa ke Badranaya setiap hari. Hari pertama wajahmu masih jutek. Hari kedua 80% jutek. Hari ketiga 70% jutek, dan seterusnya, hingga akhirnya buku puisimu benar-benar pulih meskipun tidak seperti sedia kala. Setidaknya kau sudah memaafkanku.  

Sejak itu kita berteman baik. Iya, Kita. Kita bertiga, tepatnya. Kamu, Bedjo dan aku. Kita sering berjalan bertiga menyusuri pasir putih sepanjang pantai pelataran Grand Inna Samudra Beach Hotel. Jika kebetulan aku dapat pelanggan untuk berkuda, kau dengan setia menungguiku, dan menyibukkan diri dengan membuat sketsa atau menulis. Atau mencoba-coba melukis dengan cat air. Ah, tentang 'kau dengan setia menungguiku' kurasa hanya perasaan GR ku saja.

Kita berteman baik karena alasan yang unik. Sebuah mantra terdiri dari tiga kata. Hastungkara. Swaha. Tathastu. Rupanya itu adalah kata-kata yang kau sebut sebagai 'nggak tau kenapa tapi sangat ku sukai'. Makanya seringkali dalam mimpiku, kau mengucapkan kata-kata itu. Di mimpi itu, tak jelas benar untuk apa kau ucapkan kata-kata itu. Tiga kata itu seperti password bagiku untuk bisa menjadi temanmu. Kau bahkan bisa bercerita apa saja tentang dirimu termasuk tentang Prabangkara. Pria yang sudah lama menjadi sahabatmu sejak masa kuliah dulu. Katamu ia sahabatmu. Tapi aku dan seluruh semesta alam Pantai Selatan ini lebih setuju bila Prabangkara adalah kekasihmu.

"Satya.."

Panggilmu.
Kau menggugah lamunanku.

"Inggih, Gusti Ayu"
Sambarku dengan senyuman.

Matamu mendelik. Kau selalu protes bila aku memanggilmu Gusti.

"Aku tahu sekarang, mengapa saya harus menjaga Kangmas"

"Jadi, apa?"

"Kau tahu tembang Asmaradana?"

"Ya. Tembang macapat itu, kan?"

Aku menuntun Bedjo yang sudah bosan diam. Ia ingin diajak melangkah lagi, berjalan. Pantai Pelabuhan Ratu pagi ini penuh halimun. Meskipun matahari murah sekali menebarkan cahayanya. Kamu mengikutiku berjalan. Tetapi memilih berjalan disamping Bedjo. Tidak disampingku.

Kulihat sekilas, kau mengangguk.

Aku memperbaiki topi koboiku.

"Saya lebih suka menyebutnya sebagai Asmara Dahana, Gusti. Karena dengan menyebutnya begitu, lebih bermakna buat saya. Asmara adalah cinta. Dahana adalah api. Api cinta. Sebuah nyala yang abadi. Bukankah begitu, Gusti Ayu?"

Kau memandangku dengan matamu yang kelam. Bagiku kau tetap cantik dan anggun. Kita berjalan semakin menjauhi pasir putih pelataran Samudera Beach Hotel. Beberapa meter ke depan adalah situs Batu Karut. Bebatuan mulai bermunculan di tepian pantai. Ombak berdebur-debur. Hantamannya terkadang lembut, terkadang sekencang degup jantungku saat tatap mataku bertemu tatap matamu. Meskipun aku sadar degup itu tak kau rasakan. Sama sekali.

"Iya, Satya. Energi cinta lah yang membuat seluruh kehadiran di semesta ini."

"Jadi, Gusti Ayu sudah tahu sekarang mengapa Gusti harus menjaga Prabangkara?"

Ia menghentikan langkah. Bedjo tidak. Buru-buru kuminta Bedjo berhenti. Batu Karut tinggal 5 meter di hadapan kami. Menurut perasaanku, Batu Karut pagi ini sungguh terasa berbeda. Seperti diselubungi ion-ion nitrogen yang menggandeng aroma kesedihan di setiap rantainya. Seakan-akan pohon-pohon menunduk sedih. Daunnya pun enggan bergerak meski angin sepoi-sepoi menerpa.

"Kata kuncinya adalah 'dahana', Satya."

"Hmmm... jadi, Gusti harus menjaga Sang Api"

"Iya"

"Dahana jangan sampai padam," tebakku.

Kau mengangguk. Dan tersenyum.

"Benar, Satya. Aku harus menjaga dahana agar tetap menyala. Tidak boleh padam. Dan ini sebenarnya tidak tentang menjaga seseorang. Ini lebih dari itu."

Aku memicingkan mata. Kamu mengangguk sekali lagi.

Tiba-tiba dari belakang aku mendengar suara derap kaki kuda. Otomatis leherku memutar mencari sumber suara.

"Prabangkara," desisku dalam hati. Aku menjadi waspada.

Pria ini jauh lebih indah wujud nyatanya daripada yang kulihat di mimpi-mimpiku. Tentu saja tanpa kain batik bermotif Parang Kusumo dan ikat kepala. Saat Prabangkara mengulurkan tangannya menjabat tanganku, belakang kepalaku berdenyut hebat. Lesung pipit muncul di pipi kirinya saat ia tersenyum ke arahku. Dengan jins dan kaos, serta sisiran rambut fresh seperti itu Prabangkara hadir dengan keramahan yang maksimal. Hangat dan akrab.

Kusaksikan Prabangkara memelukmu sekilas begitu ia tadi turun dari kuda. Kalian bersentuhan pipi. Mata bintang kejoramu semakin indah saat pertemuanmu dengan Prabangkara. Aku iri. Senyum kalian yang tersungging rasanya mampu membuat seluruh kemuraman di bebatuan situs Batu Karut masing-masing memekarkan satu kuntum bunga. Rasanya alam semesta sibuk tersenyum bahagia dan merestui kalian sebagai sepasang kekasih, dan melupakan keberadaanku serta Bedjo.

"Satya, nanti ku ajak Bedjo ya, nemenin Kangmas," katamu padaku. Kita berjalan bertiga bersisihan. Kamu di tengah. Aku di sisi kirimu. Prabangkara di sisi kananmu. Dua ekor kuda di sisi terluar kanan dan kiri.

"Inggih, Gusti Ayu"
Sahutku sambil uluk sembah tangan. Kau menonjokku di bahu. Matamu bilang bahwa kau tak suka kupanggil dengan sebutan Gusti Ayu. 

Prabangkara tertawa.

"Nggak sekarang, kok, Sat," katanya menatapku ramah, "Kita ngobrol-ngobrol dulu lah. Kan baru sekarang kita ketemu, walaupun Gusti Ayu sudah sering cerita tentangmu"

Prabangkara memberi tekanan intonasi saat mengucap kata Gusti Ayu lalu tawanya mengudara dengan renyah dan menulariku.

"Kalian..." ujarmu.

Kita ngobrol seru tentang kedaiku sebelum kalian berdua pergi berkuda.

***

Sejak pertemuan itu, aku semakin enggan menemuimu. Tepatnya aku menghindar. Aku nggak sanggup mengendalikan rasa iriku pada Prabangkara. Ini mungkin sekedar rasa suka saja. Rasa-ku kepada-mu. Bukan cinta. Tapi seringan-ringannya sebuah rasa, ia tetaplah rasa. Rasa pasti diiringi dengan asa. Harapan. Rasa dan asa butuh dikelola. Aku cukup tahu diri, tentang siapa aku dan siapa kamu. Sehingga menyingkir adalah cara mengelola rasa termudah bagiku, meskipun aku terlihat seperti seorang pengecut. Aku jarang muncul di pantai sekitaran Samudra Beach Hotel. Apalagi di Badranaya.  

Entah bagaimana, kau menemukan aku di sebuah pantai di dekat kebun kelapa.  Kamu datang sendiri.

"Kemana saja kamu, Satya?" 

Aku tak menjawab. Kita duduk di saung beratap jerami di tebing pantai. Saung yang kecil saja, berukuran 2m x 2 m. Tinggi kayu tempat duduknya hanya berjarak 40 cm dari permukaan tanah. Saung tanpa dinding. Kamu menyandarkan punggung di tiang kayu sisi kiri, karena aku sudah menempati posisiku di tiang sebelah kanan.  Dari situ kita bisa memandang sebuah muara sungai terhampar dengan pulau karang sebagai batas antara ekosistem sungai yang payau dan ekosistem samudera raya yang sepenuhnya berair asin jauh di bawah sana. Angin kencang bertiup. Kau merapatkan jaketmu. 

Alih-alih saya menjawab pertanyaanmu,  saya justru berkata,

"Gusti Ayu, dengerin ya"

Lalu aku membuka mulutku. Membawakan sebuah tembang Jawa. Macapat. 

"Kidung kadresaning kapti

Yayah nglamong tanpa mangsa

Hingan silarja jatiné

Satata samaptaptinya

Raket rakiting ruksa

Tahan tumaneming siku

Karasuk sakèh kasrakat."

Kau menyimakku dengan seksama. Pandangmu tertuju pada ombak jauh di sana.  

"Raden Ngabehi Ronggowarsito," ucapmu.

"Serat Jayengbaya," sahutku.

"Masih ada 249 bait lagi, Satya," ujarmu sambil menoleh kepadaku. Tersenyum. Seperti menantangku untuk menembangkan seluruh karya Eyang Ronggowarsito berjudul Jayengbaya itu. 

"Sendika dhawuh, Gusti," ujarku meladeni guyonanmu, "Saya tembangkan semuanya. Tapi Gusti Ayu dengerin ya"

"Semuanya pupuh Asmaradana," gumammu sambil menatap di kejauhan.

Lalu kau berkata,

"Tapi penjagaanku atas Kangmas, bukan tentang Asmaradahana, Satya."

"Lalu?" tanyaku.

"Karena dahana yang kujaga adalah dahana tanpa asmara"
Ujarmu tegas.

Pandangmu tajam menatap pantai. Satu ombak besar Pantai Selatan menghantam pulau karang, menggelegar. Kubaca sebagai pengaminan.

Aku miris.

Rupanya itu adalah hari terakhir kau berada di desaku. Terakhir kalinya kamu dan aku bertemu. Esoknya kau pergi, dijemput Prabangkara di Badranaya. Kalian berpamitan padaku, untuk sebuah episode panjang perjalanan yang harus kalian lakonkan. Aku tak tahu lagi apakah setelah ini aku akan memimpikan kalian berdua lagi. Yang kutahu pasti, aku akan selalu mendoakanmu.

Aku masih ingat saat pelukan perpisahanmu kau berucap:

Hastungkara. 

Svaha. 

Tathastu.


Kramat Pela, 4 September 2019.


 Catatan:

Inilah nyanyian tentang ketabahan hati
 Seakan berkicau tanpa mengenal waktu
 Tanpa mengenal batas kesusilaan dan keselamatan,
 Oleh karenanya kita harus selalu waspada
 dalam menghadapi hukum alam
 dan kuat dalam mengendalikan emosi
 dan dalam menghadapi penderitaan yang dialami."

Hastungkara/astungkara: semoga terjadi atas kehendak-Nya.

Svaha: amin, semoga terkabul, semoga diberkati.

Tathastu: sebagaimana yang kau harapkan/apa yang kau harapkan telah menjadi nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun