Bukumu menginap di Badranaya beberapa hari. Kau, terpaksa ke Badranaya setiap hari. Hari pertama wajahmu masih jutek. Hari kedua 80% jutek. Hari ketiga 70% jutek, dan seterusnya, hingga akhirnya buku puisimu benar-benar pulih meskipun tidak seperti sedia kala. Setidaknya kau sudah memaafkanku. Â
Sejak itu kita berteman baik. Iya, Kita. Kita bertiga, tepatnya. Kamu, Bedjo dan aku. Kita sering berjalan bertiga menyusuri pasir putih sepanjang pantai pelataran Grand Inna Samudra Beach Hotel. Jika kebetulan aku dapat pelanggan untuk berkuda, kau dengan setia menungguiku, dan menyibukkan diri dengan membuat sketsa atau menulis. Atau mencoba-coba melukis dengan cat air. Ah, tentang 'kau dengan setia menungguiku' kurasa hanya perasaan GR ku saja.
Kita berteman baik karena alasan yang unik. Sebuah mantra terdiri dari tiga kata. Hastungkara. Swaha. Tathastu. Rupanya itu adalah kata-kata yang kau sebut sebagai 'nggak tau kenapa tapi sangat ku sukai'. Makanya seringkali dalam mimpiku, kau mengucapkan kata-kata itu. Di mimpi itu, tak jelas benar untuk apa kau ucapkan kata-kata itu. Tiga kata itu seperti password bagiku untuk bisa menjadi temanmu. Kau bahkan bisa bercerita apa saja tentang dirimu termasuk tentang Prabangkara. Pria yang sudah lama menjadi sahabatmu sejak masa kuliah dulu. Katamu ia sahabatmu. Tapi aku dan seluruh semesta alam Pantai Selatan ini lebih setuju bila Prabangkara adalah kekasihmu.
"Satya.."
Panggilmu.
Kau menggugah lamunanku.
"Inggih, Gusti Ayu"
Sambarku dengan senyuman.
Matamu mendelik. Kau selalu protes bila aku memanggilmu Gusti.
"Aku tahu sekarang, mengapa saya harus menjaga Kangmas"
"Jadi, apa?"
"Kau tahu tembang Asmaradana?"
"Ya. Tembang macapat itu, kan?"