"Dahana jangan sampai padam," tebakku.
Kau mengangguk. Dan tersenyum.
"Benar, Satya. Aku harus menjaga dahana agar tetap menyala. Tidak boleh padam. Dan ini sebenarnya tidak tentang menjaga seseorang. Ini lebih dari itu."
Aku memicingkan mata. Kamu mengangguk sekali lagi.
Tiba-tiba dari belakang aku mendengar suara derap kaki kuda. Otomatis leherku memutar mencari sumber suara.
"Prabangkara," desisku dalam hati. Aku menjadi waspada.
Pria ini jauh lebih indah wujud nyatanya daripada yang kulihat di mimpi-mimpiku. Tentu saja tanpa kain batik bermotif Parang Kusumo dan ikat kepala. Saat Prabangkara mengulurkan tangannya menjabat tanganku, belakang kepalaku berdenyut hebat. Lesung pipit muncul di pipi kirinya saat ia tersenyum ke arahku. Dengan jins dan kaos, serta sisiran rambut fresh seperti itu Prabangkara hadir dengan keramahan yang maksimal. Hangat dan akrab.
Kusaksikan Prabangkara memelukmu sekilas begitu ia tadi turun dari kuda. Kalian bersentuhan pipi. Mata bintang kejoramu semakin indah saat pertemuanmu dengan Prabangkara. Aku iri. Senyum kalian yang tersungging rasanya mampu membuat seluruh kemuraman di bebatuan situs Batu Karut masing-masing memekarkan satu kuntum bunga. Rasanya alam semesta sibuk tersenyum bahagia dan merestui kalian sebagai sepasang kekasih, dan melupakan keberadaanku serta Bedjo.
"Satya, nanti ku ajak Bedjo ya, nemenin Kangmas," katamu padaku. Kita berjalan bertiga bersisihan. Kamu di tengah. Aku di sisi kirimu. Prabangkara di sisi kananmu. Dua ekor kuda di sisi terluar kanan dan kiri.
"Inggih, Gusti Ayu"
Sahutku sambil uluk sembah tangan. Kau menonjokku di bahu. Matamu bilang bahwa kau tak suka kupanggil dengan sebutan Gusti Ayu.Â
Prabangkara tertawa.