Kenalin, namaku Pe. Setidaknya teman-temanku memanggilku begitu. Aku tinggal di Jombang, wilayah kota, Jawa Timur. Aku sedang mengenang sebuah hari di tahun 1992 saat aku berusia 16 tahun. Aku bersepeda dengan teman sekolahku, Bhre, ke Wonosalam. Iya, sepeda kayuh. Bukan sepeda motor. Perlu waktu sekitar 2-3 jam dari rumahku di area kota mengayuh sepeda ke Wonosalam. Kami -seperti biasa, seperti petualangan kami yang sudah-sudah- tak berbekal seperti anak-anak millennials zaman sekarang kalau pergi traveling. Tapi itu sangat cukup bagi kami. Hanya diri semata yang kurus gelap dekil, sepotong kaos lengan pendek dan celana pendek yang melekat di badan. Sepeser uang pun tidak. Hanya berbekal keramahan kami berdua dan keramahan penduduk sekitar perjalanan yang kami lewati yang tak sungkan menawarkan makan ketika kami singgah untuk meminta segelas dua gelas air putih.
Di Wonosalam ini ada sebuah kolam tempat pemandian yang asyik. Unik. Airnya juerniiiiihhh. Saking jernihnya, sampai-sampai dasar kolam kelihatan. Dinding-dinding kolam terbuat dari batu kali dipadu dengan mungkin bebatuan andesit (saya nggak tau pasti jenisnya) yang disusun-susun rapi. Batu kali lho Bo'! Bayangkan, batu kali. Apa yang kau pikirkan ketika melihat kolam pemandian dengan bentuk seperti itu kalau bukan sebuah dan sesuatu yang berbau masa lalu dan kekunoan? Kekunoan dan kewingitan?
Tapi ya begitulah aku. Remaja tanggung menjelang dewasa yang selalu terpacu adrenalinku untuk mendekat-dekat dengan sesuatu yang justru dijauhi orang lain saking serem dan wingitnya.
Ini adalah kunjunganku yang kesekian kalinya.
Tiba di tepi kolam, aku beristirahat. Meluruskan kaki. Kaos kujemur di sepeda. Bhre pun begitu. Hingga tubuh kurus kering kami menonjol-nonjolkan tulang belulangnya yang sama sekali tidak seksi. Aku dan Bhre berbaring di rerumputan tepi kolam sambil beristirahat dan ngobrol ngalor ngidul. Setelah kering, kaos itu kami kenakan kembali. Jangan tanya gimana bau keringatnya. Aku toh sudah hafal dengan aroma rangkaian senyawa kimia aromatik yang dihasilkan dari kelenjar keringat di ketiakku sendiri. Jika pun orang lain menciumnya tak sengaja, anggap saja bonus dari alam semesta. Nggak salah kan quote ini, “We don’t meet people by accident. They’re meant to cross out path for a reason.” ― Kathryn Perez.
Bersamaan dengan kedatanganku dan Bhre ke tempat itu, ada serombongan anak pesantren. Kayaknya anak SLTP. 25-30 orang. Cowok cewek. Kelihatan banget euforia mereka seperti terlepas dari kungkungan tembok batas pesantren yang mengikat mereka dengan banyak aturan ini-itu. Terlihat banget mereka begitu gembira merayakan 'kebebasan' mereka di alam bebas ini. Iya sih, mereka berhak dapetin kebahagiaan piknik sejenak begini. Setidaknya, dengan karya wisata begitu, mereka bisa menyapa alam.
Sebagai remaja yang lebih tua, aku merasa perlu ngasih tau mereka untuk berhati-hati di tempat ini. Ya, Wonosalam ini kan hutan. Hutan yang tidak sembarangan, karena ia adalah hutan yang paling dekat dengan situs kerajaan Majapahit. Pegunungan, dengan ketinggian sekitar 600 m, di kaki dan lereng Gunung Anjasmoro. Udah gitu, kolam pemandian ini, meskipun sangat menggoda untuk dicemplungi dan terlihat segar airnya, tetap saja, pasti airnya dingin sekali.
"Eh, koen, lek gak isok renang gak usah tah lah nyemplung ndik kono"
Ucapku pada adik-adik pesantren itu.
Maksudku. Eh, kalian tuh kalau nggak bisa berenang, udah deh ya, nggak usah nyemplung di kolam itu.
Eh, baru aja kedua bibirku mengatup, terdengar teriakan-teriakan dari arah belakangku. Cewek-cewek menjerit-jerit dan berteriak-teriak. Cowok-cowok menunjuk-nunjuk ke arah dasar kolam.
Waduh!
Refleks, mataku tertuju pada arah jari telunjuk mereka. Kulihat seorang anak lelaki sudah berada jauh di dasar kolam pemandian sana, tangannya menggapai-gapai, meronta-ronta. Seluruh gerakannya acak tanpa ritme teratur. Menggagap-gagap, sebisanya dia bisa bergerak. Dan... sialnya, aku melihat ular! Besar! Kepalanya lebih besar dari kepala anak itu, panjangnya beberapa kali lipat dari tinggi anak itu, dan ujung ekornya mungkin sebesar paha anak itu. Warnanya, aku lupa. Tersamarkan oleh air kolam pemandian, yang meskipun sangat jernih, namun ketakutan yang menderaku membuatku jadi seorang yang buta warna sebagian untuk sementara waktu. Fyuh.....! Seekor ular besar di dalam kolam ada bersama anak yang tenggelam itu.
Oh, tidak! Ular itu tengah berusaha melilitnya.
Di atas kolam serombongan anak pesantren mulai panik. Anak-anak perempuan menangis. Rupanya, anak laki-laki yang nekat terjun ke kolam itu tengah dalam misi mulianya membantu kawan perempuan yang tidak sengaja menjatuhkan kunci lokernya ke kolam.
Sergapan panik mulai menjalariku. Kepalaku seperti ditarik dua kubu dengan sangat kuat antara ajakan terjun ke kolam menyelamatkan anak itu dan rasa ketakutan melebihi ubun-ubun demi melihat ular raksasa.
Bismillah!
Byur!
Ajakan kemanusiaan menang. Pikiranku hanya satu, mataku kuperintahkan mencari keberadaan Sang Ular supaya aku bisa menghindarinya.
"Jancuk! Endi ki ula ne? Endi ki ula ne?(1)" Begitu ucapku dalam hati.
Mantraku cuma satu,
"Ojok sampek ketemu! Ojok sampek ketemu! Ojok sampek ketemu! Ojok sampek ketemu! Ojok sampek ketemu!(2)"
Mantra supaya aku nggak ketemu Sang Ular.
Kebayang betapa jelalatannya aku di dalam air dingin pegunungan hutan Wonosalam.
Hingga akhirnya di kedalaman tertentu, kakiku menyentuh dasar kolam. Kayaknya 3,5 meter. Tanganku berhasil mencengkeram kaos Si Anak Pesantren yang Tenggelam. Kutarik cengkeraman kaos itu ke atas sebisaku. Dan, gila! Berat sekali rasanya. Aku merasakan ada tenaga lain dengan besaran yang sama -bahkan jauuuhh lebih kuat dariku - yang menarik anak itu. Ke bawah!
Cuk!
Napas yang kutahan mulai bobol pertahanannya. Aku bisa merasakan gelembung-gelembung udara tipis mulai bocor dari mulutku. Ahhh, tidaaak!
"Ya Allah Gusti, tulungono awakku iki.(3)"
Begitu rintihku. Bagaimana aku tidak meminta tolong dan nyenyuwun(4) bila pertarungan tarik menarik anak tenggelam ini terasa begitu lamanya dan seakan-akan tidak ada ujungnya?
Energiku melemah.
Kesadaranku berkurang.
Pandang mataku tinggal serpihan-serpihan kilat berwarna putih terang memenuhi segala ruang yang datang berulang-ulang. Splash! Air kolam pemandian bercahaya putih. Splash! Kulihat rambut anak itu melambai-lambai dipermainkan air kolam. Kepalanya lunglai lemas. Splash! Kudengar rintihanku sendiri: "Napasku, napasku .... "Aku bahkan nggak sadar apakah cengkeraman tanganku di kaos Si Anak Tenggelam itu masih kuat atau sudah terlepas.
Oh, hancur hatiku kalau sampai aku kalah di pertandingan ini. Penyesalan adalah pernah merasakan gengaman tanganku yang mencengkeram erat pada kaos anak malang itu, bila kekalahan itu terjadi.
Waktu tak bisa kukendalikan. Begitupun kesadaranku. Tiba-tiba saja ada tangan yang merenggut punggung kaosku. Dan dalam kesadaran yang setengah-setengah serta waktu yang melompat-lompat, aku sudah ada di tepi kolam. Di atas permukaan tanah rerumputan. Orang-orang mengerumuniku. Seorang diantaranya mengulurkan segelas teh hangat untuk kuminum. Ia membantu menyangga leherku hingga setengah tegak. Mungkin Bhre. Mungkin guru pengasuh pesantren.
Berjarak dariku sekitar tiga meter, Si Anak Tenggelam itu sedang dipompa dadanya. Air muncrat dari mulutnya tak berapa lama.
Gusti Pangeran, alhamdulillah. Kami berdua telah Engkau selamatkan.
Ke sebuah warung tak jauh dari kolam di arah jalan pulang, aku -setelah cukup mengumpulkan kesadaran jiwa dan raga-berdua Bhre menuntun sepeda dan menyandarkannya ke bilik bambu. Bu Randu, nama pemilik warung itu. Ia menyeduhkanku segelas teh manis. Tubuhku yang menggigil sedang perlu beberapa gelas teh manis hangat. Bu Randu adalah salah satu juru kunci wilayah itu.
Kutumpahkan semua ceritaku kepadanya.
"Lho?! Kowe ndelok ula, Le?(5)"
"Nggih, Bu. Saweripun ageng sanget.(6)"
"Lha... Iku ancene sing nunggu ndik kolam, Le. Untung awakmu diparingi slamet, Le.(7)"
Bu Randu memandangku prihatin berdetik-detik.
"Wis, wis! Ojok meneh-meneh dolan rene.(8)"
Perempuan paruh baya itu mengibaskan dan mengayun-ayunkan telapak tangan kanannya di udara seolah-olah sedang menghentikan kejadian buruk yang tengah berlangsung.
"Nggih, Bu. Kula mboten badhe mriki malih.(9)"
Sebelum kami berpamitan, Bu Randu menyampaikan bahwa untuk kebaikan bersama, ia akan menutup kolam pemandian Wonosalam ini dari kunjungan umum.
Sejak itu, aku nggak pernah sekalipun pergi ke kolam itu. Sampai sekarang. Sampai detik dimana aku terdampar di metropolitan Jakarta yang sudah jadi belantara pencakar langit. Padahal pemandangan alamnya, kabutnya yang indah misterius, hijaunya dedaunan dan pepohonan, segarnya oksigen yang melimpah tanpa tambahan karbon monoksida dan debu-debu klanpot, serta suasana hutan lengkap dengan suara-suara tongeret, gesekan dedaunan tertiup angin, aroma khasnya, lembab udaranya, dan cerita-cerita abad lalu yang tersembunyi di dalamnya itu sering memicu rinduku.
Kolam pemandian Wonosalam rupanya tak rela kalau tidak meninggalkan jejak rasa padaku. Yaitu, rasa takut yang teramat sangat pada ular yang berenang-renang di air. Padahal orang sekampung tau banget gimana bandelnya aku, dan betapa nggak ada rasa takutku sama sekali menghadapi apapun dan siapapun. Jadilah sekarang, aku, Pe, lelaki yang tak takut apapun kecuali ular yang berenang-renang di air.
Selamat tinggal, kolam pemandian Wonosalam!
Kramat Pela, akhir Maret 2019.
Berdasarkan kisah nyata seorang sahabat.
Catatan penulis:
(1) Mana nih ularnya? Mana nih ularnya?
(2) Jangan sampai ketemu! Jangan sampai ketemu!
(3) Ya Allah Gusti, kumohon, tolonglah hamba-Mu ini.
(4) Memohon (pada Yang Maha Kuasa)
(5) Lho. Kamu melihat ular, Nak?
(6) Iya, Bu. Ularnya besar sekali.
(7) Lha... itu memang yang menunggu kolam itu, Nak. Beruntung kamu masih diberi keselamatan (oleh Yang Maha Kuasa) ya, Nak.
(8) Sudah, sudah. Tidak usah lagi-lagi main ke sini.
(9) Iya, Bu. Saya nggak akan pernah kesini lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI