Perempuan paruh baya itu mengibaskan dan mengayun-ayunkan telapak tangan kanannya di udara seolah-olah sedang menghentikan kejadian buruk yang tengah berlangsung.
"Nggih, Bu. Kula mboten badhe mriki malih.(9)"
Sebelum kami berpamitan, Bu Randu menyampaikan bahwa untuk kebaikan bersama, ia akan menutup kolam pemandian Wonosalam ini dari kunjungan umum.Â
Sejak itu, aku nggak pernah sekalipun pergi ke kolam itu. Sampai sekarang. Sampai detik dimana aku terdampar di metropolitan Jakarta yang sudah jadi belantara pencakar langit. Padahal pemandangan alamnya, kabutnya yang indah misterius, hijaunya dedaunan dan pepohonan, segarnya oksigen yang melimpah tanpa tambahan karbon monoksida dan debu-debu klanpot, serta suasana hutan lengkap dengan suara-suara tongeret, gesekan dedaunan tertiup angin, aroma khasnya, lembab udaranya, dan cerita-cerita abad lalu yang tersembunyi di dalamnya itu sering memicu rinduku.Â
Kolam pemandian Wonosalam rupanya tak rela kalau tidak meninggalkan jejak rasa padaku. Yaitu, rasa takut yang teramat sangat pada ular yang berenang-renang di air. Padahal orang sekampung tau banget gimana bandelnya aku, dan betapa nggak ada rasa takutku sama sekali menghadapi apapun dan siapapun.  Jadilah sekarang, aku, Pe, lelaki yang tak takut apapun kecuali ular yang berenang-renang di air.
Selamat tinggal, kolam pemandian Wonosalam!
Kramat Pela, akhir Maret 2019.
Berdasarkan kisah nyata seorang sahabat.
Catatan penulis:
(1) Mana nih ularnya? Â Mana nih ularnya?
(2) Jangan sampai ketemu! Jangan sampai ketemu!