Oh, hancur hatiku kalau sampai aku kalah di pertandingan ini. Penyesalan adalah pernah merasakan gengaman tanganku yang mencengkeram erat pada kaos anak malang itu, bila kekalahan itu terjadi.Â
Waktu tak bisa kukendalikan. Begitupun kesadaranku. Tiba-tiba saja ada tangan yang merenggut punggung kaosku. Dan dalam kesadaran yang setengah-setengah serta waktu yang melompat-lompat, aku sudah ada di tepi kolam. Di atas permukaan tanah rerumputan. Orang-orang mengerumuniku. Seorang diantaranya mengulurkan segelas teh hangat untuk kuminum. Ia membantu menyangga leherku hingga setengah tegak. Mungkin Bhre. Mungkin guru pengasuh pesantren. Â
Berjarak dariku sekitar tiga meter, Si Anak Tenggelam itu sedang dipompa dadanya. Air muncrat dari mulutnya tak berapa lama.Â
Gusti Pangeran, alhamdulillah. Kami berdua telah Engkau selamatkan.Â
Ke sebuah warung tak jauh dari kolam di arah jalan pulang, aku -setelah cukup mengumpulkan kesadaran jiwa dan raga-berdua Bhre menuntun sepeda dan menyandarkannya ke bilik bambu. Bu Randu, nama pemilik warung itu. Ia menyeduhkanku segelas teh manis. Tubuhku yang menggigil sedang perlu beberapa gelas teh manis hangat. Bu Randu adalah salah satu juru kunci wilayah itu.Â
Kutumpahkan semua ceritaku kepadanya.Â
"Lho?! Kowe ndelok ula, Le?(5)"
"Nggih, Bu. Saweripun ageng sanget.(6)"
"Lha... Iku ancene sing nunggu ndik kolam, Le. Untung awakmu diparingi slamet, Le.(7)"
Bu Randu memandangku prihatin berdetik-detik.Â
"Wis, wis! Ojok meneh-meneh dolan rene.(8)"