Eh, baru aja kedua bibirku mengatup, terdengar teriakan-teriakan dari arah belakangku. Cewek-cewek menjerit-jerit dan berteriak-teriak. Cowok-cowok menunjuk-nunjuk ke arah dasar kolam.Â
Waduh!Â
Refleks, mataku tertuju pada arah jari telunjuk mereka. Kulihat seorang anak lelaki sudah berada jauh di dasar kolam pemandian sana, tangannya menggapai-gapai, meronta-ronta. Seluruh gerakannya acak tanpa ritme teratur. Menggagap-gagap, sebisanya dia bisa bergerak. Dan... sialnya, aku melihat ular! Besar! Kepalanya lebih besar dari kepala anak itu, panjangnya beberapa kali lipat dari tinggi anak itu, dan ujung ekornya mungkin sebesar paha anak itu. Warnanya, aku lupa. Tersamarkan oleh air kolam pemandian, yang meskipun sangat jernih, namun ketakutan yang menderaku membuatku jadi seorang yang buta warna sebagian untuk sementara waktu. Fyuh.....! Seekor ular besar di dalam kolam ada bersama anak yang tenggelam itu.Â
Oh, tidak! Ular itu tengah berusaha melilitnya. Â Â
Di atas kolam serombongan anak pesantren mulai panik. Anak-anak perempuan menangis. Rupanya, anak laki-laki yang nekat terjun ke kolam itu tengah dalam misi mulianya membantu kawan perempuan yang tidak sengaja menjatuhkan kunci lokernya ke kolam.Â
Sergapan panik mulai menjalariku. Kepalaku seperti ditarik dua kubu dengan sangat kuat antara ajakan terjun ke kolam menyelamatkan anak itu dan rasa ketakutan melebihi ubun-ubun demi melihat ular raksasa.
Bismillah!
Byur!
Ajakan kemanusiaan menang. Pikiranku hanya satu, mataku kuperintahkan mencari keberadaan Sang Ular supaya aku bisa menghindarinya.Â
"Jancuk! Endi ki ula ne? Endi ki ula ne?(1)" Begitu ucapku dalam hati.Â
Mantraku cuma satu,