Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Berjumpa Enam Simbol Sumba di Adiwastra Nusantara

24 Maret 2019   09:19 Diperbarui: 24 Maret 2019   11:03 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tenun Ikat Rende Sumba Timur (Koleksi Pribadi)

Dengan ojek online, saya menuju Jakarta Convention Center (JCC) Hall A. Sepeda motor melaju santai, konstan, dan pengemudinya dengan ramah menjelaskan rute mana yang akan kami lewati menuju lokasi. Rupanya ia sudah mengenal betul rute menuju JCC. 

Namun lagi-lagi, seperti yang sudah-sudah saat mengendarai moda 'ojol', helm hijau bertuliskan Gojek yang saya pakai rada kegedean. 

Rasanya saya jadi kayak kecambah kacang ijo yang lagi jalan-jalan di Ibukota Indonesia. Lalu gedung-gedung pencakar langit menjelma jadi tanaman-tanaman di kebun sayur: kangkung, bayam, tomat, terong, kubis, cabe, lengkuas, jahe, kelapa, pete, salam.

Eh. Kok ngelantur.

Di JCC, 20-24 Maret ini digelar pameran tahunan besar negeri ini tentang kain atau wastra nusantara, Adiwastra Nusantara. Menuju ke sana saya punya misi yang berbeda dari orang-orang kebanyakan. 

Jika mereka datang ke pameran adalah untuk melihat-lihat dan berniat ngeborong kain dan baju tenun/batik yang indah-indah, saya tidak. Niat saya adalah ketemu duo kakak beradik sahabat saya yang buka stand di sana. 

Dari kantor, sepulang kerja, saya mampir ke rumah dulu, ambil tas kresek biru yang sudah saya siapkan sejak beberapa hari lalu isinya sekitar 8 - 10 buah mangga muda; garam satu wadah kecil; pisau; dan mangkuk kecil. Baru deh meluncur ke Hall A. 

Ya, saya sudah janjian sama sahabat saya itu buat bawain mangga muda.

Duo kakak beradik sahabat saya itu pasti sedang sibuk di Hall A booth nomor 31. Begitu turun dari Gojek, saya menuju pintu dalam dan menelusur dari booth di sisi kiri mulai nomor 49. 

Terus berjalan mengikuti nomor booth yang semakin kecil tanpa lihat kiri kanan. Hal itu saya lakukan semata-mta untuk menjaga niat saya untuk tidak berbelanja. Akhirnya kutemukan booth yang kumaksud di hook. Tertulis di sana, judul usaha mereka: Oerip Indonesia.

Senang rasanya melihat, JC, Si Kakak, penggemar warna hitam, matanya berbinar-binar melihat segerombolan mangga muda masam dari pohon mangga di halaman depan rumah. Mereka tak sengaja berguguran di usia muda akibat dahannya patah diterjang angin kencang. Tak kalah senang ketemu Dian, Si Adik, yang berwajah chubby oriental mirip orang Tibet, berselimut kain pusaka Ulos Batak tua yang usianya sekitar 150 tahun.

Di booth nomor 31 itu pun, saya tak ada niat belanja. Sama sekali. Tak ada niat membeli desain unik-unik ala etnik rebel karya Dian yang khas. Seringnya ia menggabungkan 2 hingga 4 helai kain tenun utuh dari wilayah berbeda seluruh nusantara tanpa memotong. Tak ada. 

Padahal berpuluh-puluh jenis kreasi itu melambai-lambai di depan mata.  Ada celana panjang gabungan lurik dan tenun Troso Jepara.  Kaftan gabungan kain jumputan warna ungu dipadu kain tenun Papua. Outer hoodie terbuat dari kain tenun ikat Baduy utuh, warna pink dan salem. 

Dress yang terbuat dari sarung perempuan Sumba (lau) pewarna alam yang warnanya lembut, soft, tenang. Tenun Gedog Tuban dipadu dengan kain tenun Pahikung warna menyala. Jaket/mantel dingin dari tenun Sabu. Dan banyak lagi.

Tidak. Tidak. Tidak.
Saya meyakinkan diri: tidak.
Tapi. Hmmmm... waktu berjalan. Obrolan berlanjut dengan Dian, JC, dua orang Umalulu Melolo Umalulu (Umbu Tay Tanggurami dan istrinya), para sahabat, bahkan dengan para pembeli yang sudah seperti saudara, Luli, dan Nuke. 

Seiring detik bergulir, niat rupanya tak sekuat godaan, ketika tiba-tiba, di tumpukan di bagian bawah yang sangat diabaikan, ada selendang Sumba dengan panjang lebih dari 2 meter. Warnanya cenderung gelap, hitam, dengan aksen merah dan biru tipis-tipis. Batin saya bilang, kain ini pasti diwarnai dengan pewarna alam.

Dan ketika dibentangkan... hmmm ... bikin saya menahan napas.

Dengan background gelap begitu, gambar motif tenunannya jadi terlihat sangat kuat dan berkarakter. Ada 6 simbol Sumba dalam satu helai kain itu. Berurutan dari atas ke bawah. 

Yang pertama, simbol Mamuli. 

Kedua, lelaki menunggang kuda membawa tombak terhunus. 

Ketiga, lelaki tanpa tombak, menunggang kuda, bersama seseorang di  belakangnya. Anaknya, rupanya. 

Keempat, motif Kurangu (udang). 

Kelima, motif manusia dengan kedua tangan terangkat ke atas. Kaki membuka, gambar kelamin dan seperti ada semacam capit berbentuk U tepat di bawah posisi kelamin. 

Keenam, motif rumah adat. Tergambar jelas dominan atapnya yang bertingkat dan mengerucut lancip semakin kecil ke atas dengan tiga tiang penyangga.

Dari Umbu Tay Tanggurami atau yang lebih dikenal dengan nama Adhy Willy Hawu, saya mendapatkan berbagai kisah. Bahwa, kain tenun ikat ini dibuat pada tahun 2013, dari Kampung Raja Prayawang (atau sering disebut Kampung Adat Prayawang), Desa Rende, Kabupaten Sumba Timur. Kampung Raja ini berjarak 2.079 km dari Jakarta dan merupakan salah satu kampung asal para bangsawan Sumba. 

Menurut kisah, di kampung ini terdapat 9 (sembilan) rumah induk yang melambangkan 9 (sembilan) keturunan para bangsawan di Kampung Raja tersebut. Sebagaimana rumah adat di Sumba Timur, rumah adat di Kampung Raja Prayawang memiliki 3 (tiga) bagian. Bagian atas rumah adat merupakan ruangan yang dianggap sangat sakral dan pemakaiannya sangat terbatas. Ada ritual adat khusus bagi pemilik rumah jika akan memasuki ruangan di bagian paling atas ini. Di Kampung Raja Prayawang terdapat Huma Bokul yaitu rumah mayat yang digunakan untuk persemayaman bangsawan Sumba yang meninggal selama satu tahun sebelum upacara penguburan.

Pembuatan kain selendang tenun ikat dengan 6 simbol Sumba itu menggunakan pewarna alam dari tumbuhan yang ada di tanah Sumba. Jadi benar dugaan saya. Natural dyed. Untuk menghasilkan warna-warna pada kain itu, digunakan banyak sumber alami. Pakapihakk (lumpur) untuk warna gelap/hitam, terlihat pada background kain. 

Daun Woru atau Nila atau Tarum (Indigo Tinctoria) untuk warna biru. Akar Kombu atau akar pohon Mengkudu untuk warna-warna merah/kemerahan. Pada kain itu, seluruh warna tampak indah. 

Namun bagiku, justru simbol Kurangu yang ditenun dengan benang biru lah yang paling indah. Ia nyata, ada, namun samar-samar, tersembunyi dan misterius. Gabungan antara kelembutan dan ketegasan.

Tentang motif-motif Sumba yang tergambar pada kain tenun itu, saya mendapatkan cerita dan kisah dari Bang Adhy maupun Kak Echa, istrinya.

Bentuk Mamuli mewakili bentuk rahim dan kelamin wanita, sebagai simbol kewanitaan dan perlambang kesuburan dan dimaknai sebagai penghormatan terhadap kedudukan perempuan. Dalam sebuah catatan, disebutkan bahwa Mamuli ini melambangkan wanita sebagai 'pemberi kehidupan'. Tentunya bukan bermaksud menyetarakan wanita dengan Tuhan, melainkan bahwa pada diri seorang wanita terdapat sebuah energi feminin yang besar yang memungkinkannya menjadi Ibu dan sanggup mengasuh 'kehidupan' generasi selanjutnya. Jika diperhatikan, bentuk Mamuli ini memiliki bentuk seperti huruf Omega, alfabet Yunani terakhir. 

Lelaki menunggang kuda membawa tombak memiliki arti kepala keluarga sebagai pencari nafkah. 

Lelaki menunggang kuda, dibelakangnya membonceng anaknya. Bisa diartikan sebagai regenerasi, generasi yang lebih senior mengajari atau mewariskan ilmu pada generasi berikutnya. Ayah membimbing anak lelakinya. Mengajarinya menunggang kuda. Menyertakannya dalam perburuan.

Kurangu atau udang, dari beberapa sumber yang saya terima sebelumnya melambangkan kepercayaan leluhur Sumba tentang kehidupan berkelanjutan atau keabadian dan  reinkarnasi. Bahwa jiwa itu abadi. Ada ungkapan Sumba tentang udang yaitu "Kurra hillu jullu", artinya udang tak pernah mati, hanya berganti kulit. 

Arti lainnya adalah dibalik kematian ada kehidupan baru maupun pengharapan akan hidup yang kekal serta pengharapan akan kehidupan yang berbeda dari kehidupan yang sekarang. Bang Adhy menambahkan, Kurangu juga melambangkan kebersamaan. Hal ini berarti semua permasalahan yang timbul diselesaikan dan dimusyawarahkan secara bersama-sama. Udang  pada umumnya jalan berkelompok, tidak mungkin berjalan sendiri-sendiri. 

Lambang gambar manusia dengan semacam capit berpentuk U ternyata melambangkan tentang kepercayaan Marapu. Capit berbentuk U melambangkan peristiwa sunat.  Kak Echa menceritakan bahwa kepercayaan Marapu menganjurkan untuk sunat bagi lelaki sebagai lambang dari kebersihan dan kesehatan. 

Saya pun spontan berkomentar, "Wah seperti ajaran Ibrahim".

Kak Echa membenarkan, dan ia juga melihat adanya semacam intersection antara Islam dengan kepercayaan Marapu. Ia bahkan berkisah bahwa dalam salah satu doa atau perkataan sakral Marapu, disebut-sebut sesuatu yang bisa dianalogikan dengan Ka'bah dalam simbolisasi mikronya, yaitu hajar aswad atau 'batu hitam'. Sesuatu itu adalah 'watu mitting', artinya batu hitam. 

Beberapa riwayat tutur juga mengatakan tentang deskripsi Ilahiah yang  dianalogikan dengan Yang Maha Melihat, Yang Maha Mendengar, digambarkan dengan uraian kata 'besar mata dan lebar telinga'. Tepatnya, Na Mabokulu Wua Matana- Na Mambalaru Kahiluna, Yang Besar Biji Matanya-Yang Lebar Telinganya. 

Sementara Bang Adhy menambahkan bahwa lambang manusia dalam Marapu adalah kepolosan.

Motif rumah adat Sumba Timur diletakkan di posisi paling bawah/dasar kain. Rumah adat Sumba Timur memiliki bentuk yang khas, yaitu mengerucut atau lancip semakin kecil ke atas dan rata-rata memiliki tiga bagian yaitu bagian atas, tengah dan bawah. 

Rumah adat juga memiliki fungsi yang berbeda, diantaranya adalah rumah tempat persemayaman jenazah, rumah ritual cukur anak Raja yang baru lahir, dan rumah tempat minum kopi.

Ah. Indah sekaliii.

Di booth 31 itu, ada banyak sekali sarung Sumba untuk perempuan (lau) yang semuanya indah. Ada yang bermotif tanaman, sirih pinang, dan ornamen-ornamen khas Sumba lain yang halus pengerjaannya seharga Rp 10 juta. Ada pula sarung Sumba buatan Hanggongu, Pria Unik dari desa Melolo yang selalu bikin motif spektakuler. Sarung berpewarna alam yang dibuat lebih dari 1 tahun bermotif laba-laba dan ragam hiasan lain yang detil dan rumit itu saaaaangat halus buatannya. Indaahhh bangett. Namun buat kantong saya, harga itu 'tidak berjodoh'. Banderolnya Rp 20 juta.

Saya cukupkan diri menikmati selendang indah dengan 6 motif kuat yang sangat Sumba itu saja.

Dengan berucap 'Bismillah', kepemilikan kain pun berpindah. Malamnya, saya akan tertidur dengan memeluk Si Kain Tenun Ikat Enam Motif Sumba. Sambil terkenang dan bertanya-tanya mengapa motif Kurangu dilukiskan dalam warna biru indigo yang misterius. 

Dan sambil bertanya-tanya, sebenarnya membaca kain itu dari atas ke bawah, atau, dari bawah ke atas, untuk mengetahui pesan yang sesungguhnya.

Kramat Pela, 24 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun