Di booth nomor 31 itu pun, saya tak ada niat belanja. Sama sekali. Tak ada niat membeli desain unik-unik ala etnik rebel karya Dian yang khas. Seringnya ia menggabungkan 2 hingga 4 helai kain tenun utuh dari wilayah berbeda seluruh nusantara tanpa memotong. Tak ada.Â
Padahal berpuluh-puluh jenis kreasi itu melambai-lambai di depan mata. Â Ada celana panjang gabungan lurik dan tenun Troso Jepara. Â Kaftan gabungan kain jumputan warna ungu dipadu kain tenun Papua. Outer hoodie terbuat dari kain tenun ikat Baduy utuh, warna pink dan salem.Â
Dress yang terbuat dari sarung perempuan Sumba (lau) pewarna alam yang warnanya lembut, soft, tenang. Tenun Gedog Tuban dipadu dengan kain tenun Pahikung warna menyala. Jaket/mantel dingin dari tenun Sabu. Dan banyak lagi.
Tidak. Tidak. Tidak.
Saya meyakinkan diri: tidak.
Tapi. Hmmmm... waktu berjalan. Obrolan berlanjut dengan Dian, JC, dua orang Umalulu Melolo Umalulu (Umbu Tay Tanggurami dan istrinya), para sahabat, bahkan dengan para pembeli yang sudah seperti saudara, Luli, dan Nuke.Â
Seiring detik bergulir, niat rupanya tak sekuat godaan, ketika tiba-tiba, di tumpukan di bagian bawah yang sangat diabaikan, ada selendang Sumba dengan panjang lebih dari 2 meter. Warnanya cenderung gelap, hitam, dengan aksen merah dan biru tipis-tipis. Batin saya bilang, kain ini pasti diwarnai dengan pewarna alam.
Dan ketika dibentangkan... hmmm ... bikin saya menahan napas.
Dengan background gelap begitu, gambar motif tenunannya jadi terlihat sangat kuat dan berkarakter. Ada 6 simbol Sumba dalam satu helai kain itu. Berurutan dari atas ke bawah.Â
Yang pertama, simbol Mamuli.Â
Kedua, lelaki menunggang kuda membawa tombak terhunus.Â
Ketiga, lelaki tanpa tombak, menunggang kuda, bersama seseorang di  belakangnya. Anaknya, rupanya.Â
Keempat, motif Kurangu (udang).Â