Suatu ketika, di bulan Desember 2011, saya berada di sebuah stand pameran perdagangan di kota Dakar, Senegal, Afrika, dengan pemandangan yang unik yang bikin saya melongo. Anak-anak negro seusia SD berdiri mengantri. Tertib, satu-satu. Barangkali ada 7 hingga 11 anak.
 Yang paling buncit di belakang terlihat melongok-longokkan kepala, memanjangkan lehernya. Saya sampai khawatir, kalau kelamaan, tindakan itu bisa memicu evolusi  melahirkan manusia jenis ras baru. Rupanya ia penasaran tentang apa yang terjadi di depan.Â
Ketika langkah saya sampai di antrian terdepan, terlihat seorang kakak kulit hitam, tinggi, berkaos biru muda berrambut cepak-keriting sedang berdiri di depan kompor menyala lengkap dengan pancinya. Mulutnya sibuk berbicara.Â
Tangannya sibuk. Bergerak kian kemari antara memperagakan cara memasak dan menjelaskan. Rupanya ia sedang mencontohkan cara memasak Indomie! Dan adik-adik usia SD itu memperhatikan dengan seksama, dengan raut muka ingin segera mencicipi hasil masakan.Â
Aroma Indomie sudah tercium dan memenuhi atmosfir sekeliling stand Indomie dan sekitarnya. Saya mengenali aromanya yang mirip-mirip Indomie rasa ayam bawang.Â
Ternyata begitu 'sosialisasi' cara memasak mie instan di Afrika. Indomie dikenalkan di kalangan usia yang sedang 'semego-semego'*-nya, alias sedang di puncak kurva positif fase doyan makan. Diajari cara masaknya: yang sedemikian praktis, simpel, instan. Mungkin saat itu di Senegal belum trend masak instan. Jadi pasti cara masak instan adalah terobosan baru di dunia memasak.Â
Dikenalkan aromanya yang menggugah selera. Saya lihat, setelah demo masak oleh kakak penjaga stand, hasil masakan dibagi-bagi untuk yang mau mencicipi. Anak-anak saling berebut tunjuk tangan saat kakak penjaga stand mengatakan sesuatu dalam bahasa mereka.Â
Lalu anak yang beruntung, mendapat kesempatan mencoba memasak Indomie. Saya tersenyum-senyum melihat pemandangan itu dan langsung punya niat sore hari seusai jaga stand mau cari supermarket terdekat, beli Indomie, dan mencicipi rasa Indomie di Afrika seperti apa.Â
Banyak teman yang bilang bahwa Indomie yang dijual dan diedarkan di luar negeri rasanya berbeda dari Indomie yang beredar di Indonesia. Ada benarnya juga sih. Itu saya buktikan saat sempat ngekos sebulan di Melbourne belasan tahun yang lalu. Indomie ada dijual di supermarket besar, tapi rasanya beda. Beda di sini memilik arti nggak seenak Indomie asli Indonesia. Secara berkelakar teman-teman saya bilang, yang di Indonesia tuh kadar 'micin'-nya lebih besar. Hahaha. Dan kami nggak keberatan dengan itu. Hingga saya dan teman kosan yang sama-sama orang Indonesia seringnya hunting Indomie 'ori' (original buatan Indonesia untuk diedarkan di Indonesia) ke sebuah 'warung' kecil di pojokan jalan (nama toko kecil itu, kalau nggak salah, Global Ethnic.). Lokasinya tepatnya di jalan apa, saya lupa, yang jelas antara Swanson Street dengan Elizabeth Street. Itu sekitar tahun 2000-an. Nggak tahu deh, sekarang tokonya masih ada atau enggak.
Di bungkus plastik Indomie ada cara memasak  Indomie yang standar. Orang ISO 9001 bilang, standar cara memasak itu sebagai Instruksi Kerja, atau Work Instruction, atau SOP, Standard Operating Procedure. Coba tengok.Â
Cara Penyajian