Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Catatan dari Kongres Kebudayaan Indonesia 2018| Tentang Abah, Telur, dan Jokowi

10 Desember 2018   09:36 Diperbarui: 11 Desember 2018   16:11 1743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

WA call berbunyi. Di layar HP tertulis, Abah DZI. Itu nama panggilan sayang kami untuk K.H. D. Zawawi Imron (sastrawan, penyair, budayawan, ulama berusia kurang lebih 75 tahun, pengasuh sebuah pondok pesantren di Sumenep, Madura). 

"Siwi... Kamu tahu ada kabar baik apa tentang Abah?"

"Siap, Abah. Abah dapat penghargaan di Kongres Kebudayaan Indonesia 2018. Piala akan diserahkan oleh Presiden Jokowi kepada Abah hari ini di Panggung Kubah Bambu Kemendikbud"

Jawab saya lancar.

"Lhoh. Kok kamu sudah tahu? Tahu dari mana?"

Abah bertanya dengan logat Madura yang kental.

"Ada aja, Abah, yang kasih tahu saya"

Jawab saya. Saya tertawa tanpa suara setelahnya.

Adalah Gus Nas (KH Nasruddin Anshori) yang memberitahu saya via WA. Ada lagi, Mbak Erma, praktisi budaya dari Surabaya yang malah mengirimkan isi WA lengkap dari panitia tentang Abah diminta memberi sambutan mewakili budayawan, penerimaan award, beserta informasi gladi resik pukul 13.00 WIB.

"Abah nanti gladi resik pukul 13.00 WIB. Kalau kau bisa, kau temani lah Abahmu ini"

"Saya usahakan Abah. Namun mohon maaf, Abah, jika saya nggak bisa tepat waktu. Saya ada janji pertemuan dengan Gus Nas, Visi (sahabat millennials saya) dan beberapa orang lagi (belakangan baru saya tahu mereka adalah para budayawan keren dari dunia pendidikan, Ibu Endang Caturwati, dan Ibu Een Herdiani) sekitar jam 10 pagi ini. Khawatirnya tidak bisa sesuai waktunya. Jika sudah selesai saya akan segera ke acara Abah"

Di seberang sana Gus Nas mengingatkan saya tentang pertemuan yang saya maksud.

Benar saja. Pertemuannya molor sekali. Saat Abah berangkat ke acara gladi bersih, pertemuan dan diskusi kami belum rampung. 

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Acara prosesi penyerahan strategi kebudayaan kepada Presiden Republik Indonesia. Abah menerima penghargaan kebudayaan bersama Putu Wijaya; ahli restorasi candi Borobudur, Ismiyono; ahli konservasi yang memiliki spesialisasi di bidang teknologi konservasi batu, Hubertus Sadirin. 

Setelah mengantar Abah ke tempat duduk di stage yang ada stiker bertuliskan Zawawi Imron, saya beringsut ke kursi audience yang posisinya berseberangan dan berhadapan dengan posisi Abah, dipisahkan area karpet dengan jarak sekitar 5-7 meter.

"Siwi kamu harus cari tempat di depan supaya bisa motret Abah"

Begitu pesan Abah. Pesan yang nggak mudah karena deretan kursi depan sudah di-plotting oleh protokoler untuk para menteri, pejabat, dan tokoh-tokoh penting. 

Tak urung, pesan itu saya iyakan saja. Benar saja. Saya dapat kursi nun jauh di belakang bersebelahan dengan Mbak Dewi Putu Wijaya. Di posisi itu, saya lebih bisa dapetin foto pos FOH di belakang dengan sangat jelas ketimbang foto stage tempat Abah duduk dengan manis. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Tibalah saat serah terima award itu. Saya sudah merangsek ke depan di batas mana dibolehkan oleh petugas untuk duduk dengan tenang. Momentum handover jelas saja nggak saya dapetin. Saya nggak berbekal kamera yang memadai. Senjata saya hanya smartphone berkamera saja. Lumayan masih bisa dapet momentum foto bersama Abah dengan para penerima award lainnya.

Tak terkira rasa bangga yang saya rasakan saat Abah menerima award itu. Belakangan saya dapat foto yang lebih epic saat Jokowi memberikan piala kepada Abah dari akun twitter @feri_latief. Lebih epic lagi adalah gesture Jokowi saat membungkuk di hadapan Putu Wijaya yang segera menjadi berita di media online beberapa saat kemudian. 

Seperti WA panitia yang diteruskan mbak Erma ke saya, Abah memberikan sambutan singkat mewakili para budayawan sebelum sambutan Jokowi.

Saya hadirkan di sini untuk teman-teman sambutan Abah itu. Namun tentu saja berbeda 'rasanya' antara membaca tulisan ini dengan menyaksikan ekspresi visual, verbal dan kinestetik Abah secara langsung saat berada di podium. 

Seperti biasa, Abah dengan powernya yang besar mampu memberikan pengaruh yang luar biasa untuk para peserta Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 yang berasal dari Sabang sampai Merauke. Triawan Munaf pada akun instagramnya, @triawanmunaf, memberi catatan di insta-story-nya: "Pak Imron memukau Bapak Presiden dan segenap hadirin dengan pidato kebudayaannya yang luar biasa."

Abah mengawali dengan ucapan terima kasih kepada Presiden Republik Indonesia dan pemerintah karena Kongres Kebudayaan Indonesia telah berlangsung selama empat hari dan benar-benar menjadi ajang kreativitas tentang bagaimana Indonesia ke depan.

"Kalau saya boleh melaporkan kepada Bapak Presiden, pada tahun 1960, datanglah seorang (wakil) rektor dari Mesir, yaitu Rektor Universitas Al Azhar yang namanya Prof. Mahmud Syaltut. Yang negerinya 70% terdiri dari tanah gersang. Begitu beliau datang ke Indonesia beliau kaget. Kenapa? Beliau melihat gunung biru berselendang awan di Indonesia. 

Beliau melihat gunung biru berselendang awan, melihat padi menguning laksana permadani keemasan di atasnya burung-burung kecil menyanyikan keagungan Tuhan. Di pantai-pantai buih-buih putih laksana kapas menciumi bibir pantai. Dan di pantai-pantai yang lain daun-daun nyiur melambai-lambai. Selamat datang kepada para pahlawan, nelayan yang membawa hasil tangkapannya di laut.

Prof. Mahmud Syaltut walaupun beliau bukan penyair, akhirnya muncul dari hatinya rumusan Indonesia yang sangat indah. Apa katanya? Beliau berucap dalam bahasa Arab kepada Presiden Soekarno, 

"Indonesia, qith'atun minal jannah, nuqilat ilal ardl." 

"Indonesia adalah serpihan-serpihan potongan surga yang diturunkan oleh Allah di bumi. Kemudian beberapa tahun kemudian kita baru menyanyikan "orang bilang tanah kita tanah surga." Dalam diskusi-diskusi atau kuliah-kuliah di Kongres Kebudayaan Indonesi ini seperti terdapat simpulan bahwa tanah air yang subur dan indah kalau ingin tetap subur makmur dan indah harus diurus oleh hati yang indah dan bukti pekerti yang indah.

Dari sinilah kami kaum budayawan, Bapak Presiden, sangat bertekad bagaimana Indonesia ke depan itu bisa mengejar semua ketertinggalan. Sehingga kami bukan hanya sekedar sejajar, kalau bisa ditakdirkan oleh Allah, kami harum di tengah-tengah kebudayaan dunia.

Untuk sampai ke situ kita perlu hati yang santun dan indah, hati yang bersih dan indah, supaya tidak terjadi cekcok, fitnah, ujaran kebencian di antara kita yang membuat kita bisa diadu domba. Dombanya sudah ada di ladang-ladang, tidak pernah berkelahi, kenapa sayang, manusianya yang berkelahi."

Hadirin memberikan applause untuk ungkapan Abah yang menggambarkan kondisi aktual saat ini.

"Ini juga persoalan kebudayaan. Tapi kita tidak perlu mengimpor dari luar negeri. Karena nenek moyang kita yang berasal dari Tanah Bugis Makassar itu punya ucapan yang sangat indah, Pak Presiden. Katanya: 'Akininnawa patujukko mamadecceng kalawing ate. Berpikirlah kamu dengan hati yang jernih maka kemuliaan akan menyelimuti hatimu."

Abah DZI menyisipkan humor-humor untuk menyegarkan suasana. Begini lanjutnya,

"Hati yang indah. Hati yang indah. Tolong keplok, saya cuma diberi waktu lima menit."

Detik selanjutnya adalah Jokowi tertawa berderai disambung dengan tepuk tangan serta tepuk tangan membahana dari audience. 

"Kesimpulannya, hati yang indah, hati yang bersih yang  diselimuti oleh kemuliaan, hati yang diselimuti oleh gagasan kebudayaan yang indah tidak punya waktu untuk berkelahi, tidak punya waktu untuk saling berfitnah, tidak punya waktu untuk jelek-jelekkan orang lain. Inilah Indonesia. 

Lalu, dari sinilah dari hati yang bersih ini budaya kita ke depan adalah budaya akal sehat kolektif. Bahwa antara satu sama lain, tidak ada waktu untuk bertengkar, yang ada adalah kebersamaan dalam memuliakan rakyat dan memerdekakan rakyat dari segala macam ancaman. 

Insya Allah, kalau kita benar-benar kreatif, kreatif dan kreatif, dan kebetulan saya sangat percaya pada Badan Ekonomi Kreatif (kata Abah sambil menengok ke arah Triawan Munaf) kreativitas kita harus ditunjukkan keluar dan kita harus merasa malu, merasa malu, merasa malu, kalau kita tidak kreatif."

Bukan Abah DZI kalau tidak membacakan puisinya sendiri saat beliau diminta untuk pidato atau memberikan sambutan. Kali ini yang diangkatnya adalah puisi super pendek berjudul Telur.

"Akhirnya, kerja keras tidak hanya cukup dengan janji-janji. Ada sebuah puisi yang terindah. Yang bunyinya begini. Ini tidak untuk siapa-siapa. Untuk budayawan sendiri. Untuk Intelektual sendiri. Yaitu bunyi puisi itu begini:

Telur

Dubur ayam yang mengeluarkan telur, lebih mulia dari mulut intelektual yang hanya menjanjikan telur."

Di sini terlihat Jokowi bertepuk tangan dengan antusias dan tertawa lepas. Demikian pula tepuk tangan dari hadirin terdengar lebih keras dari sebelum-sebelumnya. 

"Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan dua kalimat berhikmah, yang pertama dari Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, mengatakan demikian ketika mengucapkan pidato Vivere Vicolosso, tanggal 17 Agustus 1966.

Apa kata Pak Karno? Kata beliau: Saudara-saudara sebangsa setanah air. Salah seorang penyair kita Chairil Anwar namanya, mengataken. Aku mau hidup seribu tahun lagi. Aku kagum kepada kalimat ini, Saudara. Sukarno juga ingin hidup seribu tahun. 

Tapi mana mungkin seratus tahun saja belum mungkin. Walaupun demikian, cita-cita kemerdekaan yang kutanamkan di hati bangsaku, di hati rakyatku 'haqqul yaqin'  akan hidup sampai 1000 tahun."

Abah membawakan kalimat Bung Karno dengan intonasi hampir persis dengan cara Bung Karno berpidato. 

"Yang kedua, adalah ucapan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Hatta, beliau mengatakan pada zaman Jepang:

Daripada Indonesia kembali menjadi tanah jajahan lebih bagus tenggelam ke dalam lautan"

Rupanya reminder Abah DZI untuk kita semua tentang pesan dua tokoh proklmasi yang wajahnya tergambar di uang kertas Rp100.000,- itu menyentuh hati audience dan apresiasi tepuk tangan kembali terjadi.

"Akhirnya, kepada Bapak Presiden, 

Kalau kita membeli galah

Carilah bambu di Surabaya

Kalau ada ucapan saya yang salah

Berilah maaf kepada saya.

Kepada para budayawan, saya ingin menyampaikan: Daripada kita merasa benar di jalan yang sesat, lebih bagus merasa sesat tapi tetap di jalan yang benar.

Akhirnya, Jakarta, Cintaku, budayawan, Sayangku, jejakku kutinggal di sini, tapi senyummu kubawa pergi.

Pohon durian berbuah kedondong, sekian dong.

Wassalamualaikum wr wb"

Abah DZI menutup sambutannya dengan salam. Seusai Abah turun dari podium, Jokowi tampak menyalami Abah, diikuti para tamu udangan yang berada di panggung.

Jokowi, yang memberikan sambutan setelah Abah, memberikan kelakar sebagai awalan sambutannya bahwa ia nggak perlu lagi kasih sambutan karena sudah cukup yang dibawakan oleh KH D. Zawawi Imron. Jokowi mengatakan bahwa inti dari kebudayaan adalah kegembiraan, dan Abah Zawawi sepanjang sambutannya telah memberikan kegembiraan itu kepada semua. 

Dalam sambutannya, Jokowi menekankan dan mengingatkan untuk teguh menjaga peradaban, membangun kesungguhan toleransi, dan di tengah kesadaran bahwa menghadapi sentuhan budaya lain, ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, seluruh bangsa tetap harus ingat untuk nguri-nguri* budaya Indonesia dan budaya nusantara . 

Khusus mengenai kebudayaan, panggung ekspresi saja tidak cukup. Diperlukan panggung interaksi yang bertoleransi dan panggung toleransi yang berinteraksi.

"Tidak mungkin tanpa ada ruang-ruang ekspresi. Ruang di luar diri maupun ruang di dalam diri, hati dan pikiran. Semua itu diperlukan untuk membuka diri, mengembangkan diri, sebagai langkah hijrah menuju Indonesia yang maju."

*** 

Hampir mirip dengan Abah DZi yang menutup sambutannya dengan membaca pantun, Jokowi membacakan puisi Chairil Anwar berjudul Diponegoro. 

*Nguri-uri: melestarikan, menjaga. 

Blok M - Jakarta, 10 Desember 2018

(Catatan kecil dari Kongres Kebudayaan Indonesia 2018)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun