Saya hadirkan di sini untuk teman-teman sambutan Abah itu. Namun tentu saja berbeda 'rasanya' antara membaca tulisan ini dengan menyaksikan ekspresi visual, verbal dan kinestetik Abah secara langsung saat berada di podium.Â
Seperti biasa, Abah dengan powernya yang besar mampu memberikan pengaruh yang luar biasa untuk para peserta Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 yang berasal dari Sabang sampai Merauke. Triawan Munaf pada akun instagramnya, @triawanmunaf, memberi catatan di insta-story-nya: "Pak Imron memukau Bapak Presiden dan segenap hadirin dengan pidato kebudayaannya yang luar biasa."
Abah mengawali dengan ucapan terima kasih kepada Presiden Republik Indonesia dan pemerintah karena Kongres Kebudayaan Indonesia telah berlangsung selama empat hari dan benar-benar menjadi ajang kreativitas tentang bagaimana Indonesia ke depan.
"Kalau saya boleh melaporkan kepada Bapak Presiden, pada tahun 1960, datanglah seorang (wakil) rektor dari Mesir, yaitu Rektor Universitas Al Azhar yang namanya Prof. Mahmud Syaltut. Yang negerinya 70% terdiri dari tanah gersang. Begitu beliau datang ke Indonesia beliau kaget. Kenapa? Beliau melihat gunung biru berselendang awan di Indonesia.Â
Beliau melihat gunung biru berselendang awan, melihat padi menguning laksana permadani keemasan di atasnya burung-burung kecil menyanyikan keagungan Tuhan. Di pantai-pantai buih-buih putih laksana kapas menciumi bibir pantai. Dan di pantai-pantai yang lain daun-daun nyiur melambai-lambai. Selamat datang kepada para pahlawan, nelayan yang membawa hasil tangkapannya di laut.
Prof. Mahmud Syaltut walaupun beliau bukan penyair, akhirnya muncul dari hatinya rumusan Indonesia yang sangat indah. Apa katanya? Beliau berucap dalam bahasa Arab kepada Presiden Soekarno,Â
"Indonesia, qith'atun minal jannah, nuqilat ilal ardl."Â
"Indonesia adalah serpihan-serpihan potongan surga yang diturunkan oleh Allah di bumi. Kemudian beberapa tahun kemudian kita baru menyanyikan "orang bilang tanah kita tanah surga." Dalam diskusi-diskusi atau kuliah-kuliah di Kongres Kebudayaan Indonesi ini seperti terdapat simpulan bahwa tanah air yang subur dan indah kalau ingin tetap subur makmur dan indah harus diurus oleh hati yang indah dan bukti pekerti yang indah.
Dari sinilah kami kaum budayawan, Bapak Presiden, sangat bertekad bagaimana Indonesia ke depan itu bisa mengejar semua ketertinggalan. Sehingga kami bukan hanya sekedar sejajar, kalau bisa ditakdirkan oleh Allah, kami harum di tengah-tengah kebudayaan dunia.
Untuk sampai ke situ kita perlu hati yang santun dan indah, hati yang bersih dan indah, supaya tidak terjadi cekcok, fitnah, ujaran kebencian di antara kita yang membuat kita bisa diadu domba. Dombanya sudah ada di ladang-ladang, tidak pernah berkelahi, kenapa sayang, manusianya yang berkelahi."
Hadirin memberikan applause untuk ungkapan Abah yang menggambarkan kondisi aktual saat ini.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!