Satu menit lagi bel masuk berbunyi tapi batang hidung Mysha tak tampak jua. Mirae menggeram, memelototi satu persatu orang yang masuk kelas, membuat suasana di kelas lebih mencekam dibandingkan hari-hari sebelumnya.Â
Kriing!
Bel berdentang nyaring bersamaan dengan Mirae yang menendang meja dengan keras karena kesal ternyata Mysha tak datang.
*
*
*
Di parkiran Mirae dan para kacungnya berkumpul, niatnya mereka akan mendatangi rumah Mysha secara langsung setelah menanyakan alamatnya kepada wali kelas. Dimasukinya sebuah mobil sport kuning terang itu dengan angkuh di kursi penumpang diikuti para 'bawahannya'.
"Kecepatan penuh." Ucap Mirae dingin. Dan kendaraan itu melaju kencang menderu terbawa angin.
Mobil sport itu berhenti di sebuah rumah megah namun sepi itu, layaknya tak berpenghuni. Jendela dan pintu ditutup rapat-rapat. Gorden hitam dan cat berwarna abunya menambah kesan yang kelam. Mirae turun perlahan dengan mata yang tak berhenti menatap sebuah jendela yang gordennya sedikit terbuka. Entah mengapa firasatnya mengharuskannya untuk pergi ke sana. Saat para 'bawahannya'ingin ikut turun, Mirae mencegah. Menyuruh mereka untuk menunggu di mobil saja.
Pintu gerbang itu tidak terkunci. Mirae membukanya dan masuk dengan mengendap-endap. Diintipnya celah pintu. Hening. Mirae mulai meneriakkan nama Mysha beberapa kali. Harapnya agar sang empunya rumah muncul ke hadapannya. Karena tak jua mendengar jawaban bahkan suara sedikitpun, Mirae membuka pintu yang ternyata juga tidak terkunci.
Gelap dan pengap yang dapat digambarkan Mirae saat melihat suasana dalam rumah. Mirae melangkah dengan jantung yang berdetak kencang. Bau anyir darah menguar memenuhi ruangan. Kemudian dipanggilnya lagi Mysha dengan sura yang lebih lantang. Ia pun naik ke lantai dua, yang gorden jendelanya sedikit terbuka itu.