[caption id="attachment_381167" align="aligncenter" width="454" caption="Sumber Gambar: www.anneahira.com"][/caption]
Bagian ke Tujuh Puluh Delapan : LEDAKAN KEMARAHAN KELANA
Kita kemudian siap-siap untuk tidur kembali, kulirik Puteri Kuning, wajahnya tengadah.
Dia memandang keatas, menerawang, matanya berkedip-kedip, menarik nafas
“Puteri, tetapi sejujurnya, aku ingin engkau tetap disini dengan kita untuk selamanya. Aku seperti menemukan kembali sosok seseorang yang sudah terenggut dari sisi kehidupanku yang amat kusayang, ibundaku. Engkau mirip sekali dengan ibunda permaisuri, Puteri - kelembutan, kasih sayang, dan perhatiannya. Hanya kadang engkau jauh lebih keras dalam kemauan. .. “ dia memandangku, aku tersenyum.
“Adindaku tercinta, tidak ada yang abadi di dunia ini. Kalau ada ujung, pastinya juga ada akhir. Tidak mengerti kita, dimana semua akan bermula dan berakhir langkah kita. Kita hanya menjalani kehidupan ini sesuai dengan langkah kaki yang sudah disiapkan dan digariskan.”
Dia memelukku, ada tangis lirih pedih kudengar, getar dada ini kurasakan
“Kita lihat saja apa yang akan terjadi besok, itulah nanti yang akan terjadi, dan kita jalani dengan tegar dan tulus. Kuning. ” Kubelai-belai rambutnya
“Yuk kita tidur, ini sudah malam, sudah larut – aku nanti tidak bisa bangun besok pagi .” Kataku, kupandang dia, kucolek hidungnya, dia senyum dengan pedih.
Aku memejamkan mata, beberapa saat kudengar Kuning masih tetap gelisah disampingku.
Tangannya kupegang, kugenggam, kucium dan kutaruh didadaku, kita saling senyum.
Kemudian dia bergelung disampingku dengan nyaman.
Berangsur perlahan keadaan menjadi makin senyap, sunyi dan hening.
******