Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Darah Biru yang Terluka ( 65 )

13 Maret 2015   19:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:42 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14262504511955604042

[caption id="attachment_372844" align="aligncenter" width="500" caption="Sumber Gambar: azharologia.com "][/caption]

Bagian ke Enam Puluh Lima :  MEMBURU  CINTA  SANG  PANGERAN   ( 3 )

Puteri Kencana kaget bukan alang kepalang, dipandangnya aku dengan terpana, dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya yang sangat..

Bahkan dia hampir terpeleset, karena terus memandang dan mengawasi aku

Kemudian cepat menguasai diri dan berlagak memandangku dengan angkuh

“Oh, ini rupanya perempuan yang tidak jelas itu – cantik juga engkau, dari mana asalmu Puteri, siapa nama ayahandamu, raja negara mana beliau ?” katanya seperti meremehkan.

“Aku tidak peduli siapa dia, tetapi aku mencintainya.” Pangeran Biru muncul tiba-tiba di dampingi oleh Puteri Kuning dan beberapa panglima Galuga disertai banyak pasukan Galuga.

Segera pangeran Biru memelukku dan Puteri Kuning juga menggandengku.
Puteri Kencana makin kaget dan terus memandang aku , pangeran Biru dan Puteri Kuning bergantian.

Segera panglima Dargo menghampiri paman Panji, ada gerakan dari pasukan Kemayang, tapi paman Dargo segera mengisyaratkan dan menunjuk keatas.

Kita semua melihat keatas, dan disana sudah banyak prajurit Galuga dengan panah mengarah pada Putri Kencana dan bala tentaranya.

Dengan cepat panglima Dargo membawa paman Panji menjauh dari Puteri Kencana dan langsung di terima oleh ponggawa penyembuh dari Galuga.

“Jangan nekad puteri, istanamu sudah terkepung .”
Puteri Kencana kelihatan geram dan menoleh kiri-kanan dengan bingung.

Pangeran Biru dan Kuning mengajakku keluar dari istana dikawal oleh beberapa panglima dan senapati Galuga.
Kita segera berlarian menembus istana itu mencari jalan keluar, mengikuti panglima Dargo

Diluar kita di hadang oleh pasukan Kemayang yang dengan beraninya menyerang kita dan pertempuran tidak bisa di hindarkan lagi.

Kita terdesak masuk lagi kedalam istana, rupanya Narendra dengan pasukannya, dibantu oleh panglima Prasanca yang meghalangi kita untuk keluar dari istana.

Dengan beringasnya Narendra menyerang pangeran Biru dan Kuning. Kulihat Gayatri juga membantu dengan dua puterinya disertai dengan kemarahan yang hebat mececar Kuning.

Aku lihat Panglima Lasmi juga menyerang balik tidak kalah ganasnya dibantu para senapatinya.

“Hei Puspita, aku lawanmu.” Aku menoleh, dihadapanku ada seorang wanita muda membawa dua pedang menyerang aku dengan membabi-buta.

Wajahnya cantik dan baju yang di pakai bertabur hiasan dan permata yang seperti berlebihan.

Warsih langsung menghadang beberapa senapati Kemayang yang akan mengeroyok aku.

Teja juga ternyata seorang petarung yang tangguh, meskipun badannya agak tambun, tapi sabetan pedangnya cukup mengerikan.

“Aku puteri Mustika. Engkau yang telah membunuh ayahandaku panglima Samudera Laksa. Kamu harus mati ditanganku.” Dan dia menerjang dengan murka yang membuta.

Karena derasnya dia menerjang, aku menghindar, kulihat dia malah jatuh terpeleset terguling-guling. Ketika akan bangkit, tendangan panglima Wulung membuat dia tidak bisa bangkit lagi, terhempas.

Suatu sabetan amat keras hampir mengenai aku, teryata Nini Rumping dengan pedang lenturnya. Menerjang

Aku mengelak dan cepat menyabetkan cambukku , mengenai tangannya yang kiri, dia meloncat menghindar, tapi pedangnya terpental jauh.

Dia membuka ikat pingganggnya dan ada pedang lentur yang berwarna merah, berkilat-kilat.

Aku ingat Nini Sedah juga mempunyai semacam itu, dan aku juga pernah melihat kehebatannya.

Pukulannya berkelebat, aku harus menghindar, karena cambukku bisa putus terkena sayatan pedangnya.

Meskipun sudah cukup tua, gerakannya masih tetap gesit – kulihat dia menyerang lagi dengan geram

Sekali ini kutahan serangannya dengan pedang ditangan kiri, cepat aku berkelit, cambuk ditangan kanan, aku hajarkan dengan sekuat tenaga kearah punggungnya,

Nini Sedah menjerit, terjerembab dan tubuhnya menyusup dengan keras ditanah.

Kutunggu dia tidak bangkit lagi.

Sabetan pedang melayang hampir mengenai, karena mengelak aku terpeleset dan terjatuh.

Ternyata yang menyerangku Gayatri, mukanya ditutup dan dia cepat memburuku, tapi suatu tendangan keras membentur dirinya.

Gayatri terhentak dan jatuh terpelanting, yang menendang Puteri Kuning ?

Dipungutnya cambukku dan dengan gayanya yang mentakjubkan dia mengakhiri perlawanan Gayatri.
Dua puteri Gayatri melarikan diri terbirit-birit.

Puteri Kuning memandangku dan matanya mengarah pada pangeran Biru yang masih bertempur dengan ayahanda Narendra.

“Aku pinjam sebentar Puteri.” Aku lihat dia lari menghampiri Narendra membawa cambukku

“Cukup ayahanda.” Katanya agak keras.

Narendra melihat Kuning dengan kebencian yang meluap, terlebih sesudah memandang Gayatri yang nyungsep tidak berdaya.

Tampak marahnya memuncak dan beralih menyerang Puteri Kuning dengan beringas.
Tetapi hanya dengan sekali pukulan keras, Narendra berputar dan terpelanting jatuh.

“Maafkan saya ayahanda.” Katanya sambil menolong pangeran Biru bangkit.

Aku kaget ketika melihat puteri Kencana mengayunkan pedangnya pada Kuning.
Aku cepat lari dan menabraknya dengan keras, Puteri Kencana terhempas dan pedang itu terlepas.

Dia cepat bangun dan memungut sebuat pedang, aku juga cepat mengambil tameng yang ada didekatku dan sempat memungut sebuah pedang pendek.

Dia terus mengejarku dengan beringas dan kita sampai di kolam tengah istana.

Pedangnya berkelebet dengan dahsyat, betul juga kata orang , dia seorang petarung pedang yang mumpuni.

Pedangku di sabetnya sehingga patah jadi dua, dia terus mengejarku dan terus menyabet dengan sabetan yang dahsyat secara bertubi

Aku keteteran hingga terpeleset jatuh, hanya tameng senjataku dan dia terus menyerangku, menggiring aku kedekat kolam.

Aku pegangi tameng itu dengan dua tanganku dan kemudian dengan sekuat tenaga aku berkelit dan tabrak serta dorong dia dari belakang.

Dia terhenyak, terpelanting , sempat menarik bajuku dan kita tercebur kedalam kolam berdua.

Dia berusaha memukulku, aku pegang tangannya dan satu tendangan keras menohok di perutnya, dia mengaduh, pegangan kebajuku robek , tapi lepas dari tangannya.

Dan buaya besar itu, si Rete, yang kelaparan meluncur dengan cepat kearah kita.

Aku cepat berenang ketepi dan dengan sekali loncat sudah keluar dari kolam, terguling-guling.
.
Puteri Kencana kaget dan berteriak keras minta tolong, melihat buaya yang meluncur kearahnya.

Beberapa senapati berusaha menolongnya, tetapi karena panik melihat buaya yang makin mendekat dia malah terpeleset dan kecebur lagi dalam kolam.

Beberapa orang berusaha menolong , dia makin panik. Dan gerakannya yang kalang-kabut, makin membuat buaya itu penasaran, bernafsu untuk menyerang.

Sebuah cambuk dilontarkan padaku, aku tangkap dan aku mencetar dengan keras air kolam didepan buaya itu

Air bersibak dengan keras , arusnya balik menghantam Rete

Buaya itu kaget dan memukulkan ekornya hingga terloncat melenting terbalik dan jatuh menyebur menyibak di air dekat kandangnya, menjauh dari Puteri Kencana

Aku mengulurkan pecutku dan kutarik puteri Kencana keluar dari kolam. Tubuhnya basah kuyup dan menggigil, dia melihat terus kearah buaya itu.

Langsung ditolong oleh para ponggawa dari Kemayang.

Aku segera ditarik oleh pangeran Biru, dan kita langsung melarikan diri keluar dari istana.

Diluar aku lihat paman Rahasta dan Nini Sedah beserta pasukan datang menyongsong kita.

Terdengar ada letusan keras dan tiba-tiba tampak api berkobar membakar dengan cepat isi dalam keraton itu.

Prajurit Kemayang kebingungan berusaha memadamkan kebakaran itu.

Kita cepat melarikan diri dan di pinggir bengawan ternyata banyak sekali perahu yang menunggu.

Ternyata warga desa-desa disekitar waduk mendengar tentang berita itu dan mereka berbondong-bondong datang dengan perahu mereka untuk membantu

Banyak yang segera naik perahu , beberapa yang bisa berenang langsung nyebur kedalam bengawan dan berenang.

Aku lihat Warsih dan Teja juga mengambil jalan air, bahkan aku lihat mereka saling berkejaran berdua tampak dengan tawa mesra bercumbu, aku jadi ikut tersenyum

Benar kata Nyai Gandhes, pasti ada cinta asmara yang selalu menyapa lirih dan lembut dalam keadaan segenting apapun.

Pangeran memandangku dan aku juga tersenyum melihat Warsih dan Teja yang lebih memilih berenang berdua di bengawan daripada naik perahu.

“Pangeran berani berenang ke daratan sana ?” tanyaku

“Bersama Puteri kemanapun aku berani.” Aku cepat meloncat mencebur dalam air. Berenang menyusul mendekati Warsih dan Teja.

Pangeran Biru juga cepat menyebur dan menyusulku, mengejar aku dengan gairah. Ternyata dia seorang perenang ulung, melihat gaya renangnya.

Aku lihat Warsih dan Teja agak terperanjat melihat kami, tetapi kemudian tertawa dan segera melanjutkan kesibukanya mereka sendiri.

Kemudian kita berempat berkejaran di bengawan yang bergolak, didalam siraman air hujan yang lebat menggeledek.

Terpaan hujan, dinginnya air yang menggelegak sana-sini, , membuat suasana bertambah syahdu, rintih dan menghanyutkan.
Ah, pasti ada tawa dan canda renyah ditengah cinta yang indah, membelai gairah darah muda dalam buaian asmara yang sedang menggelora.

Sesampai di tepian, pangeran Biru cepat memelukku dan kemudian menggendongku naik ke daratan.

Aku lihat Warsih memandang aku dan pangeran Biru, kemudian memandang Teja.
Dan melihat itu, Teja menggaruk-garuk kepalanya sambil senyum kecut dan tertawa.

Teja dan Warsih mempunyai tubuh yang besar, gempal serta agak tambun.

Teja memandang dengan canda mengangkat bahu, buka tangan  pada Warsih, yang dipandang juga hanya garuk kepala sambil tertawa malu-malu

Aku dan pangeran Biru juga ikut tertawa geli, kugaruk juga kepalaku.

Kita agak kaget, ternyata Nyai Gandhes sudah menunggu dengan senyumnya di pinggir bengawan.

“Puteri jadi manja Nyai, minta di gendong.” Kata pangeran Biru menggodaku, kupukul tangannya sambil tertawa.

Kulihat Puteri Kuning datang dan di sambut oleh kakang Narpati dengan pelukan mesra.

“Mereka tidak berani mengejar kita Puteri.” Kata panglima Dargo yang juga basah kuyup
Kita semua langsung memandang pada Nyai.

Sepertinya mereka harus berpikir seribu kali jika ditepi bengawan ada Nyai Gandhes.

Kulihat Nyai Gandhes memandang kebakaran yang terjadi di istana air Parapat, kobaran api dan kepulan asap yang pekat tampak membubung ke angkasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun