Aku memandang keatas, istana ini tinggi sekali dan banyak ukiran dan hiasan amat indah yang serba gemerlap dan berkilauan .
Kita cepat masuk sambil merapatkan diri, aku melepas cambukku, kupegang dengan erat, ditangan kiri ada pedang yang biasa aku pakai.
Kita mengendap dan aku berlari melintasi ruangan, tiba-tiba “ B-e-r-h-e-n-t-i !!”
Kita semua menoleh, aku segera sudah siapkan pecut dan pedangku.
Tetapi Warsih langsung memburu dan siap menghadang dan menyerang, tiba-tiba dia berhenti, dan tertegun
“War-sih..”
“Kakang Te-ja…” kulihat mereka saling melepaskan pedangnya dan kemudian saling berpelukan dengan erat.
Aku melihat sekeliling, tetap waspada, tapi sepertinya sepi sekali
“Puteri, ini kakang Teja.” Sosok pria tambun itu dikenalkan padaku
“Ini abangmu Warsih ?” tanyaku
“Saya calon suaminya Warsih, Puteri.” Katanya mantap
Diapun di kenalkan dengan Puteri Kuning.
“Aku selalu menunggumu Warsih.” Tiba-tiba dia memberi tanda dengan tangannya, ada pendatang.
Dia langsung menemui seorang senapati Kemayang, yang berteriak dari jauh
“Aman disitu Teja ?”
“Aman senapati.” Jawab Teja, dia seolah malah menghalangi senapati itu mau berjalan kearah tempat kita dengan badannya yang gempal.
Kita cepat menyelinap, untungnya istana ini penuh dengan pernak-pernik hiasan, beberapa kain sutera berseliweran bergantungan di mana-mana.