Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Darah Biru yang Terluka ( 58 )

15 Februari 2015   02:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:10 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku dan Kuning masuk istana menuju kekamar.

Sesudah mandi membersihkan diri dan berganti baju, minum jamu yang sudah tersedia di meja, aku masuk peraduan.
Kuning juga ikut minum jamu dan masuk peraduan menunggui aku, di pijit-pijitnya tanganku dengan lembut.

“Engkau tidak apa-apa Puteri ?” aku tersenyum, menggeleng
“Aku banyak di bantu oleh banyak orang Kuning.”kataku, dia mengangguk

“Nyai Gandhes selalu membantu kita Puteri, waktu aku disekap Ningrum dan bisa lepas juga atas bantuan Nyai.” Aku mengangguk

“Kita memang seharusnya saling membantu Puteri, dan tanpa engkau di sini, kita akan keteteran melawan Kemayang. Tidak ada yang bisa menggunakan Guntur Geni disini. Siapa yang akan melawan Buyut Haruna dan Baginda Kelana.”

Sepi sejenak, Kuning masih memijit aku dengan telaten.
“Kasihan ya Samudera Laksa sebetulnya.” Aku berkata

“Nyai Gandhes sudah mengingatkan dia, tetapi dia masih nekad saja. Tadi dia juga akan menyerang engkau dari belakang dengan tombak, engkau mengerti ?”

“Aku tahu ada tombak didekatnya. Dan aku lihat banyak ponggawa panah dari senapati Galuga sudah bersiap jika dia berbuat yang ceroboh. Lukanya bukan hanya dari paman Maruta tapi banyak panah yang menerjangnya.”

“Yang tidak aku kira paman Maruta yang begitu cepat bertindak menyelesaikan.”

“Paman Maruta itu panglima yang paling cepat larinya di seluruh Galuga, namanya kan Maruta, itu berarti angin. Larinya secepat angin.” Kata Kuning.

“Paman Maruta itu sifatnya keras dan kasar, tetapi pribadinya lembut dan ksatria. Sepertinya dia amat menyayangi dan mengagumi engkau Puteri. Dia juga amat sayang dengan pangeran Biru dan aku. Sesudah ibunda Setyawati wafat, paman Maruta selalu menjenguk kita di kediaman Nini Sedah. Dan ber-kali2 mengingatkan ayahanda Narendra yang seolah lupa pada kita.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun