[caption id="attachment_368920" align="aligncenter" width="500" caption="Sumber Gambar: anisyazila.blogspot.com"][/caption]
Bagian ke Lima Puluh Delapan : TUMBAL SEBUAH CINTA (B)
Aku dan Nini Sedah saling berpandangan, ada isyarat mata disana, hanya kami yang tahu artinya.
Kulihat Nini Sedah mengangguk, aku juga mengangguk, sebuah pedang dilempar berputar, kuterima dengan tangan kananku dan kemudian yang sebuah lagi juga dilempar dengan keras.
Setelah dekat kuhentak dengan pedangku, berdencing, melenting melontar keatas dan kuterima dengan tangan kiriku sambil berputar.
Samudera Laksa melihat Nini Sedah dan kemudian melihatku.
Aku juga melihat pada Samudera Laksa, kita berhadapan.
Sekilas dia juga memandang panglima Maruta yang memperhatikan dia dengan pandangan yang garang, ada dua pedang di tangannya.
Tiba-tiba dia meloncat, membabat pedangku dengan ganas, aku mengelak dan mundur kesamping. Dia agak terdorong hampir jatuh terbabit saking keras ayunan pedangnya sendiri.
Dia terus memburu, dan dua pedang beradu dengan keras, berdencing-berdenting, ada percikan api saat dua pedang beradu dengan keras.
Aku agak terbawa, hampir terpeleset. Tenaganya kuat sekali didorong kemarahan yang mem-buta
Tapi kakiku sempat menyepak punggungnya, dia sempoyongan, hampir jatuh.
Dia cepat bersiap, kedua pedangnya dipegangnya makin erat.
Kita berhadapan lagi, kulihat dia makin garang, memperhatikan langkahku.
Dia membacok dengan keras dan satu pedangku terlepas, tetapi pedangku yang satu sempat membabat pedangnya yang lain hingga terlepas.
Kita berhadapan dengan masing-masing satu pedang, dia ancang-ancang dan membacok dengan keras, aku mengelak dan aku tendang badannya hingga tersungkur. Pedangnya terlepas, ada kemarahan diwajahnya.
Tiba-tiba dia duduk dan dua tangannya diacungkan keatas, aku ingat, dia akan mengeluarkan ajian Gendam Segarannya.
Aku cepat berlari kearahnya, dengan sekuat tenaga aku melompat, kutendang dia, Samudera Laksa terhetak dan terhempas terlempar jauh berguling-guling.
Dengan susah payang dia berusaha bangun, tidak berhasil, ada darah mengalir dari hidungnya. Diusap-usapnya darah itu hingga membasahi bajunya.
Dia kelihatan makin murka dan beringas, memandangku
Aku dekati dia, kuacungkan pedangku dimukanya, kupandang dia.
Dia menantang memandang padaku, aku terus menatapnya
“Bunuh aku, …perempuan iblis, bunuh aku.” Dia berteriak-teriak
Kupandangi dia sekali lagi, kemudian aku berbalik, kubiarkan dan kutinggalkan dia, aku berjalan kembali menuju ke istana
Suara itu, secepat kilat aku menoleh dan kutangkis tombak yang meluncur kearahku dengan pedang, berdencing dan tombak itu terlontar keatas.
Tiba-tiba, aku melihat paman Maruta berlari cepat sekali mengarah ke Samudera Laksa, berbareng dengan desitan panah yang bertubi menerjang
Tidak sempat kuhalangi dan aku dengar suara bacokan dan teriakan yang mengerikan ada cipratan darah yang muncrat kesana sini.
Tombak yang melayang aku tangkap, kemudian melihat apa yang terjadi dibelakangku
Kilatan pedang paman Maruta masih bergetar, darah masih berceceran.
Samdera Laksa limbung dan badannya bersimbah darah, terlihat juga banyak panah yang menancap ditubuhnya di bidik para senapati panah dari Galuga.
“Dasar cecunguk, pengecut, …dia mau menyerang dari belakang Puteri.”
Kata paman Maruta dengan geram, wajahnya masih kelihatan garang.
“Terima kasih paman Maruta dan semua senapati,…” aku berseru
Aku kemudian berjalan kedepan istana diiringi Nini Sedah dan paman Maruta, Nyai Gandhes memeluk aku.
“Terima kasih Nyai.” Aku berbisik lirih, aku tahu pasti di saat terakhir tadi, Nyai Gandhes membantuku dengan tenaga dalamnya, sehingga Samudera Laksa waktu kutendang bisa terhempas jatuh bergulingan.
Nyai Gandhes hanya tersenyum saja.
Puteri Kuning, pangeran Biru segera memeluk aku, kubalas pelukan mereka erat juga.
“Puteri, sebaiknya puteri istirahat dahulu di kamar. Biar ditunggu oleh puteri Kuning --- pangeran Biru disini dahulu “ kata Nyai Gandhes pada pangeran yang akan ikut aku dan Kuning masuk kedalam istana.
Nyai Gandhes melerai semua ponggawa yang mau mengurung dan menyerang prajurit Kemayang yang kelihatan kebingungan.
Seorang senapat perempuan Kemayang menghadap Nyai Gandhes dan nyai mengiyakan permintaannya.
Aku melihat prajurit Kemayang membawa Samudera Laksa berderap kekapal perang Kemayang yang sandar di pelabuhan Galuga
Pasukan Galuga segera di siapkan, paman Maruta langsung lari ke pasukan dari Barat dibawah pimpinannya dan tampak memberi perintah.
Aku dan Kuning masuk istana menuju kekamar.
Sesudah mandi membersihkan diri dan berganti baju, minum jamu yang sudah tersedia di meja, aku masuk peraduan.
Kuning juga ikut minum jamu dan masuk peraduan menunggui aku, di pijit-pijitnya tanganku dengan lembut.
“Engkau tidak apa-apa Puteri ?” aku tersenyum, menggeleng
“Aku banyak di bantu oleh banyak orang Kuning.”kataku, dia mengangguk
“Nyai Gandhes selalu membantu kita Puteri, waktu aku disekap Ningrum dan bisa lepas juga atas bantuan Nyai.” Aku mengangguk
“Kita memang seharusnya saling membantu Puteri, dan tanpa engkau di sini, kita akan keteteran melawan Kemayang. Tidak ada yang bisa menggunakan Guntur Geni disini. Siapa yang akan melawan Buyut Haruna dan Baginda Kelana.”
Sepi sejenak, Kuning masih memijit aku dengan telaten.
“Kasihan ya Samudera Laksa sebetulnya.” Aku berkata
“Nyai Gandhes sudah mengingatkan dia, tetapi dia masih nekad saja. Tadi dia juga akan menyerang engkau dari belakang dengan tombak, engkau mengerti ?”
“Aku tahu ada tombak didekatnya. Dan aku lihat banyak ponggawa panah dari senapati Galuga sudah bersiap jika dia berbuat yang ceroboh. Lukanya bukan hanya dari paman Maruta tapi banyak panah yang menerjangnya.”
“Yang tidak aku kira paman Maruta yang begitu cepat bertindak menyelesaikan.”
“Paman Maruta itu panglima yang paling cepat larinya di seluruh Galuga, namanya kan Maruta, itu berarti angin. Larinya secepat angin.” Kata Kuning.
“Paman Maruta itu sifatnya keras dan kasar, tetapi pribadinya lembut dan ksatria. Sepertinya dia amat menyayangi dan mengagumi engkau Puteri. Dia juga amat sayang dengan pangeran Biru dan aku. Sesudah ibunda Setyawati wafat, paman Maruta selalu menjenguk kita di kediaman Nini Sedah. Dan ber-kali2 mengingatkan ayahanda Narendra yang seolah lupa pada kita.”
“Rupanya Gayatri betul-betul benci ya padaku, ada apa ya ? –aku sebetulnya hampir tidak pernah berbicara dan bincang padanya. Bahkan kalau ketemu, rasanya dia selalu ingin menghina dan merendahkan aku, kata-katanya kasar.”
“Apa karena pangeran Biru memilih aku bukan Puteri Intan ya Apa hubungannya ?”
“Sudahlah, biar saja Gayatri menerima nasipnya. Puteri Intan juga rupanya sudah cocok dengan pangeran Tirto Danu yang kaya raya itu Kelihatannya pangeran Tirto Danu juga baik tidak seperti kakaknya Tirto Beno.”
“Yang melamar engkau kan Tirto Beno Kuning, dia pangeran pati, putra mahkota kerajaan Kemayang.” Puteri Kuning bergidik
“Coba saja engkau ingat-ingat, begitu mendengar ada puteri cantik datang di Galuga, dia langsung memerintah bibi Sekar Palupi untuk menculikmu. Bagitu melihat engkau di tarung jago dengan Tunjung Merah dan Hijau itu, segera dia juga mengirimkan banyak harta untuk melamarmu Puteri, katanya engkau bakal dijadikan permaisurinya. Padahal sudah banyak isterinya yang lain.”
Aku dan Kuning saling pandang dan tersenyum
“Jangan mau ya Puteri, kakakku pangeran Biru amat mencintaimu dengan sepenuh hati dan tidak ada puteri yang lain dihatinya. Aku juga sudah sehati denganmu.” Aku tersenyum, kupeluk puteri cantik ini dengan kasih sayang.
Ada ketukan di pintu, ternyata ponggawa yang membawa kudapan dan minuman untuk sore hari.
“Kita masih terus dikirim makanan, katanya pada masa perang kita keluarga istana dan semua prajurit sama jatahnya ?” aku bertanya.
“Itu semua khusus untuk calon permaisuri Galuga yang sedang sakit ya ponggawa ?” tanya Puteri Kuning sambil melirik padaku dengan senyum
“Iya betul Puteri, tadi yang memerintah Nyai Gandhes sendiri.” Keempat ponggawa itu juga bersembah sambil tersenyum agak geli.
Ketika pintu sudah ditutup, aku gelitiki Kuning yang terus tertawa geli terbahak.
“Engkau ikut juga makan dengan lahap kan ?” kataku masih gemes menggelitiki dia, dia tertawa dan lari ke meja melihat aneka hidangan yang tersedia sambil tergelak
Ada ketukan di pintu, kita langsung berhenti, menata diri dan Kuning membukakan pintu.
Ternyata pangeran Biru dan kakang Narpati, mereka segera diseret disuruh masuk oleh puteri Kuning dan pintu di tutup.
Dan di persilahkan dua ksatria tampan itu segera kemeja makan, mereka terbelalak melihat makanan begitu banyak tersebar di meja.
“Ini di sediakan kusus untuk calon permaisuri Galuga yang cantik dan sedang sakit tadi.”
Sambil tertawa kemudian kita saling makan bersama.
“Yang dua itu jangan, itu jamu untuk Puteri.” Kata Kuning yang asyik berbagi kudapan dengan kakang Narpati, sambil menunjuk dua minuman dari Nini Sedah.
Aku juga asyik berbagi panganan yang enak dan masih hangat itu dengan pangeran Biru sambil saling pandang dan senyum.
Aku pandangi dia, apakah aku sudah jatuh cinta benar padanya sekarang, kurasakan ada debar yang lembut dihati ini.
Terasa membelai lirih dan itu amat bisa kurasakan saat ini. Ah, ...Wahai Puteri Puspita, engkau sedang jatuh cinta sekarang ?
“Kakang Narpati, makan yang banyak, agar cepat bisa kekar seperti dahulu lagi.” kata pangeran Biru sambil tertawa.
“Kita harus bersiap untuk pernikahan kita sebentar lagi.” Kakang Narpati juga tertawa agak malu. Dia memandang pada Puteri Kuning.
Perlahan aku menoleh ke langit yang merah muda diatas, … duhai , langit merah muda yang gemulai diatas, apa yang harus kau katakan pada hati yang sedang bahagia ini sahabatku ?.
“Engkau tidak apa-apa tadi Puteri ?” tanya pangeran Biru, aku menggeleng
“Aku tadi khawatir sekali, tetapi paman Maruta berjanji menjaga Puteri dari dekat.
Itu sebabnya tadi paman turun kedekat Puteri terus, untuk mendampingi Nini Sedah juga..” kupandangi pangeran Biru, kekhawatiran ada di matanya.
“Terima kasih pangeran.” Kuambil tangannya dan kucium mesra, kupandang matanya, ada seribu arti dari tatapan mata kita, darah ini terasa berdesir.
“Apakah aku bisa membalas cintanya yang begitu tulus ?” pikirku.
Aku ingat perbincangan ku dengan Nyai Gandhes tentang ramalam beliau berkenaan dengan masa depanku. Aku tertunduk menghela nafas.
“Aneh juga ya kenapa Gayatri begitu tidak suka pada Puteri Puspita. Perasaan Puteri juga tidak pernah berbuat sesuatu pada Gayatri, rasanya juga jarang sekali bertemu.” Kata pangeran Biru
“Mungkin karena pangeran memilih aku bukan puteri Intan ?”
“Puteri Intan ? … apa hubungannya, sepertinya semua orang tahu aku tidak pernah suka dengan Puteri Intan. Mungkin Gayatri sakit hati, bukan Puterinya yang di sukai oleh pangeran Tirto Beno, tapi engkau Puteri.”pangeran Biru memandangku agak merengut.
“Gayatri amat senang dengan emas permata yang banyak dipunyai oleh keluarga Kemayang. Tirto Beno juga putra mahkota Kemayang,”
“Padahal katanya yang banyak mengambil harta karun dari dasar laut itu panglima Samudera Laksa. Sebagian besar di persembahkan pada keraton Kemayang. Tapi konon banyak yang paling berharga diambil sendiri oleh Samudera Laksa.”
“Itu sebabnya Gayatri suka dengan Samudera Laksa. Panglima itu amat banyak memberikan permata yang amat mahal pada Gayatri.”
“Apakah panglima Samudera Laksa tidak punya isteri ?” aku tanya
“Katanya ada beberapa, tapi pasti tidak se cantik dan sepintar Gayatri. Enggak mengerti juga” Jawab Kuning sambil mengangkat bahunya.
“Mungkin baginda Kelana punya lebih banyak lagi ya aneka perhiasan permata dari dasar samudera. Dia lebih sakti dari Samudera Laksa.”
“Apakah dia sudah punya pendamping ?” aku tanya
"Ada anak wanitanya disana, namanya Kencana-- bersahabat dengan anak perempuan Samudera Laksa yang bernama Mustika."
“Di istananya di bendungan Prapat tidak tampak ada permaisuri yang mendampingi dia. Tetapi disekitarnya selalu ada anak muda tampan2 yang selalu melayani dia.” Jelas kakang Narpati.
Kita berempat kemudian terdiam semua, aku dan Kuning saling lirik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H