Ibu mengangguk paham. "Oh, gitu. Di depan ada yang nyariin kamu, katanya penting banget."
Ara mengerutkan dahi. "Tapi Ara gak ada janji sama siapa-siapa," katanya sembari mengingat-ingat.
"Mana ibu tau. Ya udah, ibu mau nyuci dulu. Samperin, gih!"Ara pun mengangguk, berjalan perlahan ke ruang tengah.
"Ara."
Napasnya tercekat saat mendengar namanya dipanggil. Suara itu tak asing, suara yang dirindukan selama ini. Tatapan Ara terpejam, ingin menangis saat itu juga. Kenapa pria itu datang lagi?
"Ara, ini aku ... Wisnu." Pria itu datang menghampiri, mencoba merengkuh tubuh Ara. Wanita itu mundur, menjauh.
"Kenapa?"
Ara menutup mata, buliran bening mulai menetes. Dia marah, dia kecewa dan sakit. Di sisi lain, dia juga rindu. "Kenapa kamu bilang?" Dia kembali mendongak.
"Ra ... aku ke sini mau jelasin semua ke kamu. Aku---"
"Oh, mau kenalin calon istri kamu, kan?" sela Ara dengan cepat. Pandangannya beralih ke wanita yang sedari tadi berdiam diri. Wanita berambut cepol itu agak tersentak, tetapi mencoba tetap tenang.
"Ara! Dengarkan aku dulu!" Wisnu meraih tangan Ara, meletakkannya di dadanya. "Rasakan debaran ini, rasakan kalau hanya ada kamu di sana."