Mohon tunggu...
Siti KumalaTumanggor
Siti KumalaTumanggor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berharap pada manusia sama dengan patah hati secara sengaja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gagal Usai

1 Februari 2022   20:22 Diperbarui: 1 Februari 2022   20:27 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sayup-sayup telinga Ara mendengar suara ibu. Perlahan dia membuka mata, dan benar ada ibu di sampingnya. Wanita paruh baya itu terlihat cemas. Ara mengedarkan pandangan ke segala arah, semua berwarna putih. Apa dia sudah ada di surga? Ara tersenyum kecil. Namun, mengerutkan dahi saat mencium aroma tak sedap, bau obat-obatan menyeruak. Dia belum mati?

Ibu menghela napas panjang, menarik kursi ke dekat brankar dan duduk di sana. Dia menggenggam tangan putri semata wayangnya. "Ibu mohon banget sama kamu, jangan pernah melakukan hal bodoh seperti tadi siang! Kamu nggak tau betapa paniknya ibu." Pandangan ibu berkaca-kaca, bersiap meluncurkan cairan bening.

"A-a-aku ... minta maaf, Bu." Ara menunduk, menyesal telah membuat ibu cemas. Harusnya dia berpikir dampak perbuatannya.

"Ibu juga minta sama kamu, ikhlaskan Wisnu. Mungkin dia bukan jodohmu, ibu nggak mau kamu terperosok terlalu dalam." Ibu menggeleng, air mata tak dapat dibendung.

Ara mengangguk kuat-kuat. Sudah saatnya dia melupakan pria itu. Melupakan perasaannya,dan semua tentang dia. Mungkin tak mudah. Ara menyeka air mata yang kembali mengalir. Salahnya yang begitu mencintai orang yang belum tentu berjodoh dengan dia.  

Dering ponsel membuat mereka tersentak. Ibu mengambil ponsel Ara yang tadi diletakkan di meja samping brankar. Dia memang sengaja membawa benda pipih itu, kali aja ada yang menghubungi. Benar saja.

"Siapa, Bu?" tanya Ara saat ibu hanya menatap layar tanpa ada niat menjawab. Wanita itu mengendikkan bahu lalu meletakkan benda pipih itu di meja. Alhasil membuat dahi Ara berkerut.

"Gak tau siapa. Gak ada nama," balas ibu sembari tersenyum kecil, "biar sajalah. Kalau teman kamu pasti kirim pesan juga nanti." Dia menggeser kursi, kemudian beranjak hendak keluar.

Ibu berbalik."Ibu mau beli makan. Gak usah banyak gerak!"

***

Tiga hari berlalu, keadaan Ara semakin membaik. Luka tangannya sudah mengering, meski belum sembuh total. Hari ini juga dia sudah boleh pulang. Tentu hal itu membuat kelegaan di hati ibu. Senyum Ara juga sudah kembali, meski tak seceria dulu. Semua butuh proses.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun