"Ini, Nak." Innah menyodorkan baju yang diminta anaknya.
Dengan kasar lelaki itu menyambar, lalu mengenakannya. Dia melenggang pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Innah menekan dada, sesak sekali melihat perlakuan Lionel yang kian semena-mena padanya.
Hari pertama puasa kadang memang lemas, begitu pun yang dirasakan Innah. Dia merebahkan tubuhnya di tikar yang digelar di ruangan tengah. Niatnya hanya ingin istirahat sejenak, lelah seharian bekerja. Mencuci pakaian di rumah tetangga merupakan caranya mendapatkan uang untuk kehidupan mereka sehari-hari.
Waktu berjalan begitu cepat. Sang jingga mulai menyembunyikan diri. Namun, Innah belum juga bangun. Tidurnya sangat pulas. Tak lama kemudian suara langkah kaki mendekat. Dia berdecak kesal, lalu berjalan ke belakang.
Innah terlonjak kaget saat segayung air disiramkan ke wajahnya. Siapa lagi kalau bukan Lionel pelakunya. Lelaki itu terkekeh melihat wajah, dan baju Innah yang basah kuyup.
"Duh, dasar orang tua nggak berguna! Ngapain coba tidur jam segini?" Lionel melirik arloji hitam yang tersemat di pergelangan tangan kirinya.
"Maafkan ibu, tadi-"
"Sudah-sudah! Aku lapar, makanan nggak ada. Seharian ngapain aja? Oh, iya, pasti tidur. Makanya gak usah sok puasa kalau gak kuat. Udah tua juga." Lionel berlalu meninggalkan Innah yang masih bergeming.
"Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan merupakan kewajiban bagi umat Islam, Nak," lirih Innah. Cairan bening menetes ke pipinya.
***
Bukan seorang ibu namanya jika berhenti mengajak anaknya menuju kebaikan. Seperti di hari kedua puasa, Innah berusaha mengetuk pintu kamar Lionel. Hingga dua puluh menit berlalu sama sekali tak ada sahutan, Innah akhirnya sahur sendiri lagi.