"Heh, mana baju kemarin?" tanya Lionel saat dia keluar dari kamar mandi.
Innah mengerti baju yang dimaksud anaknya, dia bergegas mengambilkan. Seperti biasa setelah selesai sarapan, Lionel akan pergi bekerja tanpa pamitan. Sudah bukan hal baru.
"Nil!" panggil salah satu teman Lionel yang berambut ikal. Lionel menoleh sekilas, kemudian kembali fokus.memarkirkan motor beat birunya.
"Ada apa, Di?" tanya Lionel menghampiri temannya, Adi.
"Lu puasa nggak?" Adi menaikkan-turunkan alis.
"Ya, nggaklah! Ngapain nyusahin diri sendiri!" ketus Lionel. Dia melewati Adi begitu saja, dan masuk ke kafe.
"Wah, parah! Padahal, ya, ibu lu pintar agama."
Mendengar tentang ibu membuat langkah Lionel terhenti. Dari mana Adi tau tentang ibunya? Dia berbalik, lalu menarik tangan Adi dengan kasar ke belakang. Adi yang tersentak hampir terjengkang jika saja tangan Lionel tak cepat menariknya.
"Tau apa lu tentang ibu gue?" Sorot mata Lionel berubah tajam, tampak jelas ada kilatan di sana.
"Ha? Maksud lo apa, sih? Yang gue tau, ibu lu itu baik banget, pintar agama, dan lembut kayak sutera. Dia rela ngelakuin apa pun demi anaknya. Di usia yang tak lagi muda, dia kerja banting tulang untuk kehidupan sehari-hari kalian. Pernah nggak, sih, lu mikir? Dari mana dia dapat uang kalau nggak kerja, sedangkan lu gak pernah ngasih dia apa-apa. Lu gak atu, kan dia kerja menjadi tukang cuci di rumah gue. Lu harusnya beruntung masih memiliki beliau yang sayang banget sama lu. Beda sama gue." Adi menunjuk diri sendiri. "Gue udah gak punya siapa-siapa."
"Gue ... gue beruntung memang." Lionel melepas cekalan tangannya. Dia berbalik, dan pergi ke kasir. Masih sempat didengar seruan Adi.