"Besok jangan lupa puasa!"
Ucapan Adi terngiang-ngiang di telinganya. Ah! Dia mengusap wajah frustrasi. Dia tak menyangka, Innah bekerja sebagai pencuci pakaian di rumah temannya sendiri, sedangkan dia menghambur-hamburkan uangnya begitu saja.
"Bu ...," panggil Lionel pelan saat Innah menggoreng ikan untuk sahur.
Wanita itu terkejut, setelah sekian lama Lionel kembali memanggilnya ibu. "Nak?"
"Ibu, maafkan aku!" Lionel bersimpuh di kaki Innah, menangis di sana.
"Hei, jangan di situ!" Innah membantu anaknya berdiri, menggeleng tegas.
"Ibu, aku banyak salah sama ibu. Ampuni aku ibu ... ampuni aku ...," ucap Lionel sembari menciumi tangan Innah.
"Gak apa-apa, Nak. Ibu bahagia sekarang. Udah jangan nangis!" Innah mengusap air mata anaknya. "Ayok, kita sahur dulu. Nanti imsak."
Lionel mengangguk. Begitu mulia hati wanita yang melahirkannya itu. Begitu banyak luka yang telah diberikan, tetapi begitu mudah sang ibu memaafkan.
Setelah azan berkumandang, mereka pun melaksanakan salat Subuh berjamaah. Innah tak henti-henti meneteskan air mata. Kini bukan lagi air mata kesedihan, tetapi karena bahagia.
"Ibu!" pekik Lionel saat membalikkan badan ke belakang untuk menyalami tangan Innah. Tubuh Innah terbujur kaku, denyut nadi sudah tak ada lagi. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Wanita berumur enam puluh tahun itu sudah kembali ke rahmatullah untuk selamanya.