Mohon tunggu...
Siti Khusnul Khotimah
Siti Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis buku A Good Change: sebuah penerapan filosofi Kaizen bagi yang sedang berada di titik terendah. Menulis seputar Self-Improvement, Growth Mindset, dan Tips Penunjang Karir. Yuk berkawan di IG dan TT @sitikus.nl ✨ Salam Bertumbuh 🌻🔥

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Syukur

24 November 2024   08:20 Diperbarui: 24 November 2024   08:22 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menikmati secangkir kopi | pexels.com/taryn-elliot

oleh: sitikus.nl

Rasa pahitnya kopi mengalir pelan lewati lidah, kerongkongan, dan berakhir di lambung. Seketika perutku terasa hangat karena asam yang mulai bergejolak. Aku tak peduli. Ku teguk lagi isi cangkir yang masih mengepulkan sedikit asap. Nikmatnya menyesap secangkir kopi hitam di antara kabut yang mulai turun.

"Dari mana, Nak?" tanya seseorang tiba-tiba.

Sedikit mengganggu kenikmatan, namun aku tetap memberi senyum padanya.

"Dari Jakarta, Bu," jawabku berusaha ramah.

"Mau pergi kemana?" tanyanya lagi.

Segera ku taruh cangkir di atas piring kecil. Merasa obrolan ini akan panjang, ku luruskan kaki yang sedari tadi ku lipat.

"Mau jalan-jalan saja, Bu. Saya kesini karena sering lihat konten orang-orang di sosial media. Katanya daerah ini bagus buat healing, jadi saya coba sendiri."

Ibu penjaga warung itu mengambil duduk di dekat tumpukan roti dan makanan ringan. Tampaknya ia antusias mendengarkan alasanku pergi seorang diri ke tempat ini.

"Berarti baru pertama kesini ya, Nak?"

"Betul, Bu. Tempat ini sudah terkenal di sosial media. Tapi, sekarang kok sepi ya, Bu?"

Ibu itu mengamati jalanan di depan warungnya yang lengang. Beberapa kendaraan tampak melintas sesekali. Sebetulnya aku malah senang suasana sepi begini. Jauh lebih tenang buat healing dari hiruk-pikuk Ibukota.

"Yang lewat sih banyak, Nak. Namanya juga libur akhir tahun. Mungkin orang-orang pergi ke tempat lain," ujar ibu penjaga warung setelah termenung beberapa saat.

Empatiku tersentuh karena pernyataannya. Kondisi sepi begini pasti berpengaruh buat pemasukan warungnya. Apalagi, ibu ini sepertinya tidak punya usaha atau kesibukan selain menjaga warung. Mataku berkeliling mengitari sudut-sudut yang mungkin ditemukan harapan.

"Nak, sudah pernah main ke curug?" tanyanya memecah lamunanku.

"Cu-curug? Oh, belum Bu. Saya memang gak berniat main ke tempat wisata. Sekedar jalan-jalan saja daripada suntuk di rumah," jawabku sambil tersenyum menutupi kegugupan.

"Oh gitu. Ya sudah diminum kopinya, Nak. Maaf ya, Ibu jadi banyak nanya," ujarnya sambil bangkit dari duduknya.

"Nggak apa-apa, Bu. Ibu namanya siapa? Saya Dimas."

"Lasinem, Nak. Panggil Lasi saja."

Ibu penjaga warung seketika sibuk dengan piring dan lauk-pauk untuk dihidangkan. Aku menelan ludah. Hawa dingin yang menjalar membuat rasa lapar tak tertahankan. Ditambah, kabut yang mulai menghalangi jarak pandang menjadikan indera penciuman lebih sensitif terhadap aroma makanan.

"Nak, Ibu tinggal sebentar ya. Mau nganter makan siang untuk Bapak," pamitnya terburu-buru tanpa menunggu respons dariku meski hanya anggukan.

Aku melirik jam di pergelangan tangan yang kacanya berembun. Sudah pukul 1 siang. Cuacanya mendung sejak pagi membuat siang hari terasa sejuk dan teduh. Aku berangkat dari Jakarta pukul 9 pagi. Saat orang-orang memilih lanjut tidur untuk mengisi akhir pekan yang panjang. Aku malah menyasarkan diri ke tempat antah berantah yang hanya pernah ku saksikan dari layar virtual.

Entah apa yang membawaku kesini. Patah hati kah? Kesepian kah? Justru, berada di tempat tinggi seperti ini malah membuatku rindu seseorang yang ku sayang. Kenangan manis bersamanya berputar lagi dalam ingatan. Di saat-saat begini, aku malah menginginkannya di sini. Menghabiskan secangkir kopi berdua---karena asam lambungnya suka kumat. Mungkin makan mi instan pakai cabai yang banyak---dia selalu suka makanan pedas.

Aah, pikiranku jadi melayang kemana-mana.

Tanpa sadar, ibu penjaga warung sudah kembali di tempatnya semula. Di dekat roti dan makanan ringan yang biasa ku temukan di Ibukota. Ia menatapku dengan tatapannya yang teduh sambil bertanya.

"Nak, sudah makan?"

Aku menelan ludah, bingung harus jujur atau berbohong saja. Sejujurnya, perut ini sudah bergejolak menghirup aroma tempe goreng sedari tadi. Namun, lidah ini harus bersandiwara. Aku belum kenal ibu ini sepenuhnya. Tentu tidak etis menumpang makan begitu saja.

"Yuk, temani Ibu makan. Sini, nasinya ambil sendiri saja ya."

Untung yang tak dapat ditolak. Belum sempat menjawab, aku sudah bangkit berdiri lalu menyambar piring yang disodorkannya.

"Gak apa-apa ini, Bu? Saya jadi gak enak loh," ungkapku menunjukkan rasa malu.

"Lah, diajak makan kok gak enak? Gak apa-apa, sambil temenin Ibu makan," tepisnya sambil menaruh 2 buah tempe dan potongan ikan tongkol di atas piringku.

Air liurku hampir menetes kalau saja Bu Lasi tidak bertanya.

"Nak, mau minum teh?"

Memang dasar rezeki anak sholeh. Tentu saja anggukanku lebih cepat merespons daripada mulut. Kalau dipikir-pikir, keberuntungan ini aneh juga. Aku sama sekali tak menyangka bisa makan gratis di warung ibu yang sama sekali belum ku kenal ini. Niatku hanya mampir istirahat sambil ngopi sebentar, lalu jalan lagi. Eeh, malah diajak makan segala. Aku kan jadi serba-salah. Mau menolak takut dianggap sombong. Mau menerima tapi seolah gak punya etika. Jadi, aku terima saja ini sebagai rezeki anak sholeh.

"I-Ibu jualan nasi juga?" tanyaku mengonfirmasi kalau-kalau ini trik upselling supaya aku makan di warungnya.

"Nggak, Nak. Ibu cuma jual kopi, makanan ringan, roti, sama mi instan saja. Capek kalau harus jualan nasi juga. Soalnya gak ada yang bantuin. Bapak sudah punya kerjaan sendiri," jelasnya membuatku menghembuskan nafas lega.

"Ibu sudah lama di sini?"

"Kira-kira 10 tahun, Nak. Ibu memang gini orangnya, suka ngajak orang makan bareng. Sekalian nemenin Ibu makan juga, hehe," kelakarnya seolah sudah lama mengenalku. "Eh, maaf ya Nak, lauknya cuma ada tempe sama potongan tongkol."

Aku terperangah mendengarnya. Buatku, ini sajian istimewa di tempat yang sama sekali baru ku sambangi. Betul-betul rezeki tak terduga yang sudah Tuhan gariskan melalui Bu Lasi.

"Wah, ini sih nikmat sekali, Bu. Di Jakarta, makanan yang seperti ini sudah langka. Orang-orang pasti carinya ayam atau daging sapi. Tongkol malah langka peminatnya, hehe."

"Tapi, gak apa-apa kan Nak, makannya cuma sama tongkol saja?" tanya Bu Lasi merasa tidak enak menjamuku dengan sederhana.

"Saya berterima kasih sekali Bu sudah dijamu seperti ini. Tadinya kan, saya cuma mau ngopi sebentar," kataku menjelaskan bahwa perut keroncongan ini sangat bersyukur telah dipuaskan.

"Ibu juga terima kasih loh, Nak. Dari pagi sama sekali belum ada tamu yang mampir. Padahal libur panjang begini biasanya gak pernah sepi."

Hatiku tersentuh mendengarnya. Sekarang aku malah bingung. Bertemu Bu Lasi dan mendapat rezeki makan siang gratis adalah anugerah buatku. Di sisi lain, kedatanganku ke warungnya diartikan sebagai rezeki untuknya. Padahal, harga secangkir kopi ini jelas gak seberapa dibandingkan jamuan yang diberikannya padaku.

"Loh, sudah habis? Ayo nambah lagi," ujarnya membuatku tak kuasa menahan tangis.

Sudah diajak makan, dibuatkan teh hangat, disuruh nambah pula? Nikmat mana yang kau dustakan? Tentu saja, kali ini aku menolak. Bisa-bisa sehabis makan aku malah ketiduran di warungnya. Aku meminum teh hangat buatan Bu Lasi dengan perasaan gundah.

Mengapa ada orang sebaik ini? Mengapa aku dipertemukan dengan Bu Lasi setelah merelakan kekasihku pergi menikahi pria terbaik pilihannya? Apa maksud Tuhan di balik pertemuan ini?

"Ibu seneng loh ditemenin makan begini, Nak. Jangan kapok ya, nanti main ke sini lagi."

"Saya yang makasih banget, Bu. Maaf jadi ngerepotin begini."

"Nggak repot lah, Nak. Kebetulan Ibu sudah masak, berarti rezeki kamu makan di sini kan?"

Mendadak aku salah tingkah. Persoalan rezeki dan jodoh adalah bagian dari takdir yang menjadi ketetapan Tuhan. Hampir saja aku menangis karena tak sanggup lagi menahan beban yang menggantung di hati.

"Berarti Ibu ikhlas saya makan di sini?"

"Nak, gak usah khawatir. Besok main lagi ke sini. Selagi Ibu sehat dan ada rezeki, Ibu pasti ajak makan lagi," jawabnya sambil tersenyum. Belum sempat aku menyanggah, ibu melanjutkan kalimatnya.

"Rezeki itu bukan melulu soal uang, Nak. Mungkin warung Ibu sepi dari pagi. Tapi, begitu kamu datang, Ibu senang sekali. Ibu jadi ada teman makan dan teman ngobrol. Jadi, buat Ibu rezeki itu gak selalu diukur dengan uang. Maaf ya Nak, kalau kamu jadi gak nyaman ngobrol sama Ibu."

"Nggak apa-apa, Bu. Saya juga sendirian dateng jauh-jauh ke sini. Saya bersyukur ketemu Ibu. Saya jadi gak kesepian lagi, hehehe."

Jujur, perasaanku jauh lebih lega dari sebelumnya. Beban bernama "ikhlas" itu kini terbayar lewat pertemuanku dengan Bu Lasi. Melalui obrolan ini, aku sadar bahwa Tuhan punya rencana terbaik untukku. Mungkin saat ini, satu-satunya yang harus ku lakukan adalah bersyukur.

Sebab, rezeki tak harus tentang uang. Begitu pula soal jodoh, jika bukan jodohnya maka ikhlaskan. Apabila berjodoh, pasti dipertemukan semustahil apa pun kemungkinan itu. Perjalanan healing kali ini betul-betul menyembuhkan. Terima kasih semesta.

***

Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Jangan lupa like dan share ya, Kompasianer :)

Yuk kenalan lebih dekat dengan penulis di sini 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun