"Nak, mau minum teh?"
Memang dasar rezeki anak sholeh. Tentu saja anggukanku lebih cepat merespons daripada mulut. Kalau dipikir-pikir, keberuntungan ini aneh juga. Aku sama sekali tak menyangka bisa makan gratis di warung ibu yang sama sekali belum ku kenal ini. Niatku hanya mampir istirahat sambil ngopi sebentar, lalu jalan lagi. Eeh, malah diajak makan segala. Aku kan jadi serba-salah. Mau menolak takut dianggap sombong. Mau menerima tapi seolah gak punya etika. Jadi, aku terima saja ini sebagai rezeki anak sholeh.
"I-Ibu jualan nasi juga?" tanyaku mengonfirmasi kalau-kalau ini trik upselling supaya aku makan di warungnya.
"Nggak, Nak. Ibu cuma jual kopi, makanan ringan, roti, sama mi instan saja. Capek kalau harus jualan nasi juga. Soalnya gak ada yang bantuin. Bapak sudah punya kerjaan sendiri," jelasnya membuatku menghembuskan nafas lega.
"Ibu sudah lama di sini?"
"Kira-kira 10 tahun, Nak. Ibu memang gini orangnya, suka ngajak orang makan bareng. Sekalian nemenin Ibu makan juga, hehe," kelakarnya seolah sudah lama mengenalku. "Eh, maaf ya Nak, lauknya cuma ada tempe sama potongan tongkol."
Aku terperangah mendengarnya. Buatku, ini sajian istimewa di tempat yang sama sekali baru ku sambangi. Betul-betul rezeki tak terduga yang sudah Tuhan gariskan melalui Bu Lasi.
"Wah, ini sih nikmat sekali, Bu. Di Jakarta, makanan yang seperti ini sudah langka. Orang-orang pasti carinya ayam atau daging sapi. Tongkol malah langka peminatnya, hehe."
"Tapi, gak apa-apa kan Nak, makannya cuma sama tongkol saja?" tanya Bu Lasi merasa tidak enak menjamuku dengan sederhana.
"Saya berterima kasih sekali Bu sudah dijamu seperti ini. Tadinya kan, saya cuma mau ngopi sebentar," kataku menjelaskan bahwa perut keroncongan ini sangat bersyukur telah dipuaskan.
"Ibu juga terima kasih loh, Nak. Dari pagi sama sekali belum ada tamu yang mampir. Padahal libur panjang begini biasanya gak pernah sepi."