Di usia ku yang hampir menginjak seperempat abad, rasanya hampir nyaris aku mengeluh soal perubahan cuaca yang drastis atau honor ku yang belum cair.
Hidup di pertengahan kepala dua, seringkali membuatku larut dalam perenungan yang panjang. Kadang-kadang aku sibuk menata pikiran-pikiran itu di bis kota, atau terlalu asyik untuk mengalihkan fokus ku dari permainan logika.
Iya, aku cukup terbiasa untuk memikirkan kehidupan dewasa ini sendirian. Bertahan hidup di kota industri, setidaknya perlu bahu yang kuat, karena hanya dinding kamar kos yang tersedia untuk bersandar.
Saat tubuhku lelah dipacu beban kerja dari 9 ke 5, waktu istirahat yang paling ku nantikan sepulang kerja adalah merebahkan badan dan memejamkan mata sesaat. Bukan tidur. Aku masih terjaga walau kedua mataku kuberi ruang untuk sejenak beristirahat.
Pikiranku berkelana tanpa lelah, memasuki lorong-lorong memori yang pernah kulalui.
Ada ingatan dari momen yang menyenangkan, dan banyak pula ingatan tentang kesedihan. Aku membiarkan pikiranku mencari apa yang diinginkannya. Mungkin aku sedang merindukan ingatan tertentu, dan ingin kembali mengenangnya.
Aahh, aroma nasi goreng khas buatan Ibu memang dengan mudah membuat seisi rumah segera terjaga.
Aku dapat mengingat sedapnya masakan Ibu, karena Ibu selalu menggunakan rempah-rempah sebagai bumbu dapur. Aroma itu rupanya meninggalkan kesan dalam memori ku.
Aku sedang merindukan Ibu.
Sudah lama aku tidak pulang ke tempat Ibu dan mencicipi masakan krecek buatannya yang nikmat. Terakhir kali aku menyentuh tangannya yang mulai keriput, adalah saat lebaran Idul Fitri tahun lalu. Kali itu pula aku makan dengan lahap, karena Ibu membuat beraneka masakan khas lebaran yang paling aku suka.
Tak terasa air mataku menetes. Mataku terasa basah, dan aku tidak dapat melakukan apapun selain menahan rasa rindu.
Sudah sebulan kami tidak berkomunikasi, karena ponsel Ibu terpaksa dijual untuk membayar biaya les adikku. Iya, adikku saat ini sudah lulus dari SMA dan melakukan banyak persiapan untuk mengikuti UTBK. Tentunya, sederet persiapan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Gaji dari pekerjaan ku hanya cukup untuk membiayai kebutuhanku sehari-hari. Sisanya, aku tabung karena Ibu yang memintanya begitu.
"Kamu gak perlu kirim uang lagi, ya. Ibu masih bisa bekerja untuk biaya sekolah adikmu. Kamu harus sisihkan pendapatanmu di rekening yang terpisah. Suatu saat kamu pasti membutuhkannya."
Kalau Ibu sudah memberikan saran, aku tidak boleh menolaknya. Saran dari Ibu sudah seperti perintah bagiku. Berbagai cara telah kulakukan untuk dapat memberikan sesuatu buat Ibu. Entah baju, tas, sepatu, bahkan skincare agar Ibu mau merawat kesehatan kulitnya.
Tetapi, berkali-kali juga aku dikecewakan oleh Ibu. Semua barang pemberianku, dengan sengaja dihadiahkan pada sepupu atau bibiku di kampung. Kata Ibu, "Mereka lebih membutuhkan hadiah dari kamu. Mereka senang dan berterimakasih sama kamu."
Aku selalu geram ketika mengingatnya.
Kenapa Ibu berbohong?
Kenapa Ibu selalu mendahulukan orang lain padahal Ibu lebih membutuhkannya?
Kenapa Ibu selalu menolak pemberianku dengan seribu alasan?
Aku kecewa ketika pemberianku tidak bermanfaat untuk Ibu. Aku kesal dan marah pada diriku yang tidak pernah bisa memahami pemikiran Ibu.
Lagi-lagi air mataku mengalir. Kali ini lebih deras.
Tiba-tiba saja aku teringat kembali, momen dimana aku akan pergi merantau untuk pertama kalinya.
Ibu adalah orang yang paling sibuk mempersiapkan segala kebutuhanku. Sandang, pangan, dan uang saku. Semua sudah Ibu atur dalam satu koper kecil yang siap ku bawa. Saat itu, aku malah sibuk mengadakan acara perpisahan dengan teman-teman kecilku di kampung.
Andai aku tahu, saat itu Ibu harus berhutang pada tetangga agar aku bisa pergi mencari pekerjaan.
Andai aku tahu, saat itu Ibu kelimpungan mencari kendaraan umum yang belum banyak melintas di kampung kami.
Andai aku tahu, saat itu Ibu adalah orang yang paling bangga sekaligus sedih karena melepas kepergiaan ku ke tanah rantau seorang diri.
Ya, Ibuku memiliki peran ganda sebagai seorang wanita yang melahirkanku, juga seorang Ayah yang berkewajiban memenuhi kebutuhan dapur.
Namun, tak pernah ku lihat Ibu menangis, bahkan saat aku memeluknya untuk naik bis menuju perantauan.
Justru, Ibu tersenyum dan memberikan dukungan moril yang membuatku yakin dan mantap untuk mencari penghidupan yang layak di kota. Senyum Ibu masih dapat kuingat dengan jelas.
Senyum yang penuh dengan kebohongan.
Ibu selalu tersenyum, walau hatinya sedang menangis.
Ibu tidak pernah mengeluh, walau batinnya terluka.
Ibu tidak pernah memarahi anak-anaknya tanpa sebab yang jelas.
Itu sebabnya, Ibu selalu berbohong.
Ibu bilang, ia punya simpanan uang, padahal ia baru saja berhutang dari saudara.
Ibu bilang, ia sudah mendapat pekerjaan tetap, padahal ia bekerja di beberapa tempat sekaligus.
Ibu bilang, tidurnya nyenyak dan cukup, padahal ia hanya tidur selama 2 jam.
Mengapa Ibu selalu mengatakan hal yang bukan sebenarnya??
Ibu, engkau adalah manusia yang paling layak berbahagia.
Ibu, engkau layak pergi ke butik dan berburu outfit yang sedang promo.
Ibu, engkau layak beli tas baru untuk mengganti totebag mu yang sudah lusuh dan kedodoran.
Ibu, engkau layak untuk sesekali pergi ke salon dan menikmati pijatan di kulit kepalamu.
Ibu, engkau layak menerima hadiah skincare terbaik dari kota untuk menggantikan rempah-rempah yang kau tumbuk sebagai lulur yang meremajakan kulitmu.
Ibu, sebagai manusia, kita boleh saja mengeluh. Jangan simpan sedihmu di dalam hati.
Mungkin aku tidak mampu memahami kebijaksanaan berpikirmu. Namun aku tahu, saat lelah seperti ini, aku hanya membutuhkan pelukan hangatmu.
Sehat-sehat selalu, Ibu.
Do'aku menyertaimu.
#hariibu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H