Lagi-lagi air mataku mengalir. Kali ini lebih deras.
Tiba-tiba saja aku teringat kembali, momen dimana aku akan pergi merantau untuk pertama kalinya.
Ibu adalah orang yang paling sibuk mempersiapkan segala kebutuhanku. Sandang, pangan, dan uang saku. Semua sudah Ibu atur dalam satu koper kecil yang siap ku bawa. Saat itu, aku malah sibuk mengadakan acara perpisahan dengan teman-teman kecilku di kampung.
Andai aku tahu, saat itu Ibu harus berhutang pada tetangga agar aku bisa pergi mencari pekerjaan.
Andai aku tahu, saat itu Ibu kelimpungan mencari kendaraan umum yang belum banyak melintas di kampung kami.
Andai aku tahu, saat itu Ibu adalah orang yang paling bangga sekaligus sedih karena melepas kepergiaan ku ke tanah rantau seorang diri.
Ya, Ibuku memiliki peran ganda sebagai seorang wanita yang melahirkanku, juga seorang Ayah yang berkewajiban memenuhi kebutuhan dapur.
Namun, tak pernah ku lihat Ibu menangis, bahkan saat aku memeluknya untuk naik bis menuju perantauan.
Justru, Ibu tersenyum dan memberikan dukungan moril yang membuatku yakin dan mantap untuk mencari penghidupan yang layak di kota. Senyum Ibu masih dapat kuingat dengan jelas.
Senyum yang penuh dengan kebohongan.
Ibu selalu tersenyum, walau hatinya sedang menangis.