"Iya, ma?" Jawab gue.
 "Besok Issam pulang, loh. Kamu pasti senang, ya? Issam pulang, sekarang dede nggak kesepian lagi deh." Ucap mama sambil mengelus kepala gue.
 "Wahhh seriusan, mah?" Kata-kata yang gue tunggu selama ini, akhirnya Issam pulang.
 Keesokan harinya, saat Issam sudah tiba di rumah, gue langsung ngajak dia pergi ke sekolah dan ngenalin teman-teman baru gue. Kami bermain seperti biasa, melepas rindu selama liburan semester. Bertahun-tahun, gue selalu merasa exited setiap kali Issam pulang. Sampai saat kami remaja, gue mulai menyimpan perasaan lebih dalam padanya. Tapi...
 Saat pandemi Covid-19 melanda dunia, Issam tidak pulang karena di kota tempat tinggalnya, penyebaran Covid sangat cepat. Sudah dua tahun, Issam tidak pulang. Mungkin karena kami sudah mulai pubertas, hubungan kami pun jadi lebih pendiam. Issam jauh lebih tampan, tinggi, dan gue sering mendengar bahwa dia selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Interaksi kami terasa asing. Namun, rasa exited gue padanya tetap sama.
 Bertahun-tahun gue suka sama Issam, tapi gue sadar sepertinya hanya gue yang menyukainya. Sampai akhirnya, saat gue akan melanjutkan kuliah, gue masih berharap suatu hari dia akan menyukai gue.
 Gue pengen banget kuliah di luar negeri, tapi orang tua gue nggak merestui. Mungkin karena gue anak perempuan satu-satunya. Akhirnya, orang tua gue dan Issam sepakat agar kami kuliah di universitas yang sama di Korea Selatan. Baru kali ini gue dan Issam satu almamater. Gue excited banget, tapi juga frustasi memilih jurusan. Akhirnya, gue pilih jurusan Desain Visual, sementara Issam mengambil jurusan Kedokteran. Setelah melewati berbagai tahap ujian yang rumit, akhirnya gue dan Issam berhasil masuk universitas yang sama. Kami berdua cukup fasih berbahasa Inggris, jadi di Korea, kami memutuskan untuk menggunakan bahasa internasional terlebih dahulu, kemudian sedikit demi sedikit mempelajari bahasa Korea.
 Hari keberangkatan kami ke Korea tiba. Perjalanan pesawat memakan waktu sekitar tujuh jam. Saat pesawat take off, gue merasa sedikit takut karena phobia ketinggian, tapi tiba-tiba ada tangan hangat yang menggenggam tangan gue. Gue menoleh, dan ternyata Issam berusaha menenangkan gue.
 "Nggak usah takut," katanya singkat.
 "I-iya," jawab gue, gugup.
 Selama perjalanan, Issam selalu ngajak gue ngobrol, mungkin agar gue nggak terlalu takut. Kami saling memperkenalkan diri lagi seperti orang yang baru kenal, dan itu terasa seperti deja vu. Akhirnya, kami sampai di Korea Selatan.