Mohon tunggu...
Siti Khumairah Azzahra
Siti Khumairah Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

My hobby is Journaling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

The Unspoken Love

25 November 2024   05:29 Diperbarui: 25 November 2024   07:30 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

  "Raa, gue juga suka sama lo, maafin gue telat menyampaikan perasaan... Harusnya gue yang nyamperin lo ke Indonesia, mungkin kalau gue nggak nyuruh lo ke Korea, lo nggak bakal ngalamin ini. Maafin gue, Raa, maafin gue... Gue sayang sama lo, Raa." Ucap Issam di pemakaman gue, dengan terisak-isak.

  Raisya Aleena Lateefa, yang baru berusia 24 tahun, harus kehilangan hidupnya dalam kecelakaan pesawat saat dia dan Issam seharusnya saling mengungkapkan perasaan di Korea Selatan.

  Kenangan sederhana yang berarti bagi gue adalah masa kecil yang penuh tawa. Berlari kesana kemari, bermain petak umpet, atau membangun istana pasir di tepi pantai. Kenangan sederhana itu, ternyata bisa menjadi cikal bakal cinta yang tumbuh di masa depan. Gue orang yang konsisten, saat gue bilang gue suka nonton Upin Ipin, gue bakal terus nonton sampai gue dipisahkan oleh kematian. Dan saat gue bilang gue sakit hati sama seseorang, gue akan ingat mereka sampai kapanpun. Begitu juga saat gue suka sama seseorang, artinya gue akan terus menyukai orang itu.

  Issam Skye Edwyn---cinta pertama dan cinta terakhir gue. Kami menghabiskan waktu bersama sejak bayi sampai saat kami hendak memasuki sekolah dasar. Namun, Issam harus pindah ke kota mengikuti ayahnya yang pindah dinas. Dia hanya pulang ke kampung saat ada acara tertentu, seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, atau libur semester.

  "Hati-hati ya, Lina, semoga nyaman di lingkungan baru. Kalau ada apa-apa, kamu bisa ngabarin aku. Jangan sungkan buat datang lagi ke kampung ini." Ucap mama gue kepada mama Issam. Orang tua kami memang sudah berteman sejak SMA.

  "Iya, kita pamit ya. Mohon doanya, semoga Mas Theo bisa segera mendapat jabatan di tempat kerja barunya." Ucap tante Lina saat mereka akan berangkat ke Jakarta.

  Setelah kedua keluarga itu berpamitan, gue merasa ada yang aneh... Gue merasa kehilangan teman yang selalu ada untuk gue. Selama seminggu, gue nggak mood ngapa-ngapain. Gue kangen Issam.

  "Lin, si Raisya kok kelihatan sedih gitu ya? Mungkin karena nggak ada Issam, ya? Udah seminggu ini mukanya nggak ceria." Ucap mama saat sedang teleponan dengan tante Lina.

  "Ya Allah, nanti ya, de. Kalau udah liburan semester, Insya Allah kita mudik." Balas tante Lina.

  Tak terasa, akhirnya libur semester tiba. Mendengar libur akan segera tiba, gue jadi sangat bersemangat karena Issam akan pulang ke kampung lagi dan kami bisa bermain bersama.

  "De," Panggil mama.

  "Iya, ma?" Jawab gue.

  "Besok Issam pulang, loh. Kamu pasti senang, ya? Issam pulang, sekarang dede nggak kesepian lagi deh." Ucap mama sambil mengelus kepala gue.

  "Wahhh seriusan, mah?" Kata-kata yang gue tunggu selama ini, akhirnya Issam pulang.

  Keesokan harinya, saat Issam sudah tiba di rumah, gue langsung ngajak dia pergi ke sekolah dan ngenalin teman-teman baru gue. Kami bermain seperti biasa, melepas rindu selama liburan semester. Bertahun-tahun, gue selalu merasa exited setiap kali Issam pulang. Sampai saat kami remaja, gue mulai menyimpan perasaan lebih dalam padanya. Tapi...

  Saat pandemi Covid-19 melanda dunia, Issam tidak pulang karena di kota tempat tinggalnya, penyebaran Covid sangat cepat. Sudah dua tahun, Issam tidak pulang. Mungkin karena kami sudah mulai pubertas, hubungan kami pun jadi lebih pendiam. Issam jauh lebih tampan, tinggi, dan gue sering mendengar bahwa dia selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Interaksi kami terasa asing. Namun, rasa exited gue padanya tetap sama.

  Bertahun-tahun gue suka sama Issam, tapi gue sadar sepertinya hanya gue yang menyukainya. Sampai akhirnya, saat gue akan melanjutkan kuliah, gue masih berharap suatu hari dia akan menyukai gue.

  Gue pengen banget kuliah di luar negeri, tapi orang tua gue nggak merestui. Mungkin karena gue anak perempuan satu-satunya. Akhirnya, orang tua gue dan Issam sepakat agar kami kuliah di universitas yang sama di Korea Selatan. Baru kali ini gue dan Issam satu almamater. Gue excited banget, tapi juga frustasi memilih jurusan. Akhirnya, gue pilih jurusan Desain Visual, sementara Issam mengambil jurusan Kedokteran. Setelah melewati berbagai tahap ujian yang rumit, akhirnya gue dan Issam berhasil masuk universitas yang sama. Kami berdua cukup fasih berbahasa Inggris, jadi di Korea, kami memutuskan untuk menggunakan bahasa internasional terlebih dahulu, kemudian sedikit demi sedikit mempelajari bahasa Korea.

  Hari keberangkatan kami ke Korea tiba. Perjalanan pesawat memakan waktu sekitar tujuh jam. Saat pesawat take off, gue merasa sedikit takut karena phobia ketinggian, tapi tiba-tiba ada tangan hangat yang menggenggam tangan gue. Gue menoleh, dan ternyata Issam berusaha menenangkan gue.

  "Nggak usah takut," katanya singkat.

  "I-iya," jawab gue, gugup.

  Selama perjalanan, Issam selalu ngajak gue ngobrol, mungkin agar gue nggak terlalu takut. Kami saling memperkenalkan diri lagi seperti orang yang baru kenal, dan itu terasa seperti deja vu. Akhirnya, kami sampai di Korea Selatan.

  "Raa, lo mau tinggal di lantai berapa?" Tanya Issam.

  "Oh, gue ngikut lo aja deh," jawab gue, bingung.

  Akhirnya, kami memilih tinggal di lantai 4 dari 7 lantai, dan kamar kami bersebelahan, karena itu adalah salah satu syarat dari mama.

  Susah rasanya beradaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda. Berbulan-bulan berlalu sebagai mahasiswa di Korea, dan akhirnya musim dingin tiba yang bikin gue shock banget. Ternyata musim dingin sedingin ini, ya? Gue kedinginan setengah mati. Kebetulan, hari ini gue ada mata kuliah yang sama dengan Issam, yaitu Bahasa Korea.

  "Raa, nih pake hot pack."

  "E-eh nggak, nggak usah. Lo aja yang pake, gue nggak kedinginan kok, haha," jawab gue canggung.

  "Nggak kedinginan gimana? Ngomong aja sampe geter gitu." Jawab Issam sambil senyum. Entah kenapa, belakangan ini dia selalu tersenyum lebar. Aneh... Tapi ganteng banget.

  "Hehe, thanks."

  Selama kuliah di Korea, gue sering dibantu oleh Issam---lebih tepatnya, gue sering merepotkan dia. Gue menjalani perkuliahan dengan perasaan yang campur aduk. Kadang dibuat salting sama dia, kadang dibuat pusing sama tugas kuliah. Tapi, bagaimana pun, akhirnya gue dan Issam lulus dari universitas itu. Namun, hubungan kami tetap seperti dulu, hanya sebatas 'teman' bagi Issam, meskipun bagi gue, dia tetap sosok yang membuat gue merasakan 'butterfly effect'.

  Rencana gue setelah kuliah adalah kembali ke Indonesia dan jadi animator di perusahaan teman gue. Sedangkan Issam melanjutkan pekerjaannya sebagai dokter di Korea Selatan. Empat bulan berlalu, gue sudah merasa nyaman di tempat kerja gue dengan penghasilan yang cukup.

  "Raa, gue tau lo suka sama Issam kan?" Celetuk Maya, teman gue yang dulu sempat naksir Issam.

  "Ih, apa sih? Nggak ya."

  "Alah, nggak usah bohong. Gue tau kok. Mending lo buru-buru ungkapin perasaan lo, takut keburu sama yang lain. Lo sendiri kan tau Issam gimana, pasti banyak cewek yang naksir sama dia, apalagi di Korea, kan banyak yang cantik-cantik."

  Gue hening, nggak membalas perkataan Maya, karena itu memang kenyataan. Issam itu sempurna, pasti banyak cewek yang suka sama dia. Saat gue tiba di rumah dengan perasaan lesu setelah perkataan Maya tadi, gue nggak sengaja denger percakapan mama dengan tante Lina yang sedang teleponan.

  "Oh iya, Issam katanya lagi ikut kencan di sana, diajak teman-temannya." Ucap tante Lina.

  "Wah, keren. Issam masih nyempetin kencan, padahal jadwalnya padat banget. Si Icha mah, boro-boro kencan, ngeliat dia suka sama cowok aja nggak pernah. Hadeuh." Ucap mama, yang bikin gue sedikit jengkel.

  "Sial, ternyata ucapan Maya bener. Sebenernya Icha suka sama Issam, Maa..." Ucap gue dalam hati.

  Gue langsung overthinking setelah denger Issam ikut kencan. Karena gue orang yang nggak sabaran, akhirnya gue chat Issam, tapi tentu saja nggak dibales. Mungkin dia lagi asik kencan, kan? Gerutu gue dalam hati, yang makin penasaran.

  Entah kenapa dia atau mungkin dia lagi kesambet kali ya. Tiba-tiba, Issam jadi sering menghubungi gue. Hal sekecil apapun, dia cerita. Sesibuk apa pun dia, dia selalu menyempatkan diri untuk nge-chat atau telepon. Karena perlakuan ini, gue jadi baper. Jarang

banget Issam cerita gini. Semakin lama, gue kadang suka ngodein dia, "Gue tuh suka sama lo, woi," tapi gue nggak tahu apakah dia peka atau nggak.

  Akhirnya, liburan tiba.

  "Raa, lo liburan ini mau ngapain?" Tanya Issam di telepon.

  "Hmm, nggak tau, bingung gue."

  "Kalo ke Korea aja gimana? Ada yang mau gue omongin nih." Ucap Issam, bikin gue penasaran.

  "Hmm, ide bagus. Udah lama juga gue nggak ke Korea. Apa yang mau diomongin, sekali aja sih, jangan bikin penasaran."

  "Ntar juga lo tau."

  "Ishh gapapa deh, gue juga mau ngomongin sesuatu."

  "Ngomongin apa?"

  "Ntar juga lo tau, haha."

  Hal yang ingin gue omongin adalah, gue memutuskan untuk menyatakan perasaan gue yang sudah lama terpendam. Issam pun memberikan tiket ke Korea untuk gue. Setelah telepon selesai, gue langsung izin ke mama untuk pergi liburan ke Korea dan mulai packing barang-barang gue.

  Saat mau berangkat ke bandara, Issam mengirim pesan untuk ketemuan di Namsan Tower, tempat yang menurut memang terkenal di sana sebagai tempat untuk menyatakan cinta. Kenapa Issam ingin ketemu di sana, ya? Gue jadi overthinking. Apakah dia juga mau menyatakan cinta? Apakah gue berhasil membuat dia suka sama gue? Tapi gue juga takut kalau gue Cuma kegeeran.

  Gue gelisah selama di pesawat karena chat itu. Dan gue takut ketinggian, selama ini Issam selalu menggenggam tangan gue saat naik pesawat. Gue pun beranikan diri untuk melawan rasa takut itu.

  Namun, hal yang tak terduga terjadi...

  Mungkin gue memang nggak ditakdirkan untuk mendapatkannya. Tiba-tiba, cuaca ekstrem menyebabkan pesawat terjatuh. Gue harus mengakhiri semuanya lebih cepat daripada yang gue bayangkan. Rencana untuk menyatakan perasaan itu tak pernah terlaksana.

  Gue hanya berharap, kalau ada satu hal yang dia tahu, itu adalah perasaan gue yang begitu besar padanya. Sayangnya, nyawa gue nggak bisa tertolong karena terlalu banyak air laut yang masuk ke tubuh gue.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun