Mohon tunggu...
siti khairun nisa
siti khairun nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

tulisan bagus terlahir dari pengalaman hebat si penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka yang Tak Kunjung Sembuh

18 Januari 2025   14:27 Diperbarui: 18 Januari 2025   14:27 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Luka yang Tak Kunjung Sembuh

 

"Rem!" Suara keras itu memekakkan telinga, memecah kesunyian pagi yang dingin. Anya, dengan napas tersengal, menatap ngeri ke arah tubuh renta yang berada di jalan setapak. Nenek Ratih, tetangganya yang selalu ramah, terbaring tak bergerak. Jantung Anya berdegup kencang, rasa seketika menyeruak bagai gelombang pasang. Ia hanya sedang terburu-buru, terlambat masuk kelas pagi, dan tak sengaja menyenggol Nenek Ratih yang berjalan lambat dengan tongkatnya. Tapi semua sudah terlambat. Mata Anya memanas, air mata menggenang di pelupuknya. Seorang tetangga yang kebetulan lewat berteriak histeris, memanggil yang lain. Dalam hitungan detik, kerumunan orang mulai memadati jalan, membentuk tajam dan bisik-bisik menusuk hati Anya lebih dalam dari tusukan pisau.

Dunia seakan berputar terbalik bagi Anya. Gadis yang dulu ceria dan penuh semangat kini terpuruk dalam kesunyian. Hujanan cacian dan makian seperti "pembunuh" dan "anak tak berhati" terus menghantui kehidupannya. Dulu, ia disambut dengan ramah dan senyuman hangat oleh tetangga, namun kini hanya ada tatapan curiga dan kebencian. Rasa bersalah yang mendalam menggerogoti jiwanya. Setiap kali mengingat peristiwa itu, suara Nenek Ratih yang lembut seolah menyalahkannya. Ibunya, Bu Sinta, berusaha sekuat tenaga untuk menenangkannya, namun luka di hati Anya terlalu dalam untuk sembuh seketika. 

Bu Sinta mengamati perubahan drastis pada putrinya. Dulu, Anya selalu ceria dan bersemangat menceritakan kegiatan sehari-harinya. Namun, kini Anya terlihat lebih pendiam, nafsu makannya berkurang, dan wajahnya selalu tampak murung. Bu Sinta berusaha berbagai cara untuk menghibur Anya, seperti mengajaknya berjalan-jalan, memasak makanan favoritnya, bahkan membelikan buku-buku baru. Sayangnya, semua usahanya itu tidak membuahkan hasil yang berarti. Anya seolah terisolasi dalam dunianya sendiri. 

"Anya, Nak," Bu Sinta memanggil dengan lembut, sambil mengetuk pintu kamar Anya, "ayo makan malam. Ibu sudah masak sup kesukaanmu." 

Tidak ada jawaban. Hanya kenyamanan yang mengunci kamar itu. Bu Sinta menghela nafas dan membuka pintu pelan. Ia melihat Anya di atas tempat tidurnya sambil memeluk bantal. 

"Anya?" Bu Sinta mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. "Apa yang kamu rasakan, sayang?" 

Anya hanya menggeleng, enggan menatap ibunya. Ia merasa malu, merasa tidak pantas mendapatkan perhatian ibunya. 

"Ibu tahu ini berat untukmu, tapi kamu tidak sendiri, Nak." Bu Sinta menginginkan rambut Anya, dengan penuh kasih sayang. "Ibu akan selalu ada di sini untukmu." 

Anya merasa tertarik pada perhatian ibunya. Namun, rasa bersalah dan trauma masa lalu terus menghantuinya. Ia merasa tidak berharga, seakan telah merusak hidupnya sendiri dan menyakiti orang-orang terdekat. Anya kerap dilanda kebingungan, bertanya-tanya apakah ia layak untuk merasakan kebahagiaan dan mendapatkan pengampunan.

"Maafkan Anya, Bu," akhirnya Anya berbisik, suaranya parau. "Anya sudah membuatkan Ibu malu. Anya... Anya pembunuh." Air mata akhirnya tumpah membasahi pipinya. Bu Sinta memeluk Anya erat.

"Jangan bicara begitu, Nak. Ini bukan salahmu. Ini adalah musikbah. Kita akan melewati ini bersama." Kata Bu Sinta meyakinkan.

 Malam semakin larut, Anya tidak bisa tidur. Bayangan wajah Nenek Ratih terus menghantui pikirannya. Rasa bersalah mendalam menyelimuti hatinya. Ia terus menyesali kejadian pagi itu. Seandainya ia tidak terburu-buru, seandainya ia lebih berhati-hati, mungkin Nenek Ratih masih hidup hingga saat ini. Penyesalan itu semakin membuatnya terpuruk dalam kesedihan.  

Anya memutuskan untuk berhenti sekolah. Ia merasa tidak mampu lagi menghadapi sindiran dan cemoohan teman-temannya. Rasa sakit yang mendalam ia rasakan ketika melihat orangorang yang pernah menyayanginya kini memandangnya dengan penuh kebencian. Sebagai bentuk pelarian, Anya lebih memilih mengurung diri di kamar. Hari-harinya dihabiskan untuk membaca buku dan menuangkan segala perasaan dan pikirannya ke dalam buku harian. Melalui tulisan, Anya berusaha meredakan segala kegelisahan yang mendera hatinya. 

Satu-satunya orang yang masih peduli pada Anya adalah Bapak Ari, guru les pribadinya sebelum kecelakaan itu terjadi. Beliau sering berkunjung ke rumah Anya untuk memberikan les tambahan, meskipun Anya selalu menolaknya. Bapak Ari juga kerap mengajak Anya berbicara, berusaha membangkitkan semangatnya. Beliau mengatakan bahwa setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan, dan yang terpenting adalah bagaimana kita dapat belajar dari kesalahan tersebut. 

"Anya, kamu tidak boleh terus-terusan menyalahkan dirimu sendiri," kata Pak Ari suatu luka. "Semua orang pernah melakukan kesalahan. Tapi, kesalahan itu bukan akhir dari segalanya. Kamu masih punya masa depan yang panjang di depanmu."

Anya menatap kosong ke arah Pak Ari. Kata-kata Pak Ari seolah tidak memiliki makna baginya. Ia merasa putus asa dan kehilangan harapan. 

"Kamu pintar, Anya. Kamu punya bakat menulis. Jangan biarkan bakatmu terpendam karena kesalahan yang tidak disengaja," lanjut Pak Ari. Ia menyerahkan sebuah buku catatan kecil pada Anya. "Tuliskan semua yang kamu rasakan. Jangan dipendam sendiri. Siapa yang tahu, dengan menulis kamu bisa menemukan jalan keluar." 

Anya menatap buku catatan itu dengan ragu. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit harapan yang muncul dalam dirinya. 

Hari demi hari berlalu, Anya semakin tenggelam dalam dunia tulis-menulis. Ia mencurahkan segala isi hatinya yang bergejolak ke dalam tulisan. Kegundahan, kesedihan, dan penyesalan yang mendalam ia tuangkan ke dalam setiap kata. Dalam tulisannya, ia mengenang sosok Nenek Ratih dengan penuh kasih sayang, meratapi kenangan indah yang telah berlalu, dan menyesali kesalahan yang telah ia perbuat. Mimpi-mimpi yang dulu begitu indah kini terasa bagai pecahan kaca yang sulit disatukan kembali.

Dalam kesunyian kamarnya, Anya mencurahkan isi hatinya seolah sedang berbicara dengan sahabat terdekat. Jiwa yang terluka seakan menemukan pelampiasan. Setiap coretan pena di atas kertas bagaikan terapi yang menenangkan. Melalui tulisan, Anya perlahan mulai menyembuhkan luka batinnya dan menemukan kedamaian diri. 

Suatu ketika, Bu Sinta secara tidak sengaja menemukan buku harian milik Anya. Ia terkejut saat membaca isi buku harian tersebut yang penuh dengan luapan emosi, terutama kesedihan dan penyesalan. Hati Bu Sinta terenyuh melihat penderitaan yang dialami putrinya. Namun, di balik kesedihan itu, Bu Sinta juga merasa bangga karena Anya memiliki bakat menulis yang sangat baik. 

Bu Sinta memutuskan untuk memperlihatkan tulisan karya Anya kepada Pak Ari. Beliau berharap Pak Ari berkenan memberikan saran dan dukungan bagi Anya. Setelah membaca tulisan tersebut, Pak Ari merasa sangat kagum dengan bakat menulis yang dimiliki Anya. Menurut Pak Ari, tulisan Anya sangat menyentuh dan sarat makna. Beliau bahkan menyarankan agar Anya mengikuti lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh sebuah penerbit. 

Awalnya, Anya menolak tawaran itu. Rasa tidak percaya diri begitu mendominasinya. Ia merasa tidak layak untuk diperhitungkan oleh orang lain. Trauma masa lalu, berupa sindiran dan bisikan tetangga, masih menghantui pikirannya. Namun, berkat dukungan penuh dari Pak Ari dan Bu Sinta, ia mulai berpikir ulang. Mereka meyakinkan Anya bahwa ia memiliki potensi yang luar biasa dan layak mendapatkan kesempatan kedua. Akhirnya, dengan penuh keraguan, Anya memutuskan untuk mengikuti lomba tersebut.   

Anya menuangkan seluruh emosi dan pengalaman pribadinya ke dalam cerpen berjudul "Luka yang Tak Kunjung Sembuh". Karya tulis ini mengangkat tema tentang rasa bersalah, penyesalan, dan upaya untuk bangkit dari keterpurukan yang pernah dialaminya. Dengan gaya bahasa yang jujur dan menyentuh, Anya berhasil menghadirkan sebuah karya yang begitu mendalam dan autentik.

Beberapa minggu berlalu, dan tiba-tiba pengumuman lomba pun diumumkan. Anya sangat terkejut ketika namanya disebut sebagai juara pertama. Ia merasa seperti sedang bermimpi. Pak Ari dan Bu Sinta segera menghampirinya, memberikan ucapan selamat yang hangat atas keberhasilannya. Mereka merasa bangga atas pencapaian Anya, atas kerja keras yang telah ia lakukan, dan atas bakat luar biasa yang dimilikinya.

Kemenangan Anya menjadi perbincangan di lingkungan sekitar. Mereka tidak menyangka bahwa gadis yang dulunya mereka anggap pembunuh kini telah menjadi seorang penulis muda berbakat. Beberapa dari mereka merasa malu, mereka mulai menyesali perbuatan mereka. 

Anya yang awalnya ragu, akhirnya memberanikan diri untuk keluar rumah. Ia menyampaikan dengan yang berbeda, bukan lagi menyampaikan sinis, tetapi menimbulkan kekaguman dan rasa hormat. Beberapa orang datang menghampirinya, menanyakan maaf atas perbuatan mereka di masa lalu. Anya tersenyum, senyum yang tulus dan penuh dengan rasa syukur. Ia mulai menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ia menyadari bahwa masih ada orang yang peduli padanya. 

Anya tidak melupakan Nenek Ratih. Ia terus mendoakannya setiap hari. Ia bermaksud membuat sebuah yayasan yang didedikasikan untuk Nenek Ratih, sebagai bentuk penghormatan dan pengampunannya. Ia ingin agar nama Nenek Ratih selalu dikenang sebagai seorang yang baik dan ramah.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun